Ledakan tepatnya terjadi di gerai kedai kopi Starbucks yang berlokasi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Persis di seberang gedung pusat perbelanjaan, Sarinah.
Warga yang menyaksikan kejadian ledakan itu di lokasi tersebut langsung berlarian karena terkejut, berusaha menyelamatkan diri. Sedangkan warga yang berada di sekitar lokasi justru berkerumun, penasaran.
Tak sampai satu menit, ledakan kembali terjadi. Kali ini pusat ledakan terjadi di dekat pos polisi lalu lintas (Pospol) yang letaknya hanya 30 meter dari ledakan pertama. Ledakan di Pospol Thamrin ini berasal dari bom bunuh diri yang disiapkan dua orang. Ledakan ini menyebabkan pelaku dan satu orang lainnya meninggal. Tak sampai sepuluh menit, puluhan polisi yang berasal dari Polda Metrojaya berdatangan.
"Saat itu, petugas pas sedang ada di situ langsung berhenti, dan kemudian mendengar ledakan turun, dan kemudian diserang," ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian dalam keterangan pers usai kejadian.
Dari tengah kerumunan warga, tiba-tiba dua orang bersenjata melakukan penembakan. Dua orang meninggal. Salah satunya adalah warga negara Kanada.
Petugas diberondong peluru yang berasal dari senjata laras pendek. Baku tembak tidak bisa dihindarkan. Persimpangan jalan depan Sarinah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berubah bak setting perang kota film Hollywood.
Warga sadar sedang berada di tengah aksi teror. Kerumunan langsung bubar dan suasana sepi. Beberapa pelaku kemudian diketahui berhasil dilumpuhkan perwira polisi yang tengah berpakain sipil.
Dua orang pelaku kemudian tersudut dan terpaksa bersembunyi di kawasan kedai yang porak poranda akibat bom. Polisi yang mengepung pelaku sempat dilempari granat rakitan. Saat akan menyiapkan bom ketiga, pelaku disasar timah panas polisi. Ledakan terjadi dan teduga teroris mati di tempat.
Serangan bom dan senjata api yang dimulai sekitar pukul 10.50 WIB berhasil diredam. Lima orang pelaku terduga teroris dilumpuhkan kepolisian. Drama baku tembak yang berlangsung 25 menit ini menutup serangan terhadap Jakarta. Jalan yang dibuat steril dalam radius 1 km dari lokasi pun dibuka.
Lini masa media sosial dan jejaring dunia maya pun menjadi heboh karena serangan ini. Walau sempat teror menciptakan ketakutan tersendiri, namun tak lama dunia bersatu memberi dukungan dan doa. Isu bertajuk #KamiTidakTakut menjadi topik hangat di media sosial Twitter, dilengkapi celotehan betapa gagah, ganteng, dan modisnya polisi Indonesia dalam menekuk para pelaku terorisme di Jalan Thamrin itu.
Kelompok bersenjata Negara Islam (ISIS/IS) mengaku bertanggung jawab atas serangan melalui jejaring situs yang dimilikinya. Serangan yang menyebabkan tiga orang (dua di TKP, satu saat dirawat) tewas bersama lima pelaku. Selain itu 27 orang luka ringan dan berat akibat serangan. Sebagian di antaranya polisi.
Keberhasilan Polisi Republik Indonesia dalam menangani serangan Teror Thamrin secara cepat mengundang apresiasi dari negara sahabat. Indonesia terus dipuji.
Namun, bersamaan dengan semaking terangnya cahaya, semakin gelap pula bayangan yang dihasilkan. Kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) dipertanyakan. Mengingat titik ledakan yang hanya berjarak 1,7 kilometer dari Istana Negara. Apakah BIN kecolongan sehingga tidak tahu akan ada aksi teror di siang bolong itu?
Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam memberantas penyebaran jaringan terorisme dan menjalankan program deradikalisasi. Aksi teror di Jalan Thamrin ini pun menimbulkan polemik terkait kinerja BNPT. Apakah kejadian tersebut menandakan program deradikalisasi belum berhasil?
Belakangan diketahui bahwa salah satu pelaku aksi teror itu adalah Sunakin alias Afif, merupakan resedivis yang pernah ditahan karena kepemilikan senjata dan kemudian diketahui pernah satu sel dengan Bahrun Naim. Polisi menjelaskan Bahrun Naim adalah salah satu pentolan ISIS dari Indonesia yang sedang berada di Suriah.
Polisi yang datang segera dan cepat tanggap juga menimbulkan beragam spekulasi. Antara lain “apakah ini setting-an?” atau “polisi cari panggung?”. Namun, semua itu dibantah oleh Kapolda Metrojaya Irjen Polisi Tito Karnavian dan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti.
Tidak diikutsertakannya Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga menciptakan kesan Polisi sudah mampu secara ekslusif menyelesaikan kasus-kasus Terorisme. Padahal dalam UU nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan TNI menjadi komponen utama ketika negara menghadapi ancaman. Sedangkan salah satu tugas pokok TNI adalah mengatasi aksi terorisme.
“Lagipula kalau bicara soal sumberdaya intelijen, Badan Intelijen Strategis TNI punya sumber daya manusia yang sangat banyak dan tersebar,” ujar Mantan Kepala BAIS TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto kepada medcom.id, Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Ada satu hal menarik. Sehari setelah kejadian teror di Jalan Thamrin itu, usulan merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dikemukakan oleh BIN. Terutama soal kewenangan bagi aparat intelijen dalam penindakan di lapangan.
Kepala BIN Sutiyoso membantah pihaknya kecolongan dalam insiden yang dilakukan kelompok teroris di Jalan Thamrin. Menurut dia, BIN sudah memberikan sinyal adanya potensi serangan teroris di Indonesia. Namun, BIN kesulitan lantaran serangan-serangan tersebut tidak mengenal ruang dan waktu.
Karena itu, pihaknya mendorong agar Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme diubah. Sehingga BIN memiliki kewenangan lebih, yaitu penangkapan dan penahanan.
"Jika ingin penanganan terorisme di Indonesia lebih memberikan rasa aman perlu adanya perbaikan undang-undang," ujar Sutiyoso, di kantornya, Jalan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (15/1/2016).
Menanggapi usulan tersebut, muncul wacana di parlemen agar UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Adu argumen mengenai perlu tidaknya penambahan kewenangan BIN mewarnai topik pemberitaan selama sepekan. Namun, akhirnya pemerintah sepakat merevisi UU tersebut. Presiden Joko Widodo menyatakan revisi tersebut dibutuhkan agar aparat keamanan tidak ragu dalam bertindak, Kamis (21/1/2016).
Semua terkesan bergegas dan terus berupaya menyukseskan revisi UU Terorisme. Walau masyarakat mengaku tak takut, Polisi justru gerak cepat. TNI mengaku ingin ikut, BIN pun tak mau telat. Presiden dan DPR bahkan telah sepakat.
Pergeseran aksi terorisme
Indonesia telah beberapa diserang teroris, mulai dari Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriot, Bom Kuningan, hingga serangan Thamrin. Tidak hanya serangan bom, serangan bersenjata pun acap kali dilakukan dengan menyasar Polisi atau Warga Negara Asing.
“Tidak ada ada yang baru dari model, modus, dan target. Mungkin yang sedikit unik, kombinasi serangan serta lokasi serangan yang ada di jantung kota,” kata pengamat terorisme dari International Crisis Group, Sidney Jones, kepada medcom.id di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Namun, Jones mengakui intensitas serangan teror ke Indonesia akhir-akhir ini semakin meningkat. Setidaknya semenjak Agustus 2015 lalu. Dia yakin serangan ke Indonesia saat ini bukan lagi berasal jaringan Al-Qaeda yang terdahulu. Namun dari kelompok ISIS yang semakin lama semakin berkembang. Prioritas target pun ada sedikit pergeseran.
Incaran pertama masih polisi. Namun target kedua saat ini justru diduduki kelompok muslim syiah. Posisi ketiga yang paling rentan baru disematkan ke WNA.
Dalam serangan di Thamrin kemarin juga kental unsur pengaruh ISIS. Pernyataan pertanggungjawaban ISIS belum bisa dipastikan 100%. Namun Sidney sangat yakin serangan tersebut dipelopori kelompok ISIS, atau setidaknya kelompok simpatisan ISIS.
“Serangan kemarin itu besar kemungkinan akibat dari imbauan ISIS pusat untuk meningkatkan serangan di negara masing-masing. Dan ini semakin didorong dengan faktor balas dendam. Karena diketahui ada puluhan jihadis dari Indonesia mati setelah bergabung dengan ISIS di Irak Suriah,” papar Jones.
Mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali menyatakan hal senada. Dia melihat banyak kelompok yang semakin tertarik bergabung dengan ISIS. Salah satunya niat membentuk khilafah Islam yang gagal dibentuk jaringan Al-Qaeda. “Karena sudah ada yang muncul kekhalifahan di Timur Tengah (ISIS), akhirnya mereka mendukung itu,” kata As’ad kepada medcom.id di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Semakin pesatnya perkembangan ISIS dan jaringan teroris terafiliasi dengan jaringan serupa, ditambah dengan serangan terakhir, mendorong beberapa lembaga negara mengajukan usulan revisi UU Terorisme. Beberapa di antaranya pun mendapat dukungan dan penolakan.
“Harus hati-hati dengan rencana revisi UU Terorisme. Ini akan memunculkan persepsi, masalah akan selesai dengan Undang-Undang,” tegas Jones.
