SUDAH menjadi pengetahuan umum bahwa narapidana korupsi mendapat perlakuan istimewa. Bahwa koruptor yang sedang menjalani hukuman pidana penjara mendapat privilege bukan lagi rahasia umum.
Kamar mewah Artalyta Suryani di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, yang terungkap pada 2010 menjadi bukti perlakuan spesial kepada terpidana korupsi. Artalita ialah penyuap Jaksa Urip Tri Gunawan pada 2008.
Terpidana kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan yang bisa keluyuran menonton pertandingan tenis di Bali pada 2010 menjadi bukti lain betapa terpidana korupsi memperoleh hak istimewa.
Kasus serupa Artalyta dan Gayus terungkap ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Kepala LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Wahid Husen.
KPK juga menangkap terpidana korupsi Fahmi Darmawansyah dan istrinya, Inneke Koesherawati, Staf Kepala LP Sukamiskin Hendry Saputra, dan tahanan pidana umum Andri Rahman.
Melalui operasi tangkap tangan itu, KPK mengungkap di LP Sukamiskin terjadi jual-beli kamar mewah dan jual-beli izin keluar LP. Itu jelas praktik suap. Pemberi suap ialah napi korupsi. Penerima suap siapa lagi kalau bukan kepala LP dan stafnya.
Kita sebetulnya tak hendak terkejut karena kejadian serupa LP Sukamiskin sudah menjadi pengetahuan umum, bukan rahasia umum lagi. Namun, tak ayal kita terkejut juga dengan kejadian itu.
Kita terkejut karena ia terjadi di LP Sukamiskin yang diperuntukkan khusus buat napi korupsi. Kita tidak habis pikir karena korupsi yang disebut kejahatan luar biasa itu ternyata pelakunya mendapat perlakuan luar biasa alias istimewa di LP.
Kita juga terkejut karena sejak terungkapnya kasus Artalyta dan Gayus pada 2010, LP tak juga berbenah sehingga kasus serupa berulang. Serupa keledai, negara ini terperosok ke lubang yang sama. Sangat mungkin kejadian serupa LP Sukamiskin terjadi di LP-LP lain dalam level berbeda-beda.
Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM harus mengevaluasi dan membenahi sistem lembaga pemasyarakatan yang dalam hal ini LP buat napi korupsi. Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh menganggap sepele kasus LP Sukamiskin.
Tidak perlulah ada LP khusus napi korupsi karena LP semacam itu justru menjadi sarana bagi koruptor untuk diperlakukan secara istimewa. Kurung saja mereka bersama begal, maling ayam, dan pemerkosa.
Terlalu banyak perlakuan istimewa yang didapat koruptor. Mereka, menurut Indonesia Corruption Watch, mendapat vonis penjara rata-rata cuma 2 tahun 2 bulan.
Di dalam tahanan mereka mendapat kamar mewah dan izin keluar LP. Lalu, karena menerima berbagai jenis remisi, mereka hanya menjalani kurang dari separuh masa tahanan.
Ketika bebas, mereka masih bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau kepala daerah. Sudah betul bila Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan aturan yang melarang terpidana korupsi mencaleg.
Berulang kali dikatakan korupsi ialah kejahatan luar biasa. Perang terhadapnya juga harus luar biasa, dari hulu ke hilir, bukan perang-perangan.
Di tingkat hulu, publik tidak meragukan kerja KPK. Di lini tengah, pengadilan tindak pidana korupsi semestinya menghukum koruptor dengan hukuman maksimal. Di sektor hilir, Kementerian Hukum dan HAM seharusnya tidak obral remisi, pun tidak memperlakukan mereka secara spesial dengan mengurung mereka di LP khusus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
