Jakarta: Yayat Supriyatna terbilang sukses menjalani karier selama 12 tahun di bidang akunting di Bank Tamara. Hingga ketika Bank Tamara merger dengan Bank Danamon, ia tak memilih melanjutkan menjadi karyawan, sebab, ayahnya, H. Diding, pemilik usaha Soto Tangkar dan Sate Kuah Pak H. Diding, meninggal dunia.
"Saya pilih ambil pesangon dan lanjutin usaha. Saya bulat untuk usaha, demi keluarga. Karena sayang juga kalau usaha ini hanya sampai di ayah saya," ujar Yayat kepada Medcom.id.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Terbesit dalam benaknya untuk meneruskan usaha yang telah dirintis ayahnya sejak tahun 1960. Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga, ada tekanan batin dalam dirinya. Ia bertekad bertanggung jawab atas bisnis sang ayah.
Pria lulusan ekonomi itu sadar betul bahwa hanya dirinya yang harus mengemban tanggung jawab besar itu. Sanak saudaranya, memiliki background yang kurang pas bahkan jauh dari lingkup bisnis kuliner.
"Tapi enggak cuma saya karena keluarga support terus karena kita berusaha mempertahankan turunan dari bapak ini," tutur Yayat.
(Baca juga: Kembali Hadir, FJB 2019 Lestarikan Kuliner Nusantara Lintas Generasi)
.jpg)
(Yayat Supriyatna memutuskan untuk menerusi kuliner dari sang ayah yaitu Soto Tangkar dan Sate Kuah Pak H. Diding. Foto: Dok. Medcom.id/Sunnaholomi Halakrispen)
Berjuang dari nol
Usaha kuliner di Pasar Pagi Lama, Jakarta Barat, dimulai dari nol oleh sang kakek yang diturunkan kepada H. Diding. Ayahanda Yayat memulai usahanya dengan berjualan soto dengan dipikulnya makanan itu.H. Diding berkeliling pasar sejak pagi hari. Jerih payah sang ayah pun menghasilkan modal untuk membuka kios tempat makan Soto Tangkar dan Sate Kuah Pak H. Diding. Mata Yayat berkaca-kaca menceritakan kisah lalunya bersama sang ayah, H. Diding.
"Papa saya meninggalnya stroke langsung enggak bisa ngomong, jadi enggak ninggalin pesan. Saya anak kesayangannya dulu," kenang Yayat.
Di lain sisi, ia mengaku saat kecil tidak ikut berjualan. Tetapi, turut membantu ayahnya dengan berbelanja bahan masakan di pasar setiap sekitar pukul sembilan pagi.
"Dari kecil saya bertiga bersama kakak saya pulang sekolah SD belanja di pasar untuk beli beras dan bahan lain untuk jualan bapak. Kita bukan kayak anak-anak lain yang main," kenang pria berusia 49 tahun itu.
Meskipun sempat merasakan pahitnya perjuangan masa kecil, Yayat bersyukur merasakan keseruan itu. Mental seorang pejuang pun terbentuk dalam dirinya.
Ketika bisnis kulinernya tengah surut, ia tetap bersyukur, "Dibawa happy," sahutnya tenang.
Penerus usaha kuliner Soto Tangkar dan Sate Kuah Pak H. Diding generasi ketiga ini yakin bahwa setiap usaha ada kalanya naik dan surut. Lantaran demikian ia membuat inovasi dari penyajian masakan ayahnya.
Sebelumnya, H. Diding hanya berjualan soto betawi biasa. Lalu, karena sepulang berjualan ada daging yang sisa, ia memikirkan bagaimana caranya agar daging tersebut tidak dibuang. Daging itu pun dicampurkan bumbu dan ditusuk.
"Dia inovasi, iseng juga gimana caranya daging sisa supaya jadi duit. Ternyata satai dikuahin malah enak dan tambah wangi sotonya, ada aroma bakarnya. Satainya pun dimakan begitu saja sudah enak," paparnya.
.jpg)
(Usaha kuliner di Pasar Pagi Lama, Jakarta Barat, dimulai dari nol oleh sang kakek yang diturunkan kepada H. Diding. Ayahanda Yayat memulai usahanya dengan berjualan soto dengan dipikulnya makanan itu. Saat ini Yayat bangga meneruskannya. Foto: Dok. Medcom.id/Sunnaholomi Halakrispen)
Tekad pertahankan rasa masakan
Seiring berjalannya waktu hingga Diding meninggal, Yayat membuat inovasi dengan menyediakan daging sapi segar yang kemudian dijadikan satai. Rasanya menjadi campur aduk, lezat yang beragam. Ada rasa manis, pedas, dan asam.Namun, anak ketiga dari delapan bersaudara ini tetap bertekad memertahankan cita rasa yang dibangun ayah dan kakeknya. Meskipun, menjadi penjaja kuliner lintas generasi memang tidak mudah.
"Apapun yang sudah dijalani dari didikan orang tua ya saya jalani, kita jaga. Bumbu juga saya bertekad tidak berubah. Kecapnya hanya Bango," akunya.
Ayah satu anak itu pun mengenang riset yang pernah diterapkannya untuk meminimalisir harga bahan masakan, yakni mencoba kecap lain. Ketika beberapa kali mencicipi secara pribadi, ia hanya menggelengkan kepala.
"Saya enggak bisa pakai kecap lain, manisnya beda. Enggak tahu kenapa enggak pernah cocok. Kayaknya Bango pas banget. Papa saya dari dulu juga begitu," kata Yayat.
Demi lebih memasarkan usaha yang dirintis kakeknya, Yayat mencoba peruntungan dengan ikut serta dalam berbagai bazar. Salah satunya, Festival Jajanan Bango yang diikuti sejak tahun 2005 hingga 2019.
Rasa syukur dilantunkannya selama bisa menjadi peserta Festival Jajanan Bango. Sebab, secara otomatis semakin banyak orang yang mengenal usahanya dan semakin bertambah juga pelanggan yang datang ke kios di Pasar Pagi Lama, maupun di cabang yang terletak di sekitar Roxy, Jalan Jembatan Besi Raya, dan Jelambar.
Sementara itu, salah satu tantangan yang dirasakannya dalam meneruskan usaha orang tua ialah para pesaing yang memanfaatkan teknologi internet. Berjualan secara online diyakininya mempercepat dan mempermudah proses dagangan.
"Saya jual di pasar, sedangkan sekarang orang belanja apapun di online maka secara enggak langsung pengunjung pasar berkurang. Mungkin nantinya saya akan ikut dagang online tapi belum berani karena kan harus naikin harga. Jadi saya takut dikira jadi mahal dan pelanggan kecewa," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)