Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketentuan umum mengenai ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Namun, untuk menutup kekurangan kebutuhan garam domestiknya saja Indonesia masih mengandalkan pasokan produk impor.
Padahal dengan kondisi wilayahnya yang didukung dengan potensi kelautan yang sangat luas, Indonesia sebenarnya sangat mungkin menjadi negara produsen garam terbesar di dunia. Faktanya, Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki garis pantai (coastline) terpanjang kedua di dunia, yang totalnya menurut Badan Informasi Geospasial 99.093 kilometer.

Data di atas menunjukkan bahwa kondisi perbandingan yang timpang antara kebutuhan garam dalam negeri dengan hasil produksi nasional. Maka, menelaah komoditas pangan garam ini menjadi suatu hal yang menarik.
Pertama, garam adalah salah satu komoditas dalam sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) masyarakat. Karena itu, garam jelas punya posisi strategis dalam program ketahanan pangan nasional.
Kedua, garam tidak hanya digunakan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, tetapi juga bahan baku kalangan industri. Antara lain seperti sektor farmasi, pertambangan, pupuk, dan lain-lain.
Ketiga, permasalahan garam di Indonesia dilatarbelakangi beberapa faktor penyebab. Cakupannya selain aspek produksi, ada juga persoalan infrastruktur, kelembagaan, pemasaran, serta permintaan dan penawarannya.
Keempat, sudah sejak lama garam tidak dikuasai pemerintah. Menengok sejarahnya, pada masa penjajahan Belanda di Nusantara, karena komoditas ini penting dan cukup menguntungkan, maka garam dimonopoli oleh pihak swasta.
Nah, terkait dengan persoalan terakhir ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti bahkan tidak menepis anggapan adanya peran kartel yang terkait kelangkaan garam yang terjadi di beberapa daerah Indonesia. Ia menduga ada kartel yang meraup untung dari kegiatan impor garam industri.
Alasannya, terjadi kebocoran garam impor yang dilakukan oleh industri importir garam. "Mereka impor lebih dari kapasitas produksi mereka," ujar Susi dalam keterangannya kepada pers, Selasa 1 Agustus 2017.
Menurut data yang dimilikinya, rata-rata impor garam yang dilakukan para industri mencapai 2 juta ton per tahun. Ia menduga jumlah tersebut dilebihkan untuk kemudian dibocorkan ke pasar sebagai garam konsumsi. Padahal, garam tersebut diimpor sebagai bahan baku industri.
"Akhirnya, separuh lebih bocor ke pasar konsumsi," kata Susi.
Apalagi, ia melanjutkan, impor garam industri lebih menguntungkan ketimbang mengimpor garam konsumsi. Impor garam industri tidak dikenai bea masuk, sedangkan garam konsumsi diberi tarif 10%. Dengan begitu, ada perkiraan keuntungan besar yang membuat kartel garam bermain di situ.
Dugaan adanya kartel juga mencuat setelah pemerintah akhirnya membuka keran impor garam konsumsi kepada PT Garam sebanyak 75 ribu ton di penghujung Juli 2017. Alih-alih ingin menurunkan harga garam konsumsi yang melonjak drastis, itu malah dimanfaatkan para importir.
"Awalnya kita umumkan rekomendasi 75 ribu ton karena petambak kita panen awal September. Eh, malah sudah ada yang ngomong akan impor 2,1 juta ton," kata Susi.
Susi pun meminta masyarakat agar melaporkan bila mengetahui penyalahgunaan izin impor garam industri. Ia berharap harga hasil panen petani garam tidak anjlok karena ulah kartel garam.
"Kita perlu dukungan dari pengawasan impor. Tata niaganya harus diawasi. Petambak didukung dan impornya diatur untuk memberikan ruang industri garam domestik tumbuh," imbuh Susi.
Baca: Bikin Geram Kartel Garam
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan impor garam bukan suatu hal yang baru di Indonesia. Terutama untuk garam industri.
"Sebenarnya senang atau tidak senang ternyata dari dulu kita impor garam terutama garam industri," kata Darmin di Jakarta, Selasa 1 Agustus 2017.
Tahun ini, ia menambahkan, Indonesia dihadapkan pada iklim yang kurang baik. Itu berdampak pada produksi garam nasional.
Terusik dan terkisis
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim yang juga pengajar mata kuliah Agrobisnis di Universitas Trilogi Jakarta, Muhamad Karim, menilai pemerintah terkesan tidak bijaksana jika menjadikan anomali iklim (termasuk adanya La Nina) 2016-2017 yang membuat intensitas panas matahari rendah sebagai alasan utama kelangkaan garam saat ini.
Sebab, sejumlah teknologi seperti penyaringan dengan filter ulin, teknologi geomembran, dan teknologi prisma telah ditemukan untuk memicu produksi garam guna menyiasati ketergantungan sinar matahari belum diaplikasikan di tingkat petambak.
Ia pun menyatakan bahwa dalam mengatasi masalah ini, tak cukup pemerintah meresponsnya dengan impor tetapi lewat strategi yang terintegrasi dan holistis. Hal ini penting agar tidak berulang dan memproduksi masalah baru seumpama suburnya kartel, mafia, dan perburuan rente ekonomi lewat bisnis impor garam.
"Di balik krisis garam dan dibukanya keran impor kerap kali ada yang mengail di air keruh. Mereka ialah kaum komprador dari birokrasi maupun politisi yang mencari rente ekonomi di balik bisnis impor garam," kata Karim dalam opininya yang bertajuk Ancaman Krisis Garam di Media Indonesia, 1 Agustus 2017.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Berdasarkan hasil sejumlah penelitiannya, ia menemukan kondisi Indonesia amat rentan dalam upaya mewujudkan swasembada pangan.
"Garam, gula, bahkan beras, ada mafianya," kata Rhenald kepada medcom.id, Jumat 11 Agustus 2017.
Pengertian mafia dalam hal ini adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan. Mafia sering digambarkan sebagai kelompok pebisnis "hitam" yang mampu mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah, tentu demi kepentingan kartelnya.
"Jika 3–5 persen saja dari seluruh komponen bangsa ini mau bersama-sama bergerak untuk melakukan perubahan, pasti akan terjadi perubahan. Salah satu perubahan itu adalah tidak membiarkan negeri ini dikendalikan para mafia," kata Rhenald.
Keberadaan mafia semakin kuat seiring sistem politik yang semakin transaksional alias politik uang. Tapi, bukan berarti tidak ada upaya untuk melepas diri dari jerat mafia. Pemerintah Indonesia saat ini mulai menerbitkan regulasi-regulasi baru yang mempersempit ruang gerak mafia.
Sebut saja UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam. Dari regulasi ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan punya kewenangan untuk mengawasi impor garam.
Namun, dalam konteks ini Susi Pudjiastuti menduga bahwa kewenangan baru kementerian yang dipimpinnya dalam memberikan rekomendasi volume, jenis, dan kapan impor garam boleh dilakukan tersebut telah mengusik kemapanan para pelaku kartel garam. Termasuk di dalamnya pihak swasta yang sudah lama menjadi importir garam di Indonesia.
"Dengan pengaturan ini, mereka tidak suka... Sepertinya, dengan ikutnya KKP mengatur dan mengawasi, banyak yang terganggu," kata Susi.
Susi bahkan tak segan menyebut mereka yang tidak suka dengan aturan-aturan baru ini adalah mafia yang kerap dijuluki "tujuh samurai".

FOTO: Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (ANTARA/Hafidz Mubarak A)
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Tony Tanduk menyatakan isu mengenai Tujuh Samurai sebenarnya hanya isapan jempol belaka. Isu ini terlalu dibesar-besarkan sekaligus menjadi dalih ketidakbecusan pemerintah dalam mengatur tata niaga komoditas pangan nasional.
"Tidak ada itu Tujuh Samurai," kata Tony saat dihubungi medcom.id.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, juga punya padangan yang sama. Menurutnya, persekongkolan pengusaha swasta yang semacam itu merupakan cerita kuno yang digunakan sebagai kambing hitam dalam isu-isu gangguan terhadap program ketahanan pangan.
"Tujuh samurainya itu sudah tinggal tiga barangkali, ya. Enggak ada lagi," kata Oke seraya tertawa saat berbincang dengan kami di kantornya, Jakarta, Senin 7 Agustus 2017.
Namun, Kementerian Perdagangan sudah mulai membentengi diri. Perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan kartel impor, izinnya akan dipertimbangkan, bahkan dicabut.
Oke yang baru setengah tahun memimpin Ditjen Daglu, menyadari kuatnya sentimen negatif terhadap instansinya. Terlebih soal kartel impor. "Kini saya hanya bisa meyakinkan bahwa di Kemendag tidak ada permainan," ucapnya.
Menteri Perdagangan pun, ia menjelaskan, berkali-kali mengingatkan soal pembenahan ke dalam dan fokus pembinaan. "Pimpinan menyampaikannya kepada kami, kalau memang terjadi (main mata dengan importir), beliau sendiri yang akan mengantarkannya ke penegak hukum," paparnya.
Dengan demikian, menurut Oke, pemerintah sudah mengambil alih permainan mafia dengan harga-harga yang tetap dan bahkan cenderung akan diturunkan lagi. "Ini salah satu upaya menghindari permainan kelompok-kelompok tertentu, yang disebut mafia atau samurai itu. Apalagi kita sekarang bekerjasama erat dengan berbagai instansi, termasuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha," katanya.
Jadi, ia menegaskan, bukan berarti kartel garam tidak ada. Karena, pelakunya masih ada, tetapi kini tidak lagi menjadi dominan. Dengan memperbaiki sistem, pemerintah berusaha menghindari. Melepas diri dari jerat permainan mafia.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menyatakan pihaknya masih memburu bukti-bukti permainan kartel impor. "Dugaan kami, ada tujuh (perusahaan)," katanya.
Baca: Menjerat Begal Garam
KPPU selaku lembaga yang dibentuk pemerintah untuk menertibkan serta memelihara iklim bisnis yang kondusif sesuai pelaksanaan UU Anti Monopoli, dalam laporan tahunannya mengakui bahwa perlu berbagi peran dalam memberantas kartel. Tak bisa sendirian, harus secara bersama-sama. Seluruh lapisan mulai dari instansi pemerintah, pihak swasta, hingga organisasi kemasyarakatan diminta ikut terlibat melawan kartel.
Apalagi, memerlukan waktu bertahun-tahun bagi KPPU untuk menyelidiki suatu kasus berindikasi kartel. Ini jelas menandakan persaingan curang dalam bentuk kartel termasuk perkara yang sulit dibuktikan.

FOTO: Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti (ke dua kiri) didampingi Bupati Pamekasan Achmad Syafii (kanan) berpartisipasi dalam panen raya garam di lahan garam desa Majungan, Pademawu, Pamekasan, Jawa Timur. (ANTARA/Saiful Bahri)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News