PRESIDEN Prabowo Subianto pasti tengah berpikir sangat keras bagaimana mengupayakan terobosan agar di awal pemerintahan yang ia pimpin, ekonomi bisa cepat lari. Prabowo bahkan mesti berpikir lebih dari 'sangat keras' agar perekonomian tidak dimulai dari kondisi loyo. Sayangnya, fakta yang kedua itulah yang mesti ia hadapi.
Apa yang dikhawatirkan banyak analis ekonomi soal dampak dari rontoknya daya beli, yang bisa menjadi momok pemerintahan Prabowo, akhirnya terkonfirmasi. Sudah sejak di triwulan kedua, para ekonom dan sejumlah kalangan mewanti-wanti pemerintahan di bawah Presiden Jokowi waktu itu untuk serius menangani pelemahan daya beli. Namun, pemerintah bergeming dengan berkali-kali mengatakan daya beli masih aman.
Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan perekonomian kita di triwulan ketiga 2024 ini (Juli, Agustus, dan September) hanya tumbuh 4,95%, alias melambat jika dibandingkan dengan triwulan kedua yang tumbuh 5,05%. Perlambatan itu terjadi karena makin loyonya daya beli.
Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh 4,95% pada kuartal III 2024 secara tahunan, itu jauh di bawah 'konsensus' para ekonom dan lembaga ekonomi. Tadinya, mereka memprediksi perekonomian kita masih bisa tumbuh 5,03% di triwulan ketiga ini.
Itu artinya, pelemahan daya beli yang menjadi musabab loyonya pertumbuhan ekonomi berada dalam kondisi lebih dalam daripada yang diperkirakan. Pelemahan perrtumbuhan itu sangat jelas terlihat akibat penurunan laju konsumsi rumah tangga yang terus terjadi dengan hanya tumbuh di bawah 5% year on year, yakni 4,91% pada kuartal ketiga 2024.
Memang, konsumsi rumah tangga masih tumbuh, tapi terus melambat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal ketiga kali ini lebih rendah daripada kuartal II 2024 sebesar 4,93%, kuartal III 2023 sebesar 5,05%, dan kuartal III 2022 sebesar 5,40%. Angka-angka itu menunjukkan konsistensi, sayangnya konsisten turun.
Pertumbuhan ekonomi di sektor yang sangat terkait dengan daya beli masyarakat, yakni sektor transportasi, pergudangan, akomodasi, makanan, dan minuman, juga melambat. Pada kuartal III 2024, pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan sebesar 8,64% yoy, padahal kuartal II 2024 masih tumbuh 9,56%. Untuk sektor akomodasi serta makan dan minum bahkan hanya tumbuh 8,33% dari kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh dua digit, yakni 10,17%.
Tanda-tanda kian melambatnya konsumsi rumah tangga juga tecermin pada kontribusi sektor tersebut terhadap produk domestik bruto (PDB) yang kian menyusut, menjadi hanya 2,55 poin persentase (pp). Padahal, biasanya konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 2,6 pp terhadap total PDB. Dengan pertumbuhan ekonomi 4,95%, kontribusi 2,55 pp itu setara dengan 51,55% terhadap total PDB.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lebih lambat itu disebabkan meningkatnya pengangguran. Hal itu ditandai dengan naiknya angka pemutusan hubungan kerja di Indonesia sebesar 31% yoy hingga Oktober, dengan jumlah hampir 60 ribu orang.
Belum lagi aktivitas manufaktur yang juga terkontraksi selama empat bulan berturut-turut, menandai kemerosotan sektor manufaktur terpanjang sejak 2021. Akibatnya, permintaan domestik melemah yang ujung-ujungnya berdampak pada konsumsi.
Dengan berbagai perkembangan itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada 2024 diperkirakan hanya di level 5%. Itu berarti lebih rendah daripada realisasi pertumbuhan ekonomi pada 2023 yang sebesar 5,05%. Jadi, tantangan jelas lebih berat dan upaya mencari terobosan harus lebih keras.
Butuh stimulan yang lebih, tidak hanya dari sisi fiskal pemerintah, tapi juga dari sisi moneter. Dari sisi fiskal, perpanjangan insentif fiskal yang terkait dengan insentif PPnBM untuk mobil listrik, properti, lalu tax holiday memang penting. Namun, bila ingin dampak insentif itu lebih terasa, mestinya rencana penaikan pajak PPN jadi 12% awal tahun depan sebaiknya dibatalkan.
Dari sisi moneter, data pertumbuhan kuartal III 2024 sebetulnya sudah menjadi sinyal bagi otoritas moneter, yakni Bank Indonesia, untuk segera menurunkan tingkat suku bunga acuan BI rate, yang saat ini masih tinggi di level 6%. Kalau suku bunga diturunkan dan lebih murah, aktivitas ekonomi akan meningkat, terutama dari sisi konsumen. Mereka butuh suku bunga lebih murah untuk membayar cicilan, untuk membayar terkait dengan biaya kredit bagi para pelaku usaha.
Tentu, itu semua butuh orkestrasi yang kompak, perlu kabinet yang segendang sepenarian. Para menteri dan otoritas moneter mesti berani jujur mengakui bahwa kebijakan mereka selama ini belum ramah terhadap daya beli. Dengan mengakui secara jujur tanpa menghibur diri, dipadu dengan nyanyian yang senada seirama, tantangan akan lebih mudah ditaklukkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Abdul Kohar
Dewan Redaksi Media Group