MASA pandemi covid-19 hingga kini belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dunia pendidikan menjadi entitas yang sangat terdampak. Hampir satu tahun pembelajaran dilaksanakan secara daring maupun luring, yang kemudian dikenal sebagai PJJ (pembelajaran jarak jauh) atau BDR (belajar dari rumah). Ancaman terjadinya kerugian pembelajaran (learning loss); meningkatknya angka putus sekolah; perkawinan anak; dan kekerasan domestik di depan mata.
Tantangan dan kendala selama PJJ/BDR dialami oleh siswa, orang tua, dan tentunya guru. Beberapa persoalan timbul: siswa jenuh selama PJJ; guru tidak bisa melayani siswa secara optimal; minimnya sarana PJJ daring di daerah; keterbatasan perangkat belajar digital; akses jauh dan medan yang sulit ke rumah siswa dengan metode guru kunjung; orang tua tak mampu mendampingi anak selama PJJ; siswa bermain game online di waktu PJJ; rendahnya serapan materi pembelajaran oleh siswa; dan di jam belajar PJJ siswa justru keluyuran entah ke mana.
Intervensi pemerintah pusat (Kemdikbud dan Kemenag) selama PJJ, di antaranya: Bantuan kuota internet bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen; bantuan subsidi upah bagi guru honorer dan swasta; kurikulum darurat di masa khusus pandemi; realokasi dan relaksasi dana BOS; modul pembelajaran untuk PAUD-SD; belajar via RRI dan TVRI yang bersifat suplemen dan; dihapuskannya ujian nasional. Walaupun banyak catatan kritis terkait kebijakan di atas, tapi semuanya bentuk kehadiran dan keseriusan negara dalam memperpendek learning loss yang dikhawatirkan terus terjadi. Kebijakan yang patut diapresiasi.
Beban tugas siswa
Di sisi lain tidak sedikit yang berujar, guru kurang kreatif mengajar selama PJJ. Apa sebab? Guru sekadar memberikan tugas kepada siswa, minus interaksi dan umpan balik yang berarti dengan peserta didik. Persepsi demikian tak semuanya keliru. Sebagai otokritik guru, dalam temuan survei Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) awal Desember lalu, di 100 kabupaten/kota dari 29 provinsi, menunjukkan mayoritas guru sebanyak 52 persen memberikan tugas setiap minggu kepada siswa.
Mengenai metode pemberian tugas sekolah siswa, masih belum ada perubahan berarti selama PJJ. Padahal Kemdikbud/Kemenag sudah mengeluarkan kurikulum darurat dan pedoman belajar dari rumah, yang substansi keduanya adalah relaksasi pembelajaran untuk mengurangi beban siswa dan guru.
Menandakan bahwa guru belum memahami dengan baik urgensi relaksasi PJJ/BDR; prinsip meringankan beban tugas siswa; dan penugasan yang belum kontekstual tehadap kondisi siswa selama pandemi. Kurikulum darurat yang berisi penyederhanaan dan pengurangan kompetensi dasar (KD) atau materi pembelajaran, jelas belum dilaksanakan dengan saksama.
Siswa sebenarnya masih terbebani dengan durasi tugas dengan waktu singkat, ditambah jumlah mata pelajaran yang banyak. Misal di SMA, ada sekitar lima belas (15) mata pelajaran. Coba bayangkan, ada 15 mata pelajaran yang gurunya memberikan tugas tiap minggu. Siswa akan mengerjakan dan mengumpulkan sebanyak 15 tugas per minggunya. Begitu juga di SD, ada sekitar sepuluh (10) mata pelajaran. Anak SD harus mengerjakan tagihan 10 jenis tugas dari 10 mata pelajaran tiap minggunya. Dalam kondisi sekolah normal saja tidak ada tugas semacam ini.
Di samping itu, masih ada sekolah yang menetapkan durasi belajar siswa sehari di atas lima jam, yaitu sebanyak 24 persen (P2G, 2020). Baik menggunakan video konferensi (Zoom, Google Meet) maupun media lain. Bagaimana mungkin siswa tidak akan terbebani, sudahlah ruang gerak terbatas, tidak bisa ke mana-mana karena covid-19, minimnya interaksi langsung bersama teman, ditambah lagi segunung tugas dari sekolah. Jelas berpotensi membuat psikologis siswa tertekan. Jadi inilah faktor sesungguhnya yang mendorong siswa ingin segera masuk sekolah (Unicef, 2020). Kemerdekaan siswa telah direnggut oleh institusi “sekolah”.
Sekolah yang gurunya masih memberikan skema tugas perminggu ini jelas keliru. Selain membuat siswa stres, sebenarnya patut juga dipertanyakan, bagaimana guru sanggup memeriksa semua tugas yang diberikan tiap minggu? Agaknya aktivitas sang guru hanya memeriksa tugas siswa, tak ada yang lain.
Ada indikasi kuat, model penugasan tiap minggu adalah satu-satunya bentuk interaksi yang terjadi antara siswa-guru selama PJJ. Jika terus terjadi, tidak menutup kemungkinan PJJ akan terus memakan korban seperti kasus siswa bunuh diri dan tak sabarnya orang tua mendampingi belajar anaknya, sehingga melakukan tindakan kekerasan. Penugasan model begini muncul, karena lemahnya peran dan sinergisitas Pengawas Sekolah; Dinas Pendidikan; dan Kemdikbud/Kemenag mengawasi dan mendampingi guru (kepala sekolah) selama PJJ.
Tiga prinsip utama
Hendaknya guru tidak lagi memberikan tugas rutin tiap minggu. Pengawas sekolah sebagaimana perintah Permendikbud No 15 Tahun 2018, lebih mengoptimalkan peran dan fungsi pengawasan, pembinaan, pembimbingan, dan pendampingan kepada guru-guru, khususnya di masa pandemi.
Dalam penugasan siswa prinsipnya adalah: fleksibilitas, kontekstual, dan tidak membebani siswa. Fleksibilitas berarti tidak kaku, hanya berorientasi pada pemenuhan kurikulum semata. Metode pengumpulan tugas disesuaikan dengan kemampuan siswa, baik dari perangkat, waktu maupun akses.
Prinsip penugasan harus kontekstual, yakni disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan siswa, lebih-lebih di masa pandemi. Jika siswa di perdesaan, maka sebaiknya fokus ke persoalan perdesaan. Misal pelajaran IPA SD, tugasnya terkait: Kondisi alam perdesaan; bagaimana penduduk desa bekerja selama pandemi.
Format tugas supaya tak membebani siswa. Beberapa mata pelajaran satu rumpun bisa kolaborasi antarmata pelajaran, jadi semacam “proyek kolaborasi”. Satu topik tugas, dapat digunakan untuk menilai beberapa mata pelajaran. Guru mata pelajaran sebaiknya tidak ego sektoral. Sekarang saatnya mewujudkan gotong-royong dalam pembelajaran.
Misalkan, untuk SMA rumpun IPS dan Humaniora: Sosiologi, Ekonomi, Geografi, PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, bahkan Agama, dapat mengangkat satu topik tugas yang sama. Lalu dinilai masing-masing guru pelajaran baik untuk aspek pengetahuan maupun keterampilan. Ini akan memudahkan siswa sekaligus guru, tanpa kehilangan substansi materi pelajaran.
Optimisme guru
Di sisi lain ada fakta sangat layak diapresiasi publik. Mengejutkan, sebanyak 52 persen guru tetap merasa semangat mengajar selama pandemi. Bahkan, ada 11 persen, yang justru merasa bahagia mendidik selama PJJ. Artinya, 63 persen guru tidak kehilangan optimisme dan senantiasa memiliki gairah mengajar di tengah covid-19 (P2G, 2020).
Fakta dan data tersebut menjadi pertanda, bahwa guru tak kehilangan semangat daya juang menjalankan profesi kebanggaannya, meskipun di tengah kondisi serbaterbatas dan beragam kendala. Bukti jika mayoritas guru kita sangat cinta terhadap profesinya.
Apa pun tantangan yang dihadapinya, tidak menyurutkan upaya mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah energi positif yang senantiasa harus dirawat dan ditangkap dengan cermat oleh pemerintah ke depannya.
Optimisme guru selama PJJ, baiknya cepat direspon dan dimanfaatkan Kemdikbud/Kemenag dan Dinas Pendidikan. Pendampingan dan pelatihan dari pemerintah, bagaimana mengelola pembelajaran dan model penugasan yang sesuai prinsip-prinsip di atas, dengan hati dan pikiran terbuka akan disambut para guru.
Tentu pelatihan yang tak hanya ramah bagi guru yang mampu mengakses perangkat digital, tetapi juga yang aksesnya serbaterbatas. Reformulasi tugas siswa menjadi keniscayaan. Sebab kita tak tahu pandemi kapan akan berakhir dan sekolah tatap muka kapan dimulai.[]
*Satriwan Salim adalah Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Satriwan Salim
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).