merupakan siswa SMA (sekolah menengah atas). Kesedihan muncul setelah mengetahui bahwa sekolah akan dibatalkan untuk sisa tahun ini. Hal itu membuat semua kegiatan sekolah yang akan dia lewatkan.
Bahkan, kelulusan SMA-nya dibatalkan. Anak itu pun merasa hancur. Bagi sejumlah anak, saat-saat seperti itu adalah masa kekecewaan, kesedihan, dan terus terang, kehilangan.
Wisuda, turnamen olahraga, dan banyak komitmen menarik lainnya yang telah dinanti-nantikan anak-anak, kini tidak lagi terjadi sesuai rencana.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Hal tersebut lantaran isolasi mandiri di rumah yang disebabkan oleh pandemi global covid-19 (new coronavirus). Orang tua yang saat ini juga berurusan dengan tekanan berlindung di tempat, ikut bingung bagaimana menghadapinya.
"Jenis-jenis kehilangan ini dapat menyebabkan anak-anak mengalami perasaan yang mirip dengan tahap kesedihan. Pertama, ada penolakan terhadap kenyataan situasi dan berharap bahwa ini akan hilang," ujar dr. Hansa dikutip dari WebMD.
Lalu, ada kemarahan dan frustrasi, yang mungkin dirasakan banyak anak saat ini. Bisa ada kesedihan dan bahkan depresi. Sulit melihat anak-anak menderita seperti ini. Naluri pertama sebagai orang tua biasanya mencoba menemukan cara untuk memperbaiki perasaan anak mereka.
"Tetapi, bagaimana jika, dalam hal ini, menjadi orang tua yang baik berarti membiarkan anak-anak kita mengalami kehilangan dan mengalami rasa sakit? Bagaimana jika pengalaman ini akan membantu mereka menjadi lebih kuat dan lebih tangguh, lebih terbuka dan fleksibel untuk berubah?" paparnya.
Bahkan, kata dr. Hansa, anak-anak yang terpapar pada beberapa bentuk kesulitan justru menjadi lebih fleksibel dalam pemikiran mereka. Mereka memahami bahwa segala sesuatu tidak akan selalu berjalan sesuai rencana dan menjadi lebih menerima perubahan.
Misalnya, jika orang tua kehilangan pekerjaan, atau ada perceraian, anak akan tidak memiliki sumber daya untuk kegiatan atau barang tertentu. Atau bahkan mengelola hubungan dengan orang tua mereka.
Peristiwa hidup seperti ini sulit, tetapi di sisi baiknya, dapat membangun kekuatan dalam hidup mereka. Juga membantu mereka belajar bagaimana menjadi gesit dan menerima kurva yang tak terhindarkan yang akan diberikan oleh kehidupan kepada mereka.
"Sebagai ibu dari anak kembar yang menantikan kelulusan kelas 8 tahun ini, saya mengerti bagaimana perasaan anak-anak. Awalnya, saya kecewa dengan mereka, tetapi baru-baru ini kami melakukan percakapan tentang apa yang bisa kami lakukan," jelasnya.
"Kami juga berbicara tentang bagaimana kadang-kadang kesalahan terjadi dan mengakui perasaan kehilangan yang bisa kita miliki. Kemudian kita berbicara tentang bagaimana kita juga perlu menghargai apa yang kita miliki saat ini, yang bagi kita, lebih banyak waktu bersama," tambahnya.
Ia mengungkapkan bahwa mereka menikmati saat-saat jalan-jalan, menonton film, dan bermain papan bersama, hal-hal yang biasanya jarang kami lakukan karena tidak punya waktu dengan padatnya aktivitas masing-masing. Mereka akhirnya memutuskan bahwa mereka akan melakukan wisuda mini di dengan keluarga dan teman dekat di halaman belakang rumah.
"Itu tidak akan menjadi upacara sekolah menengah formal, tetapi masih akan menjadi perayaan dengan orang-orang yang penting. Mereka akan menandai akhir dari sebuah bab dalam kehidupan mereka dan dengan pengetahuan bahwa mereka semua lebih bijaksana dan kuat karena telah melalui krisis ini," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(YDH)
