Menurut Ahmad, Shi mulai meneliti virus korona sejak 2008 dengan fokus tentang SARS. Shi tertarik melakukan penelitian karena Tiongkok mengalami wabah pandemi SARS kala itu. Shi aktif memburu kelelawar di gua yang banyak ditemukan di Tiongkok seperti di Kunming, Yunnan. Shi meyakini kelelawar adalah 
reservoir alami virus penyebab SARS. 
"Mencari di kotoran kelelawar, mereka swab materi si kelelawar untuk mencari 
coronavirus yang mungkin mirip dengan SARS," jelas Lulusan Harvard Medical School, Amerika Serikat itu. 
Dalam ekspedisinya, Shi menemukan semacam 
coronavirus yang dinamai BAT 
Coronavirus yang berasal dari kelelawar. Strukturnya, mirip dengan SARS. Namun, BAT 
Coronavirus diyakini tidak bisa menginfeksi manusia.
"Yang dituduhkan Dr Yan, mereka (Dr Shi) melakukan 
preverse genetic," ujarnya. 
Baca: 
GeNose UGM Diharapkan Bisa Gantikan Uji Swab PCR 
Pada 2013, kata Ahmad, Shi dan tim menemukan 
coronavirus yang memiliki kemiripan dengan SARS di salah satu gua di Tiongkok. Tapi tidak identik, yang kemudian dinamai 
Wuhan Institute Viorology One (WIV1). 
Ahmad melanjutkan, dalam papernya, Yan mengutip jurnal dari Dr Ralph S. Baric, peneliti 
University of North Carolina at Chapel Hill. Mengetahui temuan Shi tersebut, Baric melakukan studi genesis untuk membuktikan apakah dengan mengambil 
spike dari WIV1 bisa menimbulkan penyakit bagi manusia.  
"Lalu apa yang mereka lihat? ternyata tidak menimbulkan penyakit. Bisa menginfeksi tapi tidak menimbulkan penyakit," ujar mantan peneliti utama di 
Stem Cell and Cancer Institute besutan Kalbe Farma tersebut.