ilustrasi. (foto: MI/Susanto)
ilustrasi. (foto: MI/Susanto)

Mencermati Kebiri di Negara Lain

Medcom Files kebiri predator seksual
Mohammad Adam • 29 Oktober 2015 23:49
medcom.id, Jakarta: Anak adalah lambang masa depan. Menjaga anak sama saja dengan melindungi masa depan. Anak yang tangguh tentu menjadi dambaan. Ketiadaan anak yang tangguh ibarat perlombaan estafet, tetapi hanya dengan satu pelari. Seberapa pun kuat pelari pertama, garis akhir tidak dapat dicapai, apalagi dimenangi. Suka atau tidak, konsep hidup seperti itu berlaku dari tingkat keluarga hingga bangsa.
 
Apabila kita berbicara tentang kekerasan seksual terhadap anak-anak, kita akan menemukan bahwa kasus ini cukup banyak terjadi. Putri Nur Fauziah hanya salah satu korban kesekian kalinya dari kejahatan predator-predator yang mengincar anak-anak. Indikasi kasus kekerasan terhadap anak, apapun bentuknya, sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Siapapun tentu tidak akan bersikap biasa saja atau malah lupa atas kasus-kasus seperti ini.
 
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi fenomena kejahatan seksual terhadap anak. Akan amat sangat sulit menemukan negara yang betul-betul terbebas dari kejahatan tersebut.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Bahkan tidak sebatas sebagai keniscayaan, kejahatan seksual juga merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling rumit pengungkapannya. Termasuk kejahatan seksual dengan anak sebagai korbannya. Akan tetapi, dahsyatnya, Indonesia ialah satu-satunya negara yang secara terbuka dan masif menyebut dirinya dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Kenyataan ini jelas mengguncang kesadaran publik tentang betapa tingginya risiko yang mengancam anak-anak Indonesia. Bahkan, sekaligus menunjukkan kegagalan masyarakat dan pemerintah dalam memenuhi kewajiban melindungi anak-anak.
 
Kasus kekerasan terhadap anak yang berulang menjadi sinyal akan kelemahan besar bangsa ini dalam melindungi aset masa depan itu.
 
Pemerintah pun akhirnya turun tangan dalam upaya konkret negara melindungi anak dari pelaku kekerasan. Penanggulangan kejahatan terhadap anak dinilai sudah mendesak dan membutuhkan langkah konkret. Karena itu, Presiden Joko Widodo mempersiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengatur tentang perlindungan anak dari kekerasan fisik ataupun seksual yang belakangan marak terjadi di Tanah Air.
 
Salah satu isi perppu tersebut ialah hukuman pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Perppu itu diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku.
 
Kebiri atau yang dalam dunia medis dikenal dengan istilah kastrasi, sebenarnya telah dipraktikkan sejak lama.
 
Kastrasi pada manusia sendiri memiliki banyak arti namun secara umum diartikan sebagai upaya mendisfungsikan hormon seksual (fungsi reproduksi) pada manusia. Dalam sejarah kastrasi, metode-metodenya telah berkembang seiring penemuan metode baru dengan tidak lagi dilakukan bedah, kecuali pada kepentingan dunia kedokteran.
 
Pada pria, kastrasi dilakukan dengan tiga cara. Pertama, memotong saluran sperma ke arah penis yang kemudian tren dengan nama vasektomi dalam istilah kontrasepsi.
 
Kedua, mengeluarkan atau meniadakan organ penghasil sperma (testis) yang terdapat pada kantung skrotum di bawah batang kemaluan laki-laki. Ini dikenal dengan istilah orkiektomi.
 
Ketiga, penyuntikan atau injeksi bahan kimia yang mematikan fungsi organ penghasil sperma (testis) itu sendiri. Ini dikenal dengan metode kastrasi kimiawi. Metode ini yang telah lazim digunakan di zaman ini dalam kepentingan pemberantasan kejahatan.
 
Kastrasi sudah digunakan di beberapa negara lain sebagai hukuman untuk pelaku kejahatan seksual. Menurut penelitian Busto dan Harlow, hukuman kebiri atau kastrasi secara legal sudah dilakukan di California, Florida, Iowa, Lousiana, danTexas. Di Eropa, beberapa kasus di Jerman dan banyak kasus di Ceko terdapat lebih dari 50 kasus kejahatan seksual yang diberi hukuman kebiri atau kastrasipada tahun 2001-2006.
 
Beberapa negara menerapkan hukuman kebiri melalui penyuntikan bahan kimia bagi narapidana pelaku kekerasan seksual sebagai keharusan alias paksaan. Antara lain adalah Rusia, Polandia, Korea Selatan, Macedonia,Estonia, dan Moldova.
 
Adapun di negara seperti Belanda, Jerman, Perancis, Belgia, Swedia, Denmark, dan Ceko, para pelaku kejahatan seksual boleh memilih hukuman baginya, apakah dipenjara untuk waktu yang lama atau dikebiri. Pengebirian dilakukan secara kimia. Artinya, untuk tindakan pengebirian, para pelaku boleh secara sukarela minta dimandulkan demi meredam berahinya yang tidak wajar.
 
Hasil riset di negara Skandinavia menyatakan penerapan kebiri mengurangi tingkat pengulangan kejahatan seksual oleh pelaku yang sama hingga 35%.
 
Di Asia, kastrasi kimia pertama terhadap pelaku kejahatan seksual diperkenalkan di Korea Selatan empat tahun silam.
 
Di bawah payung hukum yang berlaku di sana, kejahatan seks terhadap anak di bawah usia 16 tahun bisa dihukum kebiri kimia. Pada 2013, pemerintah Korsel bahkan merevisi aturan untuk memberlakukan tindakan tersebut pada pelaku yang korbannya berumur di bawah 19 tahun.
 
Menggunakan obat hormonal umumnya ditujukan untuk mengurangi tindak kriminal para residivis. Dalam sejarahnya, upaya tersebut pertama kali dilakukan pada 1944.
 
Charles Scott dan Trent Holmberg, dalam artikelnya di Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, pada September 1996, menyebutkan bahwa California menjadi negara bagian di AS pertama yang mengizinkan penerapan kebiri terhadap penjahat seks tertentu yang telah tuntas menjalani masa tahanannya.
 
Meski legislasinya disebut-sebut kontroversial, delapan negara bagian lainnya di AS mengadopsi praktik serupa untuk masa percobaan residivis ataupun pembebasan bersyarat.
 
Dari total sembilan negara federal di AS, empat di antaranya hanya mengizinkan kebiri kimia. Empat negara bagian lainnya, seperti California, Florida, Iowa, dan Louisiana, memperbolehkan kastrasi kimia dan bedah (sukarela).
 
Akan tetapi, kebiri kimia mesti dilakukan berulang kali. Selain itu, bisa juga menimbulkan efek samping. Kasus di Australia Barat menunjukkan bahwa pemberian obat penekan libido bisa mengakibatkan penyakit osteoporosis, jantung, dan pembesaran payudara.
 
Mencermati pemberlakuan pidana kebiri di negara-negara lain, Indonesia agaknya mempertimbangkan untuk diterapkan bagi pelaku pedofilia. Namun, pengebirian masih menjadi perdebatan bagi pegiat hak asasi manusia. Proses pemandulan membuat hak para pelaku kejahatan seksual memiliki keturunan terhapus.
 
Ada juga alasan bahwa menghukum kebiri kimia bagi predator seksual anak bisa jadi malah merupakan langkah yang salah.
 
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyatakan bahwa jika pemerintah mengharapkan kastrasi secara kimia membuat pelaku tidak akan mengulangi perilakunya, maka itu sudah salah kaprah.
 
Menurut Reza, ada kekeliruan asumsi yang melatari rencana tersebut, yakni kejahatan atau perilaku kekerasan itu dilatari motif seksual. Faktanya, dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku ialah dominansi dan kontrol.
 
"Di balik itu ada amarah, dendam, kebencian yang berkobar-kobar," kata alumnus The University of Melbourne, Autralia, itu dalam opininya di Media Indonesia, Senin (26/10/2015).
 
Dengan kata, lain kebiri kimiawi tidak menjamin pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak akan mengulangi perilakunya setelah bebas dari penjara. Kebiri kimiawi mungkin mematikan syahwat seksual. Namun, segala perasaan negatif tadi tidak serta-merta juga padam.
 
"Justru kastrasi hormonal bisa membuat si predator semakin eksplosif," kata Reza.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan