Racun dan senyawa dari lebah madu disebut melittin, digunakan untuk melawan dua jenis kanker yang sulit diobati. Penemuan ini dianggap cukup mengejutkan, tetapi para peneliti memperingatkan bahwa temuan ini masih perlu pengujian lebih lanjut.
Berdasarkan hasil laboratorium, ada ribuan senyawa kimia yang dapat melawan sel kanker. Tetapi para peneliti mengatakan hanya ada sedikit yang dapat diproduksi sebagai pengobatan untuk manusia.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Racun lebah sebelumnya diketahui memiliki sifat anti kanker untuk jenis kanker lain seperti melanoma. Studi yang dilakukan oleh Harry Perkins Institute of Medical Research di Australia Barat ini diterbitkan di jurnal peer-review Nature Precision Oncology.
Dilansir dari BBC, penelitian ini menguji racun dari 300 lebah madu dan tawon. Menurut Ciara Duffy, seorang peneliti yang memimpin penelitian menyebutkan bahwa, ekstrak lebah madu ditemukan sangat kuat dibandingkan tawon. Satu konsentrasi racun ditemukan dapat membunuh sel kanker dalam waktu satu jam, dengan kerusakan minimal pada sel lainnya.
Para peneliti juga menemukan senyawa melittin itu sendiri efektif dalam 'mematikan' atau mengganggu pertumbuhan sel kanker. Meskipun melittin secara alami terdapat dalam racun lebah madu, melittin juga dapat diproduksi secara sintetis.
“Secara signifikan, penelitian ini menunjukkan bagaimana melittin mengganggu jalur pensinyalan di dalam sel kanker payudara untuk mengurangi replikasi sel,” kata Prof Peter Klinken, kepala ilmuwan Australia Barat.
“Penelitian ini memberikan contoh baik di mana senyawa di alam dapat digunakan untuk mengobati penyakit manusia," terangnya.
Tetapi para peneliti memperingatkan bahwa lebih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk melihat apakah racun itu benar-benar dapat bekerja dalam skala besar. Terutama sebagai obat pelawan kanker.
Bahkan Associate Prof Alex Swarbrick, dari Garvan Institute of Medical Research di Sydney, mengatakan kalau temuan ini masih dalam tahap awal.
"Banyak senyawa yang dapat membunuh sel kanker payudara pada tikus, tetapi masih banyak yang harus dilakukan dari penemuan ini untuk menjadi sesuatu yang dapat mengubah praktik klinis," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(FIR)