Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Foto: Dok pribadi
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Foto: Dok pribadi (Lestari Moerdijat)

Lestari Moerdijat

Lestari Moerdijat

Refleksi Akhir Tahun 2021

Menyelisik Indonesia

Lestari Moerdijat • 01 Januari 2022 00:03

Masih lekat dalam ingatan korban kekerasan seksual di beberapa daerah yang berujung pada keputusan bunuh diri karena depresi. Masih terjadi ragam kasus kekerasan seksual yang tak pernah selesai diproses. Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Indonesia sepanjang 2016-2020, yakni 7.338 kasus atau 29,61 persen dari total kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Bentuk kekerasan seksual paling banyak berikutnya adalah pencabulan, yakni 6.186 kasus (24,96 persen) dan inses sebanyak 3.318 kasus (13,39 persen). Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), per November 2021, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus. Kekerasan yang dialami perempuan, juga mengalami kenaikan.
 
Manusia sejagat tiba di ujung tahun, nasib Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tak jelas ujungnya. Membiarkan RUU TPKS tak diakomodasi pimpinan DPR RI adalah sinyal butanya nurani. Prinsip moral tidak bertaring atas kejahatan dan kebaikan jadi kabur. Martabat kaum perempuan dilecehkan. Mengapa RUU TPKS harus secepatnya disahkan menjadi sebuah produk undang-undang? Ini adalah desakan moralitas dan infrastruktur untuk perlindungan menyeluruh. Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah penyerangan terhadap martabat kemanusiaan. Maka kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang dikutuk oleh prinsip moral agama, kepercayaan, dan ideologi manapun. Ini alasan mendasar di balik Deklarasi Universal HAM pada 1948, Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 dan batang tubuh, dan UU Nomor 39 Tahun 1999.
 
Di dalam kondisi subordinasi, represi, dan dominasi sistematis seperti ini, kebisuaan, depresi, dan atau air mata korban adalah bukti paling kuat. Membisu adalah berkata-kata tanpa kata. Air mata adalah protes tanpa pemaksaan. Wajah depresi adalah kejujuran paling telanjang. Sayangnya, pimpinan DPR RI belum sampai pada tahap kontemplasi atas realitas. Mengesahkan RUU TPKS adalah tindakan memihak korban, mewujudkan keadilan dan kebenaran. Fraksi-fraksi partai di DPR RI boleh berbeda kepentingan politik pragmatis, tetapi harus bertumpu di atas prinsip moral yang sama untuk mengesahkan RUU TPKS. Tertundanya pengesahan RUU TPKS adalah lubang kekurangan yang dibiarkan mengaga, menodai kinerja parlemen sejak digagasnya RUU ini. Kenyataan ini menuntut kita segera dan harus merealisasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
 
RUU TPKS dan RUU PPRT bermuara pada sebuah masalah sosial yang terus digaungkan setiap tahun. Kesetaraan gender. Mungkin saja para pembahas undang-undang melihat kedua draf undang-undang sangat bernada perempuan. Melupakan keadaan hakiki perempuan dan laki-laki adalah setara. Melupakan bahwa urusan tenaga kerja domestik bukan melulu persoalan perempuan. Paradigma berpikir bias mestinya tak mendapat tempat dalam dinamika pengambilan kebijakan apalagi yang berkaitandengan tujuan bernegara dan menjawab aspirasi publik. Di tengah jerit kelompok yang tak henti mencari keadilan, sebagian dari kita justru berteriak untuk amandemen konstitusi yang nyatanya bukan representasi suara publik. Hak Asasi Manusia (HAM) terabaikan karena kepentingan politik, misalnya hak-hak masyarakat adat yang sampai hari ini belum juga diakomodir dalam sebuah payung hukum perlindungan melalui RUU Masyarakat Hukum Adat. Terorisme masih dibiarkan langgeng, menciptakan masalah di tengah kerukunan masyarakat yang semakin menguat. Pada saat yang sama tuntutan menanamkan nilai-nilai kebangsaan terus menggema, merangkul seluruh anak bangsa tanpa kecuali sesuai nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD RI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
 
Upaya menanamkan nilai luhur kebangsaan ditempuh melalui pembelajaran sejak dini. Bahwa generasi milenial dan generasi Z adalah aset masa depan bangsa, generasi penerus yang kelak menjadi pemimpin patut dibekali dengan pendidikan yang memadai menyambut Indonesia Emas. Dampak pandemi pada dunia pendidikan menyisakan celah yang perlu dibenahi, learning loss.

 
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar ruu prt covid-19 pandemi covid-19 kekerasan seksual Lestari Moerdijat RUU TPKS Kaleidoskop 2021

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif