Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet.
Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet. (Jaka Budi Santosa)

Jaka Budi Santosa

Jaka Budi Santosa

Balas Jasa itu (tidak) Baik

Jaka Budi Santosa • 18 Oktober 2024 06:07
ADA pepatah utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati. Utang budi memang bukan perkara gampang. Tak semua orang mau membayar utang budi, tak tiap manusia bisa membalas jasa.
 
Balas budi atau balas jasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti memberikan (membayar) sesuatu sebagai imbangan jasa (perbuatan dan sebaagainya) yang sudah diterima. Balas budi dalam bahasa Inggris disebut reciprocation.
 
Oleh Cambridge English Dictionary, ia didefinisikan sebagai the fact of feeling or behaving towards someone else in the same way as they feel or behave towards you. Artinya konsep merasakan atau berperilaku ke orang lain selayaknya mereka merasakan atau berperilaku kepada kita.
 
Secara umum, tahu balas budi itu baik. Itu karakter yang luhur. Sebaliknya, yang tak tahu balas jasa, yang pelit untuk berterima kasih, ialah sifat yang andap. Peribahasa Latin bilang, 'Berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih berarti membuang air mawar ke laut'. Di antara orang yang tahu balas budi ialah Prabowo Subianto, presiden terpilih yang pada 20 Oktober lusa akan dilantik menjadi nakhoda baru kapal besar bernama Indonesia. Kesan itulah yang kental terasa hari-hari ini terkait dengan audisi calon menteri, calon wakil menteri, serta kandidat kepala-kepala lembaga dan badan.
Baca juga:Akomodasi Kabinet Prabowo, Jokowi Teken Perubahan UU Kementerian Negara

Ada 108 orang yang dipanggil Prabowo ke kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan, pada Senin (14/10) dan Selasa (15/10). Untuk calon menteri sekitar 49, sisanya calon wakil menteri atau pejabat lain. Banyak, sangat banyak. Kalau dibanding-bandingkan, ia mirip Kabinet 100 Menteri di era Orde Lama. Kabinet yang usianya tak sampai seumur jagung, sekitar sebulan saja.
 
Tak cuma postur yang amat 'berbobot', calon-calon pembantu Prabowo itu pun sulit dilepaskan dari urusan jasa dan budi. Banyak sekali di antara mereka yang memang berjasa besar dalam memenangkan Prabowo. Mereka tak sia-sia berjibaku di pilpres. Tak percuma meski harus lompat pagar, berbalik pandangan politik, bahkan menjilat ludah sendiri.
 
Ada artis, ada penceramah, ada akademisi, ada aktivis, bahkan disebut-sebut ada buzzer. Tentu tak ketinggalan aktor-aktor politik. Pokoknya paket komplet. Mereka sudah berjasa dan jasa itu kini dibayar yang diutangi jasa. Bolehkah? Tidak ada yang bisa melarang. Wajarkah? Para presiden sebelumnya juga melakukan meski beda takaran.
 
Namun, dalam politik, tahu balas budi tak selamanya baik. Membalas 'kebaikan' yang ditebar kontestan pilpres, pemilu, atau pilkada bisa merusak demokrasi. Permainan politik uang hanya menghasilkan pemimpin yang bukan sejatinya pemimpin.
 
Membentuk kabinet dengan mengedepankan semangat balas jasa jelas tak baik. Lebih buruk lagi jika kemudian faktor kompentensi para calon diabaikan, rekam jejak dinegasikan. Apalagi jika jasa sang pemberi jasa sampai menyandera. Itukah yang dilakukan dan dialami Prabowo? Banyak yang menyebut demikian. Mereka mempertanyakan dan meragukan kapasitas dan kapabilitas berderet figur. Tak sedikit pula yang menyoal adanya 16 menteri Jokowi yang akan tetap dipakai Prabowo.
Baca juga:Pemilihan Kabinet Prabowo-Gibran Bikin Semringah Pasar Saham,Kok Bisa?

Suka berbagi pun baik, mulia. Bagi-bagi itu pula yang tersirat dalam pemilihan anggota kabinet oleh Pak Prabowo. Bolehkah? Tiada yang dapat menghalangi. Pembentukan kabinet ialah hak prerogatif presiden. Mutlak, sepenuhnya milik dia. Wajarkah berbagi kursi? Presiden-presiden terdahulu juga begitu kendati tak begitu-begitu amat.
 
Yang tak boleh ialah jika demi bagi-bagi kekuasaan lantas membangun kabinet yang gemoy, yang tambun, yang obesitas. Agar banyak yang kebagian lalu merombak struktur membentuk kementerian-kementerian baru, lembaga-lembaga baru, badan-badan baru. Yang tak wajar ialah jika demi berbagi kemudian menihilkan catatan kehidupan mereka yang hendak dibagi, termasuk perihal korupsi.
 
Membentuk kabinet dengan mengedepankan semangat balas jasa jelas tak baik. Lebih buruk lagi jika kemudian faktor kompentensi para calon diabaikan, rekam jejak dinegasikan. Apalagi jika jasa sang pemberi jasa sampai menyandera. Itukah yang dilakukan dan dialami Prabowo? Banyak yang menyebut demikian. Mereka mempertanyakan dan meragukan kapasitas dan kapabilitas berderet figur. Tak sedikit pula yang menyoal adanya 16 menteri Jokowi yang akan tetap dipakai Prabowo.
 
Suka berbagi pun baik, mulia. Bagi-bagi itu pula yang tersirat dalam pemilihan anggota kabinet oleh Pak Prabowo. Bolehkah? Tiada yang dapat menghalangi. Pembentukan kabinet ialah hak prerogatif presiden. Mutlak, sepenuhnya milik dia. Wajarkah berbagi kursi? Presiden-presiden terdahulu juga begitu kendati tak begitu-begitu amat.
 
Yang tak boleh ialah jika demi bagi-bagi kekuasaan lantas membangun kabinet yang gemoy, yang tambun, yang obesitas. Agar banyak yang kebagian lalu merombak struktur membentuk kementerian-kementerian baru, lembaga-lembaga baru, badan-badan baru. Yang tak wajar ialah jika demi berbagi kemudian menihilkan catatan kehidupan mereka yang hendak dibagi, termasuk perihal korupsi.
 
Prabowo sudah membuat pilihan. Meski sangat mepet, masih ada waktu untuk mengkajinya lagi agar benar-benar tak salah pilih. Sekadar mengingatkan, ilmuwan politik asal Amerika dan penulis Making Democracy Work, Robert Putnman, menekankan bahwa politik balas jasa dapat mengurangi kualitas pemerintahan dan merusak jaringan sosial yang mendukung demokrasi.
 
Rakyat butuh pemerintahan yang berkualitas. Pak Prabowo harus mewujudkan itu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Kabinet Prabowo-Gibran kabinet Prabowo Subianto Prabowo-Gibran

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif