medcom.id, Jakarta: Perusahaan mematok harga garam kualitas 1 (k1) dari petani di Surabaya antara Rp725 sampai Rp750. Adapun garam kualitas 2 (k2) dipatok dengan harga Rp625. Menurut Anggota Presidium Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (A2PGRI) Faisal Badawi, kondisi ini masih tergolong normal. Ditambah lagi, penyerapan garam oleh pengusaha dan perusahaan importir juga berjalan lancar.
Jika dibandingkan dengan tahun 2006, harga garam K2 sebesar Rp550. Jadi ada peningkatan harga yang ditawarkan perusahaan penyerap garam petani tersebut. Untuk garam kualitas K1, perusahaan yang fokus melakukan penyerapan adalah PT Unichem Candi Indonesia, yang beberapa waktu lalu digeledah Satgas Kartel Garam Polda Metro Jaya. Sedangkan perusahaan PT Susanti Megah dan PT Cheetam Garam Indonesia melakukan penyerapan untuk garam K1 dan K2 dengan standar harga pokok pemerintah (HPP).
Faisal menyebutkan, dalam kondisi ini petani garam tidak mengalami kerugian. Menurut Dia, kerugian terjadi ketika garam-garam yang dihasilkan petani lokal penyerapannya tersendat. Sehinga, banyak garam yang menumpuk di lokasi penggaraman karena tidak laku terjual. Selanjutnya, dengan harga yang disebutkan diatas, garam di Surabaya tidak dapat dikategorikan murah.
Selain itu di Surabaya, lanjut Faisal, kompetisi antar pengusaha garam begitu sehat. Antara satu perusahaan dengan perusahaan lain memiliki patokan harga yang dinamis.
Sebelumnya, beberapa bulan yang lalu dikabarkan, harga garam di Madura begitu anjlok di bawah HPP. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, anjloknya harga garam ini lantaran adanya praktik kartel dalam impor garam industri. Maka dari itu, perlu dilakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Perdagangan No 58/2012. Tidak lupa, Kementerian terkait juga akan melakukan audit terhadap importir garam terkait jumlah kebutuhan dan realisasi impor.
Kondisi inilah yang juga mendorong PT Garam berusaha untuk merealisasikan penyerapan garam di tahun 2015 ini. Direktur Utama PT Garam, Usman Perdana Kusuma menjelaskan pemerintah telah menganggarkan duit sebesar Rp300 miliar dari Penyertaan Modal Negara untuk menyangga harga garam lokal.
Alokasi dana PT Garam dari Penyertan Modal Negara (PMN) tersebut akan digunakan untuk menyerap garam petani, membangun pabrik di Camplong-Madura, dana geomembran, dan dana untuk menggarap lahan di Kupang. Dana untuk menyerap garam dari petani sebesar Rp222 miliar. Dana untuk membangun pabrik di Camplong, Madura sebesar Rp64 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp7 miliar untuk dana pengadaan geomembran dan Rp7 miliar guna menggarap lahan di Kupang. Namun, dana senilai Rp300 milar tersebut masih dianggap belum mencukupi.
“Kami sekarang sudah menyerap sekitar 400 ribu ton garam rakyat dan dananya Rp222 miliar,” kata Usman kepada medcom.id.
Usman menjelaskan, kendala yang dihadapi PT Garam dalam tanggung jawabnya menyerap garam petani ada pada harga. Sebab, belum ada penetapan HPP yang baru dari pemerintah. Karena patokan HPP yang berlaku sekarang dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi pasar.
Nantinya, penetapan harga ini seharusnya dapat menjadi harga terendah untuk membeli garam petani. Paling tidak, harga bawah tersebut berkisar antara antara Rp500 sampai Rp700, sesuai dengan kualitas.
“Nah, harga bawah ini penting supaya penyerapan kami ini bisa menjaga harga. Ini sedang dihitung, bagaimana baiknya penetapan harga ini,” imbuh Usman.
Usman optimistis, terkait masalah teknis penyerapan garam dari petani, pihaknya sudah menyiapkan semuanya. Bahkan PT Garam sudah melakukan sosialisasi selama tiga bulan, dan tidak ada kendala. Sistim penyerapan garamnya akan dilakukan secara tunai. Jika penyerapan ini bisa berjalan baik, maka bukan tidak mungkin praktik kartelisasi dapat ditekan dan harga garam dalam negeri stabil.
Namun, Faisal Badawi dari A2PGRI menyebut langkah PT Garam dalam menyerap garam produksi petani lokal, belum membuahkan hasil. Faisal mengaku bahwa PT Garam sampai saat ini belum melakukan penyerapan garam dari petani. Sehingga, upaya menyangga harga garam lokal pun belum terlihat.
“Sekarang ini? Enggak ada pembelian sekarang. Enggak ada pak. Jadi berhasil tidaknya kalau tidak ada realitasnya atau actionnya bagaimana bisa menilai?? Tidak ada mereka melakukan penyerapan. Jadi kami tidak bisa memberikan pandangan,” kata Faisal kepada medcom.id.
Pada kesempatan yang sama, Faisal menghimbau kepada pemerintah terkait polemik kartelisasi garam nasional, supaya tidak mempolitisasi. Hal ini dikarenakan, kebutuhan garam nasional sangat memiliki nilai politik yang tinggi. Namun, nilai ekonomis dari garam itu sendiri begitu rendah. Jika persoalan garam ini semakin runyam, maka akan berdampak pada kinerja perusahaan. Selanjutnya juga akan berdampak ke petani yang menjual garamnya ke perusahaan tersebut.
“Karena persoalnnya kalau dipolitisasi terus garam ini, yang rugi adalah petani,” imbuh Fasial.
Selanjutnya, KKP seharusnya juga memberikan solusi untuk masalah ini. Sebab Faisal merasa dalam mkasus kartel garam ini, antara petani dengan pengusaha dibuat saling kontraproduktif. Bagaimanapun juga dalam bisnis, petani tetap membutuhkan pengusaha. Dalam hal ini, seharusnya antara petani, pengusaha dan pemerintah dapat saling bersinergi dan menjadi mitra kerja yang baik.
“Gini lho, petani tanpa ada pengusaha tidak akan ada yang beli lho. Maka dari itu, KKP kalau dikatakan, ‘garam tdak laku’, sousinya apa? Pasar tidak laku? Ciptakan pasar. Pasarnya apa? Kan KKP menangani ke masalah garam kan sejak 2011 efektifnya. Apa yang dilakukan? empat tahun masa tidak bisa menciptakan pasar,” keluh Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News