Menurut laporan penelitian terbaru, mumi manusia tertua yang pernah ditemukan dibuat dengan cara mengasapi jenazah hingga kering sekitar 10.000 tahun lalu di Asia Tenggara dan China, jauh sebelum praktik mumifikasi dikenal luas di Chili maupun Mesir.
Penemuan ini diperkuat oleh studi terhadap puluhan makam kuno di China, Filipina, Laos, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Banyak kerangka ditemukan dalam posisi meringkuk rapat, dan diketahui jenazah-jenazah tersebut sebelumnya telah melalui proses pengasapan lama di atas api sebelum dikuburkan. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada Senin, 15 September di jurnal PNAS.
“Proses pengasapan kemungkinan punya makna spiritual, keagamaan, atau budaya, bukan sekadar untuk memperlambat pembusukan,” kata Peneliti senior di Australian National University, Hsiao-chun Hung, sekaligus penulis utama studi ini dikutip dari laman Live Science, Kamis, 18 September 2025.
Awalnya, para peneliti bingung dengan banyaknya pemakaman kuno di China dan Asia Tenggara yang berusia 4.000-12.000 tahun, di mana kerangka ditemukan dalam posisi “hiperfleksi” atau meringkuk sangat rapat, bahkan hingga melampaui batas normal persendian. Temuan serupa di Portugal pada 2022 juga dianggap sebagai bukti mumifikasi, karena tubuh yang diikat ketat memungkinkan tangan dan kaki diposