SEJAK 2019 sedikitnya ada empat kasus penggunaan pelat nomor (tanda nomor kendaraan bermotor/TNKB) kedinasan yang disalahgunakan. Pertama pada 3 Juni 2019 ketika seorang pelajar pengguna Toyota Fortuner berpelat nomor 3553-07 terjaring polisi di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor.
Kedua, Toyota Camry berpelat nomor 3423-00 yang disita Polisi Militer pada 3 Maret 2021 di Bandung. Ketiga, Nissan Tera berpelat 1124-VII yang terjaring pada 16 Mei 2021 di Cikijing Majalengka. Dan keempat, Toyota Fortuner yang terjaring baru-baru ini di Jakarta dengan nomor 351-00 pada 20 Mei 2021.
Kejadian ini menarik untuk didiskusikan, baik dari sisi kedinasan yang dijadikan objek maupun dari sisi pengguna atau pemalsu. Dari sisi kedinasan, TNKB TNI dan polisi, terlebih pada masa Orde Baru, sering dianggap memiliki prioritas dalam penggunaan di jalan raya. Sehingga, masyarakat pengguna jalan tergiur untuk mendapatkannya. Tentu saja untuk mendapat perlakuan lebih dari sesama pengguna jalan. Sedangkan, dari sisi pelaku pemalsuan, beberapa alasan boleh jadi menunjukkan kepribadian personal yang tecermin dalam tindakan tersebut.
Dari sudut komunikasi, TNKB merupakan media penyampaian informasi dari kendaraan tersebut; bahwa kendaraan tersebut telah teregistrasi (Pasal 68 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) serta masuk dalam ranah Pengembangan Sistem Informasi dan Komunikasi (Pasal 248 ayat 2 huruf J). Maka, penggunaan TNKB palsu berarti memberikan informasi bohong atau palsu kepada khalayak.
Dalam studinya, Sissela Bok (1989) mendefinisikan kebohongan sebagai suatu pesan yang sengaja menipu dalam bentuk suatu pernyataan. Dengan kata lain, niat seseorang untuk menipu atau menyesatkan lewat komunikasi verbal. Paul Ekman (1985) yang penelitiannya tentang penipuan dalam komunikasi nonverbal, juga menghubungkan berbohong dengan niat pembohong baik untuk menyembunyikan dengan membuang informasi yang benar atau memalsukan. Menyajikan informasi palsu seolah-olah informasi itu benar.
Hasil studi Lippard (1988) mengenai penipuan menunjukkan bahwa orang mengemukakan lima alasan untuk bebohong. Pertama, untuk melindungi atau memperoleh sumber daya material (uang, pekerjaan, atau apartemen); kedua, untuk mengurangi atau meningkatkan afiliasi mereka dengan orang lain; ketiga, untuk melindungi diri mereka sendiri dengan menghindari penyingkapan diri atau meningkatkan atau melindungi citra diri mereka; keempat, untuk menghindari konflik; dan kelima untuk melindungi orang lain.
Dalam hal pelat nomor—dengan teori bohong di atas—terlihat bisa masuk dalam seluruh pernyataan tentang kebohongan. Ada niat dan kesengajaan untuk menipu. Menyajikan informasi palsu seolah-olah benar dengan tujuan pemenuhan keuntungan pribadi. Meningkatkan afiliasi pada lembaga/kelompok tertentu. Melindungi diri dan melindungi citra diri. Seakan ingin menampilkan jati diri semu untuk mendapatkan keutamaan yang pada dasarnya sepele. Padahal, jika teungkap akan mendapatkan kebalikannya, terlebih lagi jika berbohong sudah menjadi penyakit.
Kebohongan patalogis akan membawa seseorang pada narsisisme atau tingkah laku yang berpusat pada diri sendiri. Sangar dan cepat marah, menipu, impulsif, tempramental, kurang empati, dan tak mampu berhenti berbohong.
Baca:Kasihan, Habis Pamer Pelat TNI Palsu, Wanita Ini Ditangkap
Banyak usaha dilakukan untuk memerangi tindakan berbohong sebagai suatu bentuk penanaman karakter. Misalnya, pepatah Melayu; sekali lancung keujian seumur hidup orang tak percaya.
Dalam hadis juga dikatakan bahwa bohong adalah pangkal dari dosa. Secara terang dalam hadis Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu senantiasa jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun ke arah Surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan terus berusaha untuk jujur akhirnya ditulis oleh Allah sebagai orang sangat jujur. Dan jauhilah dusta, karena dusta akan menuntun kepada dosa, dan dosa akan menuntun ke arah Neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan terus berdusta, hingga akhirnya ditulis oleh Allah sebagai pendusta.” (Hadis ini terdapat dalam dua kitab hadis sahih Bukhari dan Muslim serta dikutip Ibnu Katsir saat menafsirkan surat al-Taubah: 119).
Siapkah kita untuk hidup lebih jujur dari hari ini? Karena dengan kejujuran berarti mengurangi stres, membangun kepercayaan, serta membangun rasa hormat dan integritas. Sambil belajar mengatakan ini pelat nomorku dan identitas kendaraanku! Aku bangga karenanya.[]
*M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di M Tata Taufik
Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat