Jakarta: Menangani pasien yang memiliki masalah kejiwaan tentu tidaklah mudah. Selain itu, menjadi dokter ahli jiwa juga merupakan pilihan yang sedikit sekali diambil mengingat banyaknya tantangan yang mungkin akan dialami oleh para dokter spesialis kejiwaan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Berbagai pengalaman inilah yang akan diceritakan oleh dr. Lenny Ergine, SpKJ dan dr. N. Saelan Tadjudin, SPKJ yang saat ini menangani pasien-pasien dengan gangguan kejiwaan di RS Royal Taruma, Jakarta Barat ini.
Menjadi dokter kejiwaan karena panggilan hati
Bagi dr Lenny, yang sudah menjadi dokter spesialis kejiwaan selama 12 tahun ini memilih spesialis kejiwaan karena memang ia mengaku sudah menyukai bidang kejiwaan ini semenjak dirinya masih menjadi mahasiswa.Selain itu, pada saat bertugas di Sulawesi Selatan juga ia sering menjumpai pasien-pasien yang memiliki gangguan kejiwaan yang semakin menambah keyakinannya untuk mendalami spesialis kejiwaan ini.
Berbeda dengan dr. Lenny yang memang sudah menyukai spesialis kejiwaan sejak masih koas (dokter muda), lain pula cerita dari dr. Saelan.
"Jadi waktu itu saya pernah menjadi dokter umum di RS Mitra Kemayoran. Pada saat itu ada kerusuhan di Ambon, tetapi bukan yang Mei tahun 1998. Ada pasien anak laki-laki berusia sekitar 11 atau 12 tahun, sudah dibawa berobat ke Ambon, Manado, kemana-mana tapi belum sembuh juga akhirnya dibawalah ke Mitra Kemayoran karena ada kerusuhan di Ambon itu pasien itu datang ke UGD dengan keadaan tidak bisa jalan, terpincang-pincang, digotong bapaknya," ujar dr. Saelan mengawali cerita.
Setelah pasien tersebut diperiksa, tidak ada masalah apapun bahkan dr. Saelan sempat merujuk pasien tersebut ke dokter ahli syaraf untuk diperiksa dan hasilnya pun sama.
"Akhirnya kita obatin sementara, tetapi balik lagi ke saya karena tidak sembuh-sembuh juga walaupun udah dapat obat dari dokter syaraf juga, akhirnya balik lagi ke UGD. Kemudian waktu itu kita sempat saranin untuk konsul ke dokter psikiatri anak, dibawalah ke dokter psikiatri anak, dikasih obat, besoknya saya lihat udah bisa lari-lari." Kejadian inilah yang membuat dr. Saelan akhirnya tertarik mengambil spesialis kejiwaan.
(Baca juga: Pentingnya Mencari Pendapat Kedua Saat Berobat)
Gangguan jiwa bisa terjadi karena trauma berat
Trauma berat itu bisa menimbulkan gejala macam-macam. Dr. Saelan sendiri bercerita bahwa ia pernah memiliki pasien yang mengalami trauma berat ."Jadi waktu itu ceritanya ada perempuan berusia sekitar 18 atau 19 tahun yang memiliki hubungan terlalu dekat dengan ayah angkatnya, lalu ketahuan dan kemudian tiba-tiba dia buta. Pasien itu akhirnya berobat dan setelah diperiksa matanya tidak ada masalah, kemudian disuruh konsultasi ke psikiater," papar dr. Saelan.
"Karena rumahnya dekat sama tempat saya praktik, akhirnya konsultasilah ke saya untuk tindak lanjutnya kan karena biasanya pengobatan kan butuh waktu cukup lama, dari situ kita lihat kondisinya dan setelah diobati, dia sudah bisa melihat lagi," ujarnya.
Menurut dr. Saelan hal tersebut cukup aneh karena jika buta secara medis itu biasanya bertahap, tidak bisa langsung tiba-tiba tidak bisa melihat.
"Kemudian beberapa waktu kemudian ada kejadian lagi, mungkin ada trauma atau apa, setengah tahun kemudian dia tidak bisa ngomong. Datanglah ke saya, sama sekali tidak ada suara. Kalau sakit secara fisik kan bertahap, suaranya pelan dulu baru habis."
"Karena saya sudah pernah menangani pasien tersebut, akhirnya saya obati lagi dan kemudian suaranya kembali lagi. Sekarang sih yang saya dengar sudah baik-baik saja setelah tinggal berjauhan dengan bapak angkatnya itu."

(Berbagai pengalaman diceritakan oleh dr. Saelan selama menjalani profesi sebagai dokter kejiwaan. Foto: Dok. dr. N. Saelan Tadjudin, SPKJ)
Cara menangani pasien dengan gangguan kejiwaan
Pasien yang memiliki gangguan jiwa, terutama yang sudah masuk ke dalam gangguan jiwa berat cukup sulit. Menurut dr. Leny, pasien yang sudah masuk ke dalam gangguan jiwa berat biasanya akan ditangani langsung di IGD dan biasanya akan dilakukan fiksasi atau diikat namun dengan menggunakan bahan kain agar pasien tidak bergerak."Dan biasanya kita juga harus berhati-hati karena mereka biasanya ada juga yang meludah. Jadi saya biasanya bilangin dia lalu mukanya ditutup bantal tapi memang usahakan agar dia tetap bisa bernapas ya, hanya untuk sementara karena kita sebagai dokter juga harus tetap waspada kalau mereka itu kan bisa tiba-tiba memukul kita karena mereka kan sangat agresif," ujar dr. Lenny.
Dokter spesialis kejiwaan atau psikiater sendiri biasanya menangani bagian otak. "Sama kayak dokter jantung, dokter ginjal. Kalau kita, menanganin otak, kita menanganin otak bagian fungsinya."
"Untuk otaknya sendiri ada tumor, ada infeksi, ada perdarahan, itu biasanya ke saudara kita, dokter syaraf atau neurologi," tambah dr. Saelan.
Dan yang terpenting dalam menangani pasien dengan gangguan kejiwaan adalah sebaiknya tidak menunggu selama lebih dari sebulan.
"Jadi kalau gangguan jiwa itu jangan nunggu sebulan, dari mulai dia ngamuk itu jangan nunggu sebulan. Karena jika hal itu semakin lama dibiarkan maka akan semakin berat, karena kan gangguannya pada otak. Zat neurokimiawi di otak yang enggak seimbang. Kalau cepat ditangani, bisa kembali normal," ujar dr. Lenny.
Perbedaan antara gangguan jiwa berat dan ringan adalah pasien dengan gangguan jiwa berat biasanya sudah tidak bisa atau tidak mampu menilai kenyataan dan biasanya memiliki waham.
Menurut dr. Lenny, waham adalah suatu keyakinan yang salah tapi sulit sekali dipatahkan. "Jadi contohnya kalau saya punya waham kebesaran, saya bisa bilang kalau saya ini ratu adil padahal bukan. Atau misalnya saya ini presiden, padahal kan bukan. Nah itu yang disebut gangguan jiwa berat karena ada halusinasi."
Di otak manusia sendiri ada yang bernama neurotransmitter. Dan diantara syaraf-syaraf itu ada zat-zat, di mana kalau zat-zat tersebut normal atau seimbang maka tubuh juga akan berfungsi seimbang.
"Kalau misalnya ada sesuatu stressor, ya kita mungkin marahlah atau sedihlah tapi sebentar juga balik lagi. Nah, tapi kalau orangnya enggak kuat, itulah yang enggak seimbang sehingga bisa halusinasi," tambah dr. Lenny.
"Tidak ada seorang pun yang bisa bikin kita stres kalau kita tidak mau stres," dr. N. Saelan Tadjudin, SPKJ.
Pernah menangani pasien yang merupakan teman sendiri
Selama menjalani profesi sebagai dokter kejiwaan, ada banyak cerita yang pernah dialami oleh dr. Lenny dan dr. Saelan. Bagi dr. Lenny sendiri, salah satu hal yang sangat berkesan adalah ia pernah menangani pasien yang merupakan temannya sendiri."Waktu itu ada teman saya sendiri yang terkena gangguan jiwa karena ada masalah keluarga dan saya senang karena saya bisa membantu, dari mulai dia ngomongnya ngawur segala macam tapi untungnya dia didukung oleh keluarganya. Keluarganya sangat kooperatif akhirnya dia bisa kembali normal."
Salah satu cerita lain yang menurut dr. Lenny tidak terlupakan adalah pada saat ia bertugas di Sulawesi Selatan.
"Contohnya waktu itu perawat saya waktu saya bertugas di Sulawesi, suatu ketika dia 'meledak' dan 'meledaknya' itu di angkot. Dia mukul orang, dan kemudian orang yang dia pukul itu memukul balik jadilah berantem."
"Jadi pas datang ke rumah sakit saya itu sudah dalam keadaan giginya berdarah, tidak pakai baju dan ngeliatin saya juga tidak sopan padahal biasanya dia kalau sama saya tuh hormat banget. Kemudian saya suntik dan segala macam, tapi untungnya cepat ditangani dan dia minta maaf sama saya."
Berbeda lagi dengan pengalaman tidak terlupakan yang dialami oleh dr. Saelan.
"Waktu itu pernah ada pasien saya yang sudah tidak tidur selama tiga atau empat bulan. Dia datang ke sini dengan halusinasi segala macam, saya pikir schizoprenia ternyata hanya insomnia cuma memang sudah tiga sampai empat bulan. Akhirnya kita obatin, kemudian dia baik lagi."
Dr. Lenny Ergine, SpKJ sudah menyukai bidang kejiwaan sejak mahasiswa.
Tidak ada yang bisa membuat kita merasa stres selain diri sendiri
Gangguan kejiwaan sendiri terjadi karena berbagai faktor. "Kalau orang gangguan jiwa itu kan faktor biopsikososial, jadi faktor biologis dan psikososialnya apa aja. Dan pola asuh juga sangat berpengaruh.""Orang tua yang terlalu protektif sama anaknya juga tidak baik. Misalnya orang tua sangat menjaga anaknya jangan sampai anaknya merasa stres, padahal stressor kecil-kecilan itu tidak apa-apa," ujar dr. Lenny.
"Kita harus sadar siapa kita. Sebetulnya masalah kejiwaan kalau yang berasal dari luar, dari problem kehidupan, kalau kita tidak mau stres kan sebaiknya orang ngomong apapun kita tidak akan stres."
"Stres itu tergantung kita, mau stres apa enggak."
Respons kita terhadap stres kan berbeda-beda, ada orang yang bisa terpancing ada yang tidak mudah terpancing.
"Itu yang menyebabkan kita stres atau enggak. Tidak ada seorang pun yang bisa bikin kita stres, kalau kita tidak mau stres," tutup dr. Saelan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)