Ilustrasi. MI/Duta
Ilustrasi. MI/Duta (Media Indonesia)

Ultimatum Hakim Damis

Media Indonesia • 22 April 2021 05:36
ADA yang menarik dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketua pengadilan setempat, Muhammad Damis, kerap memberikan wejangan, bahkan peringatan, kepada para pesakitan yang duduk di kursi terdakwa. Dia memperingatkan terdakwa untuk tidak mencoba menyuap pengadilan.
 
Wejangan yang patut diberikan apresiasi di tengah sorotan terhadap integritas lembaga peradilan di negeri ini. Tidak hanya karena persoalan mafia hukum dan suap-menyuap dalam pengurusan perkara, tetapi juga tabiat peradilan yang akhir-akhir ini gemar memberikan kortingan hukuman kepada para koruptor.
 
Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang menjadi terdakwa kasus suap pengadaan bantuan sosial covid-19, kemarin, ditanyakan komtimennya oleh Hakim Damis untuk menjaga muruah peradilan. Ia mengultimatum Juliari agar tidak coba-coba mencari jalan untuk memengaruhi independensi hakim.
 
Sebelumnya, dalam kasus pencabutan red notice atau DPO Interpol atau Kasus Suap Djoko Tjandra, Hakim Damis turut menyampaikan wejangan serupa. Menurutnya, jika ada pihak-pihak yang mengatasnamakan hakim meminta suap, jelas sebuah kebohongan. Memang, pernyataan dan peringatan seperti itu tidak bisa menjadi jaminan keadilan akan benar-benar ditegakkan, kecuali dengan penjatuhan vonis yang benar-benar menjerakan dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
 
Tetapi, bentuk penegasan di awal persidangan oleh pemegang tongkat keadilan bisa ditafsirkan sebagai upaya membentengi diri dari upaya untuk memengaruhi independensi para wakil Tuhan. Kebiasaan yang mungkin bisa diteladani semua lembaga peradilan.
 
Harus jujur diakui bahwa korupsi telah merambah semua bidang, termasuk yudikatif. Sudah ada beberapa hakim yang ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Menurut catatan Komisi Yudisial, pada 2020, sebanyak 4 hakim direkomendasikan untuk diberi sanksi karena menerima suap.
 
Sorotan terhadap integritas lembaga peradilan masih belum teralihkan dengan kepercayaan. Soal korting hukuman para koruptor, misalnya, masih membuat heran banyak pihak. Apalagi justru dilakukan lembaga peradilan tertinggi di tingkat kasasi, Mahkamah Agung. Lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi tegaknya keadilan.
 
Alih-alih memperkuat vonis hukuman bagi koruptor di tingkat pertama dan tingkat banding, Majelis Hakim MA justru meringankan vonis hukuman dan bahkan memvonis bebas koruptor lewat mekanisme kasasi dan peninjauan kembali.
 
MA kehilangan muruahnya sebagai 'momok koruptor', justru sebaliknya kerap memberikan diskon hukuman kepada koruptor. Sejumlah koruptor kakap yang dengan susah payah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan keringanan, bahkan dibebaskan.
 
Begitupun keraguan terhadap upaya pemberantasan mafia peradilan terlihat tatkala vonis terhadap mantan sekretaris MA Nurhadi Abdurahman. Ia divonis 6 tahun penjara. Vonis yang jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara.
 
Padahal, Nurhadi bukanlah terdakwa biasa. Sebelum dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dia merupakan ‘orang sakti’. Nurhadi bahkan sudah lama disebut-sebut bagian dari mafia peradilan yang bisa jadi pintu masuk membongkar jaringan lainnya.
 
Urusan korting dan mafia peradilan ini mungkin berhubungan, mungkin juga tidak. Tetapi yang jelas, ketika mafia peradilan tidak tuntas diberantas, hukum selamanya akan menjadi komoditas. Semuanya bisa asal ada rasywah.
 
*Editorial Media Indonesia, Kamis, 22 April 2021

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar mafia hukum Pemberantasan Korupsi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif