Teller melayani transaksi nasabah di Bank Mandiri, Jakarta. (foto: Antara/Puspa Perwitasari)
Teller melayani transaksi nasabah di Bank Mandiri, Jakarta. (foto: Antara/Puspa Perwitasari) ()

Kampanye Penurunan Suku Bunga Dimulai

22 Februari 2016 13:00
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
 

 
PEMERINTAH akan memulai kampanye penurunan suku bunga perbankan, yang selama ini dipandang menghambat laju investasi dan upaya mendorong industrialisasi.
 
Diskusi tentang hal itu sudah lama dan sering dilakukan, tapi selalu menemui jalan buntu. Salah satu usulan konkret yang sudah saya tulis ialah bank-bank BUMN seyogianya menjadi pelopor penurunan suku bunga tersebut.
 
Alasannya sederhana, empat bank BUMN (Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN) dewasa ini menguasai 40% pangsa pasar industri perbankan.
 
Aset total industri perbankan kita saat ini sekitar Rp6.000 triliun.
 
Besarnya penguasaan market share itu diharapkan menjadi jalan memengaruhi kebijakan suku bunga bank-bank lain.
 
Namun risikonya, bank-bank BUMN tersebut akan menderita penurunan margin suku bunga, yang tecermin pada variabel net interest margin (NIM), yang pada giliran berikutnya akan menurunkan tingkat profitabilitas.
 
Padahal, tingkat laba menjadi variabel terpenting bagi pemegang saham (dalam hal ini pemerintah) dalam menilai kecakapan jajaran direksi sebuah bank BUMN.
 
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam memaksa bank-bank BUMN akan menimbulkan konsekuensi penurunan laba.
 
Karena itu, perlu dimunculkan variabel-variabel lain untuk menilai kinerja dewan direksi di luar laba, misalnya seberapa besar efisiensi yang bisa dilakukan bank yang ditunjukkan oleh BOPO (biaya operasional dibagi pendapatan operasional) dan CIR (cost-income ratio).
 
Tidak mudah
 
Upaya untuk menekan suku bunga itu kini benar-benar akan dilaksanakan.
 
Caranya, pemerintah akan membentuk tim khusus yang terdiri dari gabungan antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), yang bertugas mengendalikan simpanan perbankan.
 
Simpanan (deposit) yang dikontrol ialah yang berasal dari 'sektor pemerintah', yakni APBN, APBD, badan layanan umum, BUMN, dan BUMD.
 
Akan efektifkah kebijakan itu? Meski saya setuju kebijakan itu diberlakukan, harus disadari bahwa sangat tidak mudah mendorong penurunan suku bunga.
 
Mengapa?
 
Berdasarkan data Menteri Keuangan, dana pemerintah daerah yang tersimpan di perbankan mencapai Rp100 triliun.
 
Dana itu amat mungkin hampir seluruhnya tersimpan di bank pembangunan daerah (BPD).
 
Jika ditambah dengan dana-dana 'sektor pemerintah' yang lain (BUMN dan lain-lain), saya duga jumlahnya tidak akan lebih dari Rp500 triliun.
 
Likuiditas itu kebanyakan bersifat in dan out di bank.
 
Artinya, kadang masuk menumpuk menjadi deposito di bank, kadang ditarik untuk berbagai keperluan pemerintah pusat dan daerah maupun BUMN/BUMD. Tidak mungkin semuanya ngendon di bank dalam waktu yang terlalu panjang.
 
Itu pun tidak semua tersimpan di bank-bank BUMN, karena regulasi pemerintah memang memungkinkan dana tersebut disimpan di bank-bank swasta.
 
Jadi, sebenarnya, yang akan terkena 'represi' suku bunga sebenarnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan seluruh dana masyarakat di bank.
 
Dewasa ini, penghimpunan dana masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) Rp4.400 triliun, sedangkan penyaluran kredit Rp4.400 triliun.
 
Dengan kata lain, saya menduga upaya pemerintah menurunkan suku bunga melalui penetapan suku bunga maksimum untuk dana 'sektor pemerintah' di bank-bank BUMN ini tidaklah akan elastis.
 
Mungkin akan menyebabkan pernurunan suku bunga, tapi tidaklah terlalu besar.
 
Pengelolaan finansial
 
Dalam teori dan bukti empiris di sektor finansial global, terdapat dua mazhab pengelolaan sektor finansial.
 
Pertama, mazhab represi finansial (financial repression).
 
Mazhab itu pernah dilakukan sesudah perekonomian dunia terpukul depresi hebat (the great depression) pada 1930-an, yang menghancurkan bank-bank.
 
Akibatnya, pemerintah memberlakukan kebijakan represi (memaksa) penentuan suku bunga, supaya bank-bank menjadi lebih berhati-hati dan menghindari krisis.
 
Kedua, mazhab liberalisasi finansial (financial liberalization). Aliran itu merupakan koreksi terhadap mazhab represi finansial yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
 
Sikap yang terlalu hati-hati dalam mengelola sektor finansial ditengarai menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi.
 
Sejak 1980-an, AS mulai memelopori mazhab itu, yang mulai diadopsi Indonesia sejak deregulasi perbankan 1983 dan seterusnya.
 
Kini, pemerintah mulai mengadosi sedikit mazhab represi finansial.
 
Namun, saya meragukan efektivitasnya.
 
