Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

ILUSTRASI: Warga membawa beras untuk membayar zakat fitrah/ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
ILUSTRASI: Warga membawa beras untuk membayar zakat fitrah/ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Perlawanan Rakyat Melalui Zakat

Sobih AW Adnan • 23 Juni 2017 17:26
medcom.id, Jakarta: Zakat, tidak sekadar dimaknai sebagai rukun Islam ke tiga. Di Indonesia, kewajiban itu pernah berperan sebagai media perlawanan rakyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.
 
Sedari tahun 1800-an, para ulama dan pemuka Islam melakukan gerilya dengan dukungan yang diperoleh dari pembayaran zakat. Ketika menunaikan kewajiban itu, rakyat langsung mendapatkan dua hal; menggugurkan kewajiban dalam agama, sekaligus bersumbangsih terhadap perjuangan Bumiputra.
 
Soal zakat dan perlawanan ulama, puncaknya terekam dalam Perang Aceh yang meletus pada 1873 hingga 1904. Meski pada akhirnya perlawanan Kesultanan Aceh itu bisa diredam pemerintah kolonial, tetapi tidak dengan gerakan perlawanan yang dilakukan rakyat melalui gerilya yang terus berkelanjutan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Para ulama yang merupakan inspirator nyata perjuangan Aceh terus melakukan perlawanan. Mereka bepergian ke seluruh Aceh dan mendakwahkan jihad fi sabili-llah. Biaya perlawanan mereka adalah zakat yang dipungut dari rakyat," tulis Taufik Adnan Amal dkk, dalam Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria (2004).
 
Adu anggaran perang
 
Jika dukungan perlawanan untuk para ulama dilakukan rakyat secara langsung melalui zakat, maka, berbeda dengan Pemerintah Hindia Belanda. Mereka, mengandalkan pembiayaan untuk memenangkan pertempuran di Aceh bergantung pada kucuran Negeri Kincir Angin.
 
Tidak semua kebutuhan Pemerintah Hindia Belanda disetujui pusat. Sebab, di negeri induk mereka sendiri pun tengah mengalami pertentangan soal nasionalisme.
 
"Sejak awal perang, berita pertama yang sampai di Belanda melalui telegraf memancing kritik yang sangat tajam dalam surat kabar dan dari States-General. Nasionalisme yang diremehkan mengalahkan perselisihan paham sampai rencana ekspedisi pertama dihapus oleh ekspedisi kedua," tulis Anthony Reid, dalam Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 (2005).
 
Pada Mei 1873, lima puluh kapal yang diminta Pemerintah Kolonial di Indonesia tidak dipenuhi oleh Kerajaan Belanda. Perangkat perang yang diajukan demi memblokade wilayah Aceh dari jalur perairan.
 
"Separuh pun dari jumlah ini tidak pernah ada di perairan Aceh, sehingga blokade yang benar-benar efektif jelas tidak mungkin terwujud," tulis Reid, masih dalam buku yang sama.
 
Perang Aceh, memang menguras biaya cukup banyak dari kedua belah pihak. Dari pembagian masanya saja, pertempuran ini bahkan sampai bisa dibagi menjadi empat periode.
 
Rentang waktu 1873-1874, dimulai dari Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Kohler. Perlawanan kedua, terjadi pada 1874-1880. Kolonial Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874.
 
Perang juga berlanjut pada 1881-1896. Masa ini disebut pertempuran periode ketiga. Teknik gerilya dikobarkan ulama melalui semangat Perang fi sabilillah. Teuku Umar, Panglima Polim dan Sultan memimpin pertempuran untuk melawan Van der Dussen di Meulaboh.
 
Pada periode inilah, Teuku Umar gugur dan posisi kepemiminannya digantikan Cut Nyak Dhien.
 
Perang keempat terjadi pada 1896 sampai 1910. Gerilya dilakukan tanpa komando. Kelompok dan perorangan melakukan perlawanan, penyerbuan, dan penghadangan tentara penjajah Belanda.
 
Siasat Belanda
 
Dari beberapa periode peperangan itu, Belanda sedikit demi sediki bisa menguasai Aceh. Bahkan pada periode kedua, Pemerintah Kolonial berhasil merebut kesultanan dan menjadikannya pusat Pemerintahan Hindia Belanda di Serambi Mekkah.
 
Sejak itulah, Belanda mulai mengutak-atik aturan zakat demi melemahkan kekuatan rakyat Aceh. Pertama-tama, pemerintah kolonial menerbitkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Ogos 1893. Peraturan itu dikeluarkan Belanda dengan dalih meminimalisir penyelewengan zakat oleh para qadhi dan naib.
 
"Padahal, para naib itu bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda tanpa memperoleh gaji yang cukup untuk membiayai kehidupan mereka," tulis Armiadi, dalam Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat (2008).
 
Siasat Belanda itu bahkan diperkuat setelah Kesultanan Aceh resmi menyerah. Zakat, dianggap harus lebih diperketat lantaran perlawanan dan gerilya rakyat masih terus berlangsung.
 
"Untuk melemahkan dana perjuangan rakyat yang bersumber dari zakat, Pemerintah Belanda pada 28 Februari 1905 mengeluarkan Bijblad Nomor 6200 yang berisi tentang pelarangan semua pegawai pemerintah dan kaum bangsawan Bumiputra untuk membantu pelaksanaan zakat," tulis Armiadi.
 
Belanda menang. Kebijakan itu bukan cuma berhasil menekan dukungan terhadap perlawanan rakyat, tapi juga turut mengancam kesadaran berzakat umat Islam.
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(SBH)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif