Namun, akhir-akhir ini kita disuguhi kenyataan bahwa ada sejumlah pejabat yang pernyataan dan tindakan mereka justru menyempal dari keniscayaan menguatkan legitimasi lembaga tersebut. Dimulailah dari kasus data perberasan nasional.
Saat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berkali-kali menegaskan pihaknya meyakini bahwa produksi beras nasional sangat mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan malah bilang tidak percaya dengan data itu.
Padahal, Menteri Syahrul mendasarkan keyakinannya itu dari data Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai rujukan produksi beras nasional. BPS sudah merilis data bahwa produksi beras nasional masih mencukupi kebutuhan dalam negeri. Produksi beras kita sangat optimal sesuai perencanaan. Saat ini luas lahan panen kita di atas 10 juta hektare dan produksinya sangat maksimal. Mengutip data BPS, produksi 2022 diprediksi akan mencapai 32,07 juta ton. Jumlah tersebut meningkat 718,03 ribu ton atau 2,29% jika dibandingkan dengan produksi beras pada 2021 dengan capaian 31,36 juta ton.
Atas dasar data BPS tersebut, Mentan meyakini bahwa produksi beras aman, begitu pula stoknya juga aman. Mengamini Menteri Perdagangan, Dirut Bulog Budi Waseso menyebut terjadi kelangkaan beras di lapangan sehingga menyulitkan Bulog menyerap beras, akibatnya cadangan beras pemerintah menipis. Jauh dari standar cadangan yang seharusnya 1 juta ton.
Bahkan, sejumlah pejabat menggunakan laporan Bank Dunia yang menyebutkan harga beras Indonesia termahal se-ASEAN. Atas dasar laporan itu, perlu segera diimpor beras dengan harga di bawah rata-rata harga beras Indonesia yang dianggap kelewat mahal itu.
Padahal, data Bank Dunia tersebut masih perlu dicermati lebih lanjut, termasuk kapan data tersebut diambil. Jika melihat situasi saat ini, saat petani belum memasuki masa panen, amat wajar bila harga beras lebih tinggi daripada saat musim panen.
Pada November sampai Desember, mayoritas petani sedang menanam padi. Karena bukan masa panen, harga beras akan cenderung naik. Siapa pun atau lembaga apa pun yang menyurvei harga, pasti bakal menemukan harga beras lebih tinggi daripada biasanya.
Namun, berdasarkan data yang dimiliki, Mentan berani memastikan harga beras kita tidak pernah menabrak harga eceran tertinggi (HET). Bahkan, harga beras kita kedua terendah se-ASEAN. Itu rerata harga beras dalam satu tahun.
Baca Juga:Bulog: Stok Beras Cukup |
Dengan tidak memercayai apa yang disampaikan Mentan, bisa dimaknai Menteri Perdagangan tidak percaya kepada BPS. Kalau ada pejabat negara tidak lagi percaya data lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan data, itu sama saja dia tengah mendelegitimasi lembaga negara.
Bukankah aturan sudah terang benderang tentang legitimasi BPS? Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 Pasal 31 yang diperkuat Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, secara clear menempatkan BPS sebagai pembina dalam hal ihwal pendataan.
Dalam posisi itu, BPS mempunyai tugas di antaranya menetapkan standardisasi data lintas instansi pusat dan daerah, menetapkan struktur yang baku dan format baku dari metadata yang berlaku lintas instansi pusat dan atau daerah.
Dengan demikian, jika mengikuti logika bunyi undang-undang dan perpres, data yang keluar dari BPS ialah data yang sudah terstandardisasi. Data BPS yang dipublikasikan juga sudah tergaransi dari segi kebakuan baik struktur maupun formatnya. Jadi, mau memercayai siapa lagi? Kurang standar dan baku apa data BPS?
Publik, petani, dan konsumen seyogianya tidak dibuat bingung soal sengkarut data ini. Berkali-kali pemerintah meminta rakyatnya untuk memercayai lembaga negara.
Namun,, rakyat akan kian bingung karena pada saat bersamaan, sejumlah penyelenggara negara malah tidak percaya kepada lembaga negara. Itu seperti mengajak rakyat ramai-ramai untuk tidak lagi memercayai lembaga negara yang memiliki kompetensi dan otoritas terkait dengan data.
Jangan pula karena preferensi politik, misalnya, kita mengingkari ikhtiar keras yang sudah dilakukan sebuah lembaga untuk mengakhiri sengkarut pendataan yang muncul dari waktu ke waktu.
Ada 'peringatan' penting dari peneliti dan ilmuwan Daron Acemoglu dan James A Robinson tentang delegitimasi lembaga negara. Dalam buku Why Nations Fail, keduanya menyebut bahwa delegitimasi lembaga negara itu salah satu bentuk dari meniti jalan menuju negara gagal.