Lalu, upaya apa yang efektif untuk menurunkan suku bunga.
 
Menurut saya, ada dua hal. Pertama, penurunan suku bunga acuan BI rate.
 
Untuk menurunkan suku bunga, biasanya BI secara berhati-hati mengevaluasi terlebih dulu berbagai aspek dalam indikator-indikator perekonomian makro.
 
Penurunan tingkat inflasi tidak serta-merta bisa menyebabkan BI menurunkan suku bunga acuannya.
 
Masih harus dicek dengan variabel lain yang sensitif terhadap BI rate, misalnya kurs rupiah, cadangan devisa, neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan neraca pembayaran.
 
Jika semua variabel dalam keadaan positif dan stabil, penurunan BI rate baru bisa dilakukan.
 
Itulah yang terjadi pekan lalu, tatkala BI rate bisa diturunkan dari 7,25% menjadi 7%, tanpa menimbulkan gejolak negatif, terutama pada kurs rupiah dan aliran modal keluar (capital outflows).
 
Kedua, sudah lama diketahui jumlah bank di Indonesia terlalu banyak. Saat ini ada 119 bank yang melayani 255 juta penduduk kita.
 
Sebagai perbandingan, di Malaysia hanya ada 8 bank yang melayani 30 juta penduduk.
 
Itu pun Malaysia masih akan merampingkan jumlah banknya menjadi 5-6 bank saja melalui proses merger dan akuisisi.
 
Di Singapura, hanya ada tiga bank (DBS, UOB, dan OCBC) yang asetnya merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
 
Di kalangan Asia Tenggara, aset total bank terbesar Indonesia, Bank Mandiri, hanya menduduki peringkat 10.
 
Di atasnya ada bank-bank Singapura (3 bank), Malaysia (3), dan Thailand (3).
 
Kemungkinan merger
 
Dengan jumlah bank yang banyak, terjadi persaingan ketat dalam banyak hal, termasuk dalam memperebutkan nasabah deposan.
 
Salah satu aspek kunci dalam persaingannya ialah dengan memberi suku bunga yang tinggi kepada penabung.
 
Itulah realitas konvensional perbankan kita: bank terpaksa menetapkan suku bunga tinggi untuk menarik para deposan.
 
Di sisi lain, jumlah bank yang banyak juga tidak efisien.
 
Bank-bank tersebut harus berbelanja teknologi yang mahal untuk meningkatkan daya saing terhadap kompetitor mereka.
 
Misalnya, mereka harus berbelanja mesin anjungan tunai mandiri (ATM) yang biayanya mahal.
 
Sebaliknya, bayangkan saja jika empat bank BUMN melakukan merger, jumlah ATM pun bisa dikurangi, demikian pula jumlah cabang dan karyawannya.
 
Hal semacam itu pernah dialami ketika pemerintah melakukan merger empat bank BUMN (BDN, Bapindo, Bank Bumi Daya, dan Bank Exim) menjadi Bank Mandiri pada 1999.
 
Hasil merger itu terasa positif hingga saat ini.
 
Bank Mandiri menjadi bank terbesar di Indonesia, meski dari sisi profitabilitasnya ketinggalan daripada BRI yang banyak memiliki exposure di kredit kecil dan mikro (UMKM) dengan margin keuntungan tinggi.
 
Sekarang bayangkanlah jika empat bank BUMN digabung, tentu akan menghasilkan sebuah bank yang amat besar, dengan aset total sekitar Rp2.400 triliun, dengan efisiensi yang lebih tinggi.
 
Dalam industri perbankan, berlaku adagium size does matter. Semakin besar bank, semakin tinggi efisiensinya (the larger, the better).
 
Implikasinya, bank besar hasil merger pun akan bisa menurunkan suku bunga tanpa mengganggu berbagai variabel kinerjanya, termasuk laba.
 
Pemerintah saya dengar juga berencana membentuk perusahaan induk (holding company) bagi empat bank BUMN.
 
Langkah itu sebenarnya merupakan hasil kompromi.
 
Di satu pihak, pemerintah menyadari bahwa bank-bank BUMN perlu digabung (merger) untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing.
 
Di sisi lain,, hal itu terkendala oleh faktor politis.
 
Secara politis, merger akan berimplikasi negatif berupa keresahan bagi karyawan (dan manajemen) yang jumlahnya akan terpangkas secara sugnifikan.
 
Karena itu, pembentukan holding company merupakan jalan tengahnya.
 
Namun, pilihan itu nanggung dan saya rasa tidak akan memberi dampak signifikan.
 
Di masa depan, merger akan menjadi satu-satunya pilihan yang tak bisa dihindari.
 
Dengan cara itu pula tujuan besar kita (ultimate goal) untuk menurunkan suku bunga bisa dimungkinkan terealisasikan.
 
Pembentukan gugus tugas (task force) untuk mengendalikan suku bunga deposito terhadap likuiditas sektor pemerintah di bank-bank BUMN yang akan dibentuk, saya duga hanya menjadi semacam 'kosmetik', yang tidak cukup signifikan dapat menggerakkan penurunan suku bunga secara permanen.
 
Itu hanyalah salah satu kondisi yang diperlukan saja, tapi masih tetap belum cukup (it is necessary condition, but not sufficient).
 
Masih banyak upaya besar lain yang harus dilakukan, sebelum kita benar-benar bisa menikmati suku bunga rendah.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase bi rate

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif