Kalimat itu artinya, "Indonesia selalu mengecewakan. Mengecewakan yang optimistis, juga mengecewakan yang pesimistis." Mereka yang pesimistis kecewa karena ramalan mereka salah. Kaum pesimis kerap menujum bahwa dalam hitungan satu dekade sejak badai krisis 1998, Indonesia akan runtuh. Nyatanya, dua setengah dekade kemudian, Indonesia tetap eksis dengan perekonomian yang terus berkembang.
Adapun kekecewaan kaum optimis dipicu oleh harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai dua digit yang tidak kunjung terwujud. Jangankan tumbuh dua digit, bisa mendekati rata-rata pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun sebagaimana janji awal tiap rezim saja masih jauh panggang dari api. Bahkan, makin ke sini, puncak pertumbuhan ekonomi bergeser dari 7 persen ke angka rata-rata 5 persen per tahun.
Repotnya lagi, capaian pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen itu kerap dianggap sudah 'lumayan' oleh pemerintah. Kalimat yang kerap digunakan, “Kita patut bersyukur, di tengah negara lain susah tumbuh, ekonomi kita masih bisa bergerak di angka pertumbuhan lebih dari 5 persen.” Bagi sebagian orang, kalimat tersebut bisa dimaknai cukup puas atas capaian yang diraih. Padahal, bagi Indonesia yang bercita-cita menjadi negara maju, pertumbuhan 5 persen jelas tidak cukup. Capaian itu tidak akan bisa menolong kita keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah menuju negara berpendapatan tinggi.
Berkali-kali para analis mengingatkan bahwa Indonesia akan sulit menghindari middle income trap bila tidak ada upaya radikal untuk menciptakan daya ungkit pertumbuhan. Hingga saat ini, Indonesia sudah mengarungi tiga dekade menjadi negara berpenghasilan menengah. Bila itu terus terjadi, bisa-bisa negara ini 'tua sebelum kaya'.
Baca Juga:Perekonomian Indonesia Tetap Stabil di Tengah Meningkatnya Ketidakpastian Global |
Dalam banyak mimbar pidato, para pejabat di negeri ini kerap mengapungkan harapan terhadap bonus demografi. Usia produktif yang melimpah di Indonesia itu akan terjadi di 2030. Pada tahun itu, hampir 70 persen penduduk Indonesia merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun), yang mampu menghasilkan banyak hal dan punya potensi besar mendongkrak negeri ini menjadi negara berpendapatan tinggi.
Tapi, hari ini, tujuh tahun menjelang puncak bonus demografi, kita belum menemukan peta jalan yang jelas bagaimana memanfaatkan usia produktif itu untuk keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Padahal, bonus demografi ini hanya akan bertahan hingga 2050. Setelah itu, secara perlahan tapi pasti, kita masuk ke fase aging population atau era penduduk berusia tua.
Alhasil, kita cuma punya durasi 27 tahun untuk benar-benar memanfaatkan bonus demografi. Tapi, proses meratakan jalan menuju titik itu mestinya sudah gamblang sejak hari ini. Kalau gagal dirumuskan hari ini, jebakan negara berpendapatan menengah akan berlanjut ke episode negeri yang tua sebelum kaya.
Kiranya Jepang dan Korea Selatan bisa menjadi inspirasi bagaimana mereka kini berada dalam situasi 'menuju tua, tapi sudah kaya'. Kedua negara itu mampu memanfaatkan ruang melimpahnya kelompok usia produktif mereka secara maksimal dua dekade lalu. Hasilnya, saat memasuki era aging population, rata-rata pendapatan per kapita penduduk Jepang sudah di USD33 ribu, sedangkan Korea Selatan terpaut tipis di USD32 ribu.
Sementara itu, Indonesia yang baru saja ditetapkan oleh Bank Dunia sebagai negara kelas menengah atas, pendapatan per kapitanya baru mencapai USD4,5 ribu, alias seperdelapan dari Jepang dan Korsel. Bila ekonomi kita tumbuh terus sampai 2050, dengan kondisi pertumbuhan ekonomi 5 persen sampai 6 persen, pendapatan per kapita kita masih di bawah USD30 ribu.
Bila negeri ini hendak keluar dari kemelut menjadi tua sebelum kaya, janji mengembalikan rata-rata pertumbuhan ekonomi 7 persen seperti sebelum saat krisis 1998 harus segera ditunaikan. Berbangga atas stempel 'negara berpenghasilan menengah atas' yang diberikan Bank Dunia sah-sah saja.
Tapi, menepuk dada atas capaian itu hanya akan melanggengkan kita dalam kubangan yang sama bertahun-bertahun. Lalu, tahu-tahu negeri ini sudah 'renta sebelum sejahtera'.
Saya jadi ingat sebuah novel berjudul Lelaki Tua dan Laut karya sastrawan peraih Nobel, Ernest Hemingway, yang mengisahkan nelayan tua miskin bernama Santiago yang dijuluki salao atau 'yang paling sial di antara yang sial'. Nelayan 85 tahun itu tetap melaut. Harapannya tidak pernah pudar tahun demi tahun hingga ia tua dalam kemiskinan dan kesepian.