SEGALA yang ekstrem memang tidak mengenakkan. Cuaca ekstrem, ideologi ekstrem, sikap ekstrem, juga kemiskinan ekstrem, semua itu sekuat tenaga mesti dihindari, bahkan dibasmi. Namun, bukan perkara gampang menihilkan yang ekstrem. Butuh daya juang ekstra. Perlu jiwa tahan banting yang tidak terkira.
Baca:Menko PMK: Pengentasan Kemiskinan Ibarat Nasi Liwet
Menangani cuaca ekstrem, misalnya, tentu tidak cukup hanya mengandalkan pawang. Mesti ada tenaga ahli cuaca dan teknologi terkini untuk modifikasi cuaca yang mengupayakan agar cuaca ekstrem tidak terlalu berdampak fatal. Toh, itu pun belum tentu berhasil seratus persen.
Apalagi menihilkan kemiskinan ekstrem, amat sangat perlu waktu. Tujuh dekade rasanya belum cukup untuk mewujudkannya. Itulah mengapa Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengistilahkan usaha membasmi kemiskinan ekstrem seperti membersihkan nasi liwet.
Nasi liwet yang dimaksud Menteri Muhadjir ialah nasi yang ditanak langsung, tanpa saringan atau kukusan. Bukan jenis kuliner nasi liwet khas Solo yang gurih itu. Kalau yang itu, asal perut kosong, dalam tempo sekejap juga bisa habis bersih. Nasi liwet versi Pak Menteri ini sulit dibersihkan karena bagian bawahnya berkerak.
Kerak nasi liwet itulah kemiskinan ekstrem. Muhadjir mengatakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan butuh perjuangan. Perjuangan itu digambarkan melalui perumpamaan. “Makin sedikit yang miskin bukan semakin mudah, justru semakin sulit untuk dihilangkan. Ibarat nasi liwet, ini adalah keraknya yang harus didatangi satu-satu,” kata Muhadjir, akhir pekan lalu.
Republik ini memang telah berusia 76 tahun. Agustus nanti sudah 77 tahun. Namun, dua dekade menjelang seabad usia Indonesia, masih ada 9,71% orang hidup dalam belitan kemiskinan. Persentase itu setara dengan 26,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2021, ada sekitar 10,8 juta orang (sekitar 4% populasi) hidup dalam kemiskinan ekstrem. Kemiskinan ekstrem terbanyak ada di Jawa Barat. Jumlahnya lebih dari 1,7 juta jiwa.
Pada 2021, pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi kemiskinan ekstrem di 35 kabupaten prioritas di 7 provinsi dengan 24 kabupaten di antaranya berada di wilayah pesisir. Pada 2022, pemerintah memperluas cakupan penanggulangan kemiskinan ekstrem di 212 kabupaten dan kota di 25 provinsi dengan 147 kabupaten dan kota di antaranya berada di wilayah pesisir.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menargetkan kemiskinan ekstrem sirna atau nol persen hingga 2024. Itu artinya dua tahun lagi, Indonesia harus sudah bersih dari kemiskinan ekstrem. Kerak-kerak liwetan nasi harus sudah diangkat semua tanpa ada sisa. Mengangkat 10,8 juta orang dari kubangan kemiskinan ekstrem bukanlah pekerjaan mudah.
Lalu, siapa kah penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem? Dari berbagai literatur disebutkan bahwa penduduk yang termasuk miskin ekstrem ialah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan ekstrem. Garis kemiskinan ekstrem ialah garis kemiskinan internasional yang angkanya setara US$1,9 purchasing power parity atau PPP per hari.
Konsep purchasing power parity dapat diilustrasikan jika harga satu buah apel di Amerika Serikat ialah US$1, sedangkan harga satu buah apel sejenis di Indonesia Rp500, PPP-nya senilai US$0,002/rupiah. Jika dirupiahkan, pada 2021 garis kemiskinan ekstrem sekitar Rp12 ribu per orang per hari.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ketika pengeluaran penduduk di bawah Rp12 ribu per orang per hari, penduduk tersebut dikatakan penduduk miskin ekstrem. Namun, perlu diperhatikan bahwa angka tersebut merupakan angka rata-rata per kapita untuk semua kelompok umur, yaitu bayi, balita, anak-anak, dewasa, dan manula yang dalam faktanya memiliki pola konsumsi berbeda-beda.
Profil seperti itulah yang ada di depan mata kita. Mengentaskan mereka dari kemiskinan ekstrem jelas butuh kerja keras. Istilah Menteri Muhadjir, harus habis-habisan turun ke lapangan langsung, jangan gengsi, jangan jaga image, dan jangan cari pencitraan. Dengan terjun langsung, perumus kebijakan akan tahu bagaimana bisa ada rumah dengan ukuran kurang dari 3 x 3 meter disesaki tujuh orang.
Potret superburam kemiskinan ekstrem harus diakui secara terbuka. Tidak tersedia lagi ruang untuk menutupi itu demi memoles citra atau mempersolek diri.
Cukup sudah menjadikan kemiskinan sekadar ajang perdebatan statistik dan kategorisasi untuk tujuan politisasi. Semakin panjang perdebatan, semakin ekstrem kemiskinan, semakin lama penderitaan, kian berkerak pula nasi liwet itu.
Abdul Kohar
Dewan Redaksi Media Group