Rekaman dan Visual Museum Seribu Percakapan

Yogyakarta: Situs ke-11 sebagai titik terakhir dari penjelajahan pameran seni site specific 900 mdpl: Hantu-hantu Seribu Percakapan adalah museum yang menampilkan rekaman dan visual berdasarkan arsip-arsip lokal, yang dirintis oleh MUKKA (Museum Komunitas Kaliurang).
 
Museum ini mengumpulkan kepingan sejarah yang pernah terjadi di Kaliurang. Isi museum berupa narasi plural dari ingatan penduduk setempat, percakapan dan aktivitas keseharian penduduk, hingga karya seni komunitas.
 
Bertempat di Villa Dabu-Dabu, Gg. Giripeni, Kaliurang, Yogyakarta, pengunjung diajak untuk melihat arsip tukang foto keliling yang aktif antara tahun 1981-2005, tanaman khas Kaliurang, lukisan Gunung Merapi dan Kaliurang dari kacamata dua pelukis, hingga video kegiatan warga dan pertunjukan musik.
Rekaman dan video ini juga menjadi media para seniman pameran 900 mdpl di situs keenam hingga situs ke-10.
 

(Lokasi situs ke enam dengan karya berjudul raungan terakhir. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)

Raungan terakhir

Seniman Agung Kurniawan memberi judul “Raungan Terakhir” di situs keenam di Rumah Putih Grenzenberg, Jalan Tlogo Nirmolo, Kaliurang.
 
Di antara aroma dan pepohonan kayu putih yang memunculkan nuansa magis, pengunjung diajak untuk mendengarkan pidato Presiden Soekarno terakhir pada 17 Agustus 1966.
 
Pidato itu digambarkan oleh pemenang Philip Morris Art Award 1996 melalui gambar Happy Victim dengan orang-orang menggantung terbalik sambil tertawa riang, sebagai ‘raungan terakhir singa yang terluka’.
 

(Karya Jompet Kuswidananto yang ditampilkan di pameran seni 900 mdpl. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)

Setelah matahari terbit

Bertempat di bekas basecamp pekerja romusa, Jompet Kuswidananto menampilkan karya yang mengisahkan tentang apa yang tersisa dari momen transisi kekuasaan dan revolusi di Kaliurang. Lengkap dengan lantunan dialog dengan latar musik Jawa.
 
Banyak kisah yang dituturkan oleh sesepuh Kaliurang kepada seniman yang melakukan pameran tunggal “On Paradise” di Musee des Arts Contemporains Grand-Hornu – Belgium (2017), “After Voices” di Sherman Contemporary Art Foundation – Sydney (2016), “Order and After” di Govanhill Baths – Glasgow (2015) dan “Grand Parade” di Tropenmuseum – Amsterdam (2014).
 
Menurut Jompet, sesepuh tersebut mengalami dan mengingat setiap kejadian dengan cara masing-masing. Terkadang rapuh, bercampur dengan berbagai trauma, doktrin, mimpi dan kepercayaan spiritual.
 

(Pengunjung mendengarkan koleksi musik yang terdapat di museum seribu percakapan. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)

Hal-hal yang diceritakan oleh Bungalow

Cerita dari suatu tempat tidak hanya berdasarkan kisah hidup yang bisa tampak oleh mata. Tetapi juga kisah-kisah dari hal yang tak tampak, suatu ‘entitas’ yang menghuni rumah dan tempat lain menurut seniman Paoletta Holst.
 
Sambil duduk di kursi kayu, pengunjung diajak untuk menonton video pendek mengenai tuturan penduduk tentang entitas yang menghuni rumah yang dikunjungi, dari televisi yang diletakkan di teras samping villa.
 
Menurut seniman yang juga peneliti dan penulis arsitektur di Brussel, cerita dan penampakan entitas itu tidak dapat ditelusuri kembali ke dokumen atau arsip atau ‘bukti’ apapun. Namun, narasi tersebut terbawa dalam memori penduduk setempat.
 

(Kisah tiga primadona dalam karya berjudul Para Penyamun Hati karya Arief Budiman. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)

Para penyamun hati

Berkisah tentang Genduk, Ninok dan Cenil, seniman Arief Budiman mengangkat kisah tiga primadona desa, di rumah kecil dengan tiga ruangan berpintu, satu ruang tamu dengan tiga kursi yang mengelilingi meja dan televisi di pojok ruangan, serta satu ruangan kosong sedikit luas dari ruang tamu yang dibatasi tirai.
 
Primadona desa itu terkadang menjual kudapan lokal di malam hari. Ketika dagangannya habis, mereka mungkin akan menyelinap bersama pekat malam, dalam dekapan hangat pria yang beruntung. Namun, mereka tetap penduduk desa, yang melakukan kegiatan kehidupan sosial dan tak pernah melewatkan satu kalipun pertemuan warga.
 
Seniman yang pernah melakukan pameran tunggal “Don’t Be Afraid with the Dark” (2015) dan “On Moving Text” di Lir Space – Yogyakarta (2018), “Spectacle Project” di Yogyakarta (2019), menyuguhkan pengunjung tentang dialog manja para primadona dengan pria yang membayarnya.
 

(Karya Mark Salvatus berjudul jalan-jalan seolah bertanya apakah kita sendiri yang menjadi hantu. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)

Jalan-jalan

Banyak kisah tentang sosok tak kasat mata yang dilihat oleh penduduk Kaliurang. Ada yang melihat sesosok pria atau noni Belanda, tentara Jepang berjalan, seorang wanita Jawa dengan kendi berisi air, atau binatang buas dan mahluk gaib melegenda.
 
Cerita yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari para warga itu menjadi latar belakang karya Mark Salvatus, dalam video pendek berjudul “Jalan-jalan” tanpa alur naratif, di mana penduduk desa berperan sebagai hantu dalam video tersebut.
 
Seniman yang pernah memamerkan karya “A Tripoli Agreement” di Sharjah Art Foundation – Uni Emirate Arab (2018), “How Little You Know About Me” di Museum of Modern and Contemporary Art – Seoul (2018), “Imagined Homes” di Thessaloniki Biennaale – Greece (2017), mencoba menggabungkan energi dan kenangan.
 
Satu pertanyaan yang disuguhkan lewat video tersebut adalah, apakah hantu-hantu itu berjalan di antara kita atau kita sendiri yang adalah hantu?
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(TIN)