Kegiatan pendidikan masih dilakukan secara daring, meski sejak November terdapat beberapa daerah yang sudah menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM). Pembelajaran daring tak serta memenuhi kebutuhan belajar para naradidik sehingga diperlukan pembehanan dengan menyiapkan kurikulum adaptif, peningkatan kompetensi guru dan perbaikan infrastruktur jaringan internet.
Kemudian masalah stunting masih menjadi tugas berat yang patut diselesaikan. Pada 2019 persentase angka stunting nasional berada pada 27, 67 persen. Jumlah yang masih jauh dari standar WHO, di bawah 20 persen. Covid-19 semakin menambah persentase di atas. Masalah stunting tidak hanya menyerang fisik, melainkan membahayakan kemampuan otak anak-anak dan kaum remaja. Kemampuan konsentrasi terganggu, memori melemah. Dengan demikian, jika masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda, stunting sebenarnya tengah mengancam masa depan bangsa. Membiarkan stunting merusak anak-anak dan kaum remaja sama dengan membiarkan bangsa ini berjalan mundur. Maka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah Konstitusi harus dimulai dengan memberantas stunting. Anak-anak dan kaum remaja bebas stunting, Indonesia sehat dan tumbuh. Melirik angka persentase stunting yang masih tinggi, pemerintah dan seluruh elemen bangsa harus berkewajiban untuk memberantas bahaya stunting di tahun 2022.
Pandemi juga berimbas pada kehidupan politik. Berbagai studi tentang demokrasi dan kebebasan melaporkan berlanjutnya tren penurunan demokrasi di banyak negara. Indonesia tak terkecuali. Skor demokrasi kita terus turun sejak lima tahun terakhir dan terus mengalami peredupan selama pandemi. Diperlukan penguatan demokrasi dari prosedural ke substansial. Menurut laporan the Economist Intelligent Unit (EIU), secara umum demokrasi Indonesia di atas rata-rata skor dunia, tetapi skor penurunannya dalam lima tahun terakhir termasuk yang terbesar.
Faktor utama penurunan itu bukanlah pandemi, tapi aturan-aturan yang membatasi kebebasan warga, seperti UU ITE. Selama pandemi, kasus-kasus penangkapan terhadap pengguna internet meningkat. Angka ini seiring dengan peningkatan jumlah pengguna internet dan interaksi orang secara
online yang sangat intens selama pandemi. Sebagian besar kasus terjadi terkait penggunaan media sosial, baik akibat ujaran kebencian, penyebaran hoax, maupun pencemaran nama baik.
Kemudian, orkestrasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 sangat buram sebagaimana diketahui hanya mengesahkan delapan rancangan undang-undang dari 37 yang ditetapkan dalam prolegnas. Delapan RUU tersebut diataranya revisi UU Kejaksaaan, revisi Undang-Undang Jalan, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, serta tiga RUU mengenai Pembentukan Pengadilan di beberapa daerah.
Prolegnas bukan hanya sebatas deretan daftar RUU yang akan dibahas dalam satu tahun sehingga hanya terkesan dalam rangka memenuhi target dalam bentuk
wishlist. Seharusnya penetapan prolegnas sebagai prioritas didasarkan pada tujuan bernegara yang secara filosofis sesungguhnya telah tegas dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian prolegnas bukan hanya keranjang sampah yang kemudian dipungut dengan dasar kesukaan lembaga pembentuk UU.
Miris jika memperhatikan Prolegnas 2021 karena, pertama, banyak RUU yang memiliki relasi kuat (
close engagement) dengan tercerabutnya pemenuhan hak konstitusional rakyat justru tidak ditetapkan sebagai UU. Misalnya saja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Hukum Adat. Bahkan RUU tersebut tidak dapat ditetapkan hanya terkait dengan persoalan-persoalan teknis harmonisasi kemudian menjadi terabaikan. Kedua, tidak ada penentuan skala prioritas dalam setiap daftar prolegnas sehingga semakin melemahnya semangat kebangsaan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Sebaiknya pemerintah segera membentuk pusat/badan regulasi nasional, yang berada langsung di bawah presiden agar dalam segi formal peraturan perundangundangan tidak berakibat disharmoni dan tertata dengan baik serta lebih efektif dan efisien sehingga tidak menimbulkan preseden buruk seperti UU Cipta Kerja.
Pada saat bersamaan sebagian bisnis dan usaha masih menerapkan aturan
work from home (WFH). Beberapa sektor usaha tak mampu lagi meneruskan bisnisnya, dan tutup di tengah jalan. Meski secara makro, ekonomi Indonesia mengalami
rebound, angka pengangguran dan kemiskinan melonjak naik. Upaya untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional harus konsisten dilakukan setelah penyebaran covid-19 relatif bisa dikendalikan. Upaya adaptasi di beberapa industri yang berdampak padapengurangan tenaga kerja, harus segera dicarikan solusinya. Selain itu, penguatan di sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) penting dilakukan dalam rangka menghidupkan kembali ekonomi masyarakat yang terimbas pandemi.