Jakarta: Kasus pengeroyokan kejam yang dialami Audrey adalah mimpi buruk bagi para keluarga. Dari sisi psikologis, peristiwa ini terjadi karena pelaku remaja tersebut tidak mampu untuk mengatur emosi mereka.
Psikolog pendidikan spesialisasi remaja sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Shahnaz Safitri, M.Psi., Psikolog, menyatakan bahwa umumnya kalangan remaja melakukan suatu tindakan berdasarkan emosi. Dengan seperti itu, tidak jarang dari mereka melakukan hal-hal destruktif dan kemudian menyesal.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Ini kan korban remaja, pelaku juga remaja namun beda tingkatan. Yang satu SMP sementara yang satu lagi SMA. Remaja ketika memutuskan untuk melakukan sesuatu pertimbangannya lebih didorong oleh faktor emosional dibandingkan dipikirkan secara matang," tutur Shahnaz kepada Medcom.id, Rabu 10 April 2019.
Berdasarkan kronologi pengeroyokan, Audrey dijemput oleh salah satu pelaku di rumahnya pada 29 Maret 2019. Kemudian saat perjalanan, empat orang pelaku lainnya membuntuti, lalu Audrey dikeroyok di sebuah bangunan di Pontianak.
Melihat kronologi, bisa diartikan para pelaku telah melakukan rencana. Munculnya rencana ini juga didorong oleh faktor emosional yang tidak bisa dikendalikan dengan nalar mereka.
"Kita belum tau motif para pelaku melakukan pemukulan ini, tapi dilihat dia sudah mengikuti artinya sudah terencana. Melakukan rencana untuk melakukan pemukulan ini didorong oleh faktor emosional entah rasa sebal atau marah. Namun mereka belum bisa menalar bahwa yang mereka lakukan itu berbahaya yang levelnya bisa mengancam jiwa," terang Shahnaz.
Selain itu kekejaman ini juga bisa terjadi karena mereka melakukannya bersama-sama. Saat setiap pelaku melakukan tindakan tersebut, mereka merasa bahwa apa yang dilakukan bukanlah tanggung jawab pribadi masing-masing.Baca juga: Cara Mengetahui Hubungan Pacaran yang Tidak Sehat
"Faktor keduanya ketika kita bertindak bersama teman-teman masing-masing merasa itu bukan sepenuhnya tanggung jawab dia. Walaupun dia ikut dalam kerumunan ini biasanya mereka tidak merasa itu her own moral responbility," lanjutnya.
Setelah kejadian dan emosi mereka sudah turun. Biasanya mereka baru sadar dan menyesali apa yang telah mereka perbuat.
"Tapi ketika sudah kejadian, sama-sama kaget saja. Oh ternyata parah juga ya kelakuan kita. Saat kejadian biasanya mereka tidak menyadarinya. Apalagi tadi yang didorong oleh emosi," jelas Shahnaz.
Untuk menghindari hal semacam ini terulang kembali, sekolah harusnya mengambil peran dengan menyediakan bimbingan konseling yang memadai. Bisa dilakukan pelatihan-pelatihan untuk anak sekolah yang membantu mereka untuk mengontrol emosi.
"Ada cara-caranya tapi yang pastinya harus masuk dalam program preventif oleh bimbingan konseling di sekolahnya. Karena preventif, sebelum ada kasus, sudah dibuat pelatihan yang ok dulu buat siswa-siswa dalam anger Management/emotion regulation," tegas Shahnaz.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(FIR)