Segendang dengan Jones, Setara Institute yang banyak fokus di penelitian HAM, kelompok radikal dan agama pun setuju revisi dilakukan dengan syarat. Dilakukan dengan komprehensif dan antisipatif terhadap kemungkinan beragam gesekan di kemudian hari.
“Harus dibuat tegas dan keras terhadap pelaku. Kalau memang perlu, cabut kewarganegaraan,” kata Direktur Setara Insitute Hendardi, kepada medcom.id di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Pro kontra Revisi UU Terorisme
Beberapa masukan telah dilontarkan beragam lembaga tinggi negara. Namun setidaknya ada beberapa poin besar yang juga menghasilkan perdebatan di publik.
Pertama, memasukkan aturan pembinaan, pencegahan dan deradikalisasi. Hendardi menilai intoleransi sebagai akar dari radikalisme, sedangkan radikalisme sendiri merupakan salah satu faktor pembentuk terorisme. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Setara Institute menunjukkan organisasi radikal dan terorisme tak selalu berhubungan, namum memiliki tujuan yang sama.
Wacana ini juga didukung oleh As’ad yang pernah menjabat Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Bahkan As’ad juga mendorong pemerintah melibatkan kelompok agama seperti ulama dan kiai dalam upaya meredam radikalisme.
“Ulama juga semakin bisa dilibatkan, karena yang paling mengerti kelompok radikal itu,” kata As’ad.
Kedua, penguatan perangkat hukum aparat keamanan menindak orang atau ormas yang bergabung dan berkaitan dengan kelompok radikal. Ketiga, perlu aturan jelas untuk menindak kegiatan kelompok teroris di dunia maya. Kedua hal ini menjadi pro kontra tersendiri.
Kebebasan berserikat dan keamanan negara dibenturkan. Di satu sisi jika orang atau ormas radikal sangat rentan terkait menjadi kelompok teroris. Atau setidaknya direkrut menjadi salah satu teroris.
“Pola rekruitmen yang dulu terjadi itu rekrutmen banyak terjadi ke pesantren jaringan Jamaah Islamiyah. Sementara itu sekarang, menggunakan jalur sekolah umum, lalu diarahkan ke pengajian radikal,” kata Jones.
As’ad juga menyebut sudah banyak orang dan kelompok yang tergabung dengan kelompok teroris ISIS. Bahkan As’ad menjelaskan sudah ada kelompok ISIS Asia Tenggara dan Indonesia.
Keempat, perlu aturan jelas untuk menindak kegiatan kelompok teroris di dunia maya. Selain itu aturan penindakan hukum terhadap hasutan melakukan tidakan terorisme juga perlu diatur.
Ponto menilai, kecanggihan perangkat komunikasi memberikan perkembangan terorisme yang patut diantisipasi. Meski setuju soal penguatan hukum, namun ia tidak sepakat aturan tersebut hanya fokus untuk menekan radikalisme dan penguatan fungsi lembaga penegakan hukum.
Pemerintah diharapkan mempertimbangkan secara cermat sebelum menyetujui usulan agar Polisi punya hak melakukan penahanan 30 hari terhadap pelaku kasus terorisme. Belum lagi wacana soal BIN dan BNPT punya hak menindak serta isolasi terpidana terorisme.
“Itu justru artinya petugas tidak profesional. Kalau nanti tidak cukup data sampai 30 hari maka orang itu harus dilepas. Akibatnya orang itu akan sakit hati karena telah diperlakukan semena-mena. Ditambah lagi niat mengisolasi terpidana teroris. Ini justru memperkuat jaringan,” ujar Ponto.
Setidaknya, ia melanjutkan, ada sembilan elemen penting agar terorisme bisa terjadi. Perekrutan, keuangan, dukungan logistik, pelatihan, garis perintah (komando), kepemimpinan, daya pemersatu, jaringan kerja, serta tempat yang aman. Terorisme baru bisa terjadi bila sembilan elemen tersebut terpenuhi.
Jika salah satunya dicabut, maka aksi terorisme niscaya sangat sulit terlaksana. Namun selama ini, hanya daya pemersatu berbentuk identitas agama yang ditekan. “Padahal dampaknya akan sangat panjang jika agama yang disentuh,” kata Ponto.
Ia menambahkan, ada pemahaman keliru dalam pemberantasan terorisme. Menahan dan menangkap teroris dianggap mencegah. Padahal hal-hal tersebut hanyalah penindakan dari aksi terorisme. Pencegahan seharusnya dengan ‘mencabut’ salah satu elemen. Dan proses ini memerlukan peran dari banyak pihak.
“Koordinasi untuk menghilangkan salah satu dari sembilan centre gravity of terrorisme adalah tugas BNPT. Itulah sebabnya BNPT harus direvitalisasi dan direstrukturisasi,” tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News