Kantor BRIN. Humas BRIN
Kantor BRIN. Humas BRIN

BRIN Genjot Riset Sel Punca di Indonesia

Renatha Swasty • 17 Februari 2022 12:16
Jakarta: Penggunaan terapi sel punca dalam dunia kesehatan di Indonesia masih sangat minim. Begitu juga pengembangan dan riset masih belum banyak.
 
Plt Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iman Hidayat, menyebut sel punca sudah dibicarakan sejak 10 tahun lalu sebagai pengobatan masa depan. Sampai 2018, terdapat 5.400 paten mengenai riset sel punca di dunia. Salah satu terbaik dalam pengembangan sel punca ialah Kyoto University.
 
“Kita dalam perkembangan penelitian sel punca masih belum terlambat. Masih terbuka peluang untuk memperkuat daya saing dalam penelitan sel punca. Maka peran BRIN saat ini adalah mengakselerasi riset dan inovasi sel punca di Indonesia, yaitu dengan menciptakan ekosistem riset yang membuat seluruh steakholder bisa tumbuh," kata Iman dalam Collaborative Webinar bertema Harmonized Intelligent Integration of Stem Cell Research: Development form Basic to Clinical Application dikutip dari laman brin.go.id, Kamis, 17 Februari 2022.

Iman menyebut bila ekosistem riset ini terbangun, bangkit, dan seluruh steakholder terfasilitasi diharapkan akan muncul inovasi-inovasi. Lulusan dari Chiang Mai University itu mengatakan ada beberapa tantangan yang menghambat pengembangan sel punca.
 
Antara lain terapi biaya pengobatan sel punca di Indonesia masih sangat mahal karena bahan baku lebih dari 95 persen impor. Sehingga masih sangat jarang digunakan masyarakat.
 
Selain itu, kesiapan rumah sakit dan klinik untuk terapi sel punca masih terbatas. Hal ini karena rumah sakit/klinik harus memiliki fasilitas instalasi sel punca, bank sel punca, laboratorium riset terpadu, hingga tenaga medis yang memiliki keahlian di bidang sel punca.
 
Dia mengaku biaya riset sel punca juga sangat mahal. Riset di berbagai institusi juga belum banyak mengarah ke arah riset terapan. Sehingga, perlu percepatan hasil riset melalui kolaborasi antara peneliti di berbagai institusi.
 

Iman mengatakan BRIN perlu mengakselerasi riset dan inovasi sel punca di Indonesia. BRIN berupaya melakukan program pengembangan human resources dan capacity building, penambahan infrastruktur riset, pendanaan riset, dan program riset.
 
Selain itu, BRIN juga telah membentuk OR Kesehatan dengan tujuh pusat riset di bawahnya agar bisa memfasilitasi periset dalam bidang kesehatan. BRIN sudah menyiapkan pendanaan rumah program obat dan vaksin sebesar Rp20 miliar, pengobatan presisi dan regeneratif Rp20 miliar, dan penyakit infeksi Rp10 miliar.
 
BRIN juga memiliki pendanaan untuk uji klinis dan pra klinis yang dialokasikan sebesar Rp350 miliar. “BRIN mem-provide dana, infrastruktur, untuk bisa menumbuhkan capacity building di Indonesia,” ucap dia.

Peran ASPI

Iman menyebut peranan asosiasi profesi seperti Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) sangat strategis dalam pengembangan riset dan inovasi sel punca. Dia mendorong ASPI bisa bekerja sama dengan BRIN atau rumah sakit untuk membuat pusat kolaborasi riset sel punca.
 
Selain dapat mengakses skema fasilitasi pendanaan, juga dapat merekrut mahasiswa sebagai asisten riset. Hal itu untuk bisa membangun riset dan SDM kompeten.
 
Ketua ASPI Rahyussalim menyambut gembira kerja sama melalui Pusat Kolaborasi Riset untuk mewujudkan penguatan dan harmonisasi riset sel punca di Indonesia. Dia mengakui posisi SDM periset baik pada tahap basic dan klinis yang serius pada pengembangan dan penggunaan stem cell masih sedikit. Namun, dia optimistis Indonesia masih bisa menyamai Malaysia di regional ASEAN.
 
Penelitian stem cell terdiri dari riset basic/pre klinis (in vitro dan in vivo) dan riset klinis. Fase 1 untuk dosis dan prosedur, fase 2 untuk keamanan dan efektivitas, dan fase 3 komunitas (hilirisasi produk/post market). Selama ini, riset sel punca di Indonesia masih berkutat pada riset sel punca masenkimal.
 
“Kita di ASPI ada pada fase 1, ini yang kami kerjakan,” kata dia.
 

Rahyussalim mengatakan berkaca pada pengembangan riset sel punca di dunia, ASPI mengacu dan mengadopsi organisasi International Society for Stem Cell Research (ISSCR) yang sudah mempunyai guide line stem cell. Saat ini, sudah ada 6.000 uji klinis stem cell di dunia.
 
Sementara itu, angka riset stem cell di Indonesia masih kecil. Maka, ASPI memperkuat penelitian stem cell dan mengharmonisasinya.
 
Dia menyebut untuk memperkuat riset sel punca di Indonesia perlu memperbanyak periset stem cell, baik perorangan maupun kelompok dari riset basic maupun klinis. Selain itu, perlu dukungan pemerintah berupa regulasi yang mempermudah riset dan pelayanan stem cell.
 
“Yang lebih penting perlu kolaborasi dan sinergi dari para pihak yang terlibat,” ujar dia.
 
Dia berharap BRIN, Kemenkes, perguruan tinggi dan lembaga lain, seperti BPOM dapat mengambil langkah untuk harmonisiasi penguatan riset sel punca. "Mudah-mudahan 2022 bisa dimanfaatkan menjadi titik lompatan akselerasi pengembangan stem cell, baik di hulu dan hilir,” kata Rahyussalim.
 
Baca: Pakar Unair Beberkan Cara Mengatasi Penuaan Dini dengan Sel Punca
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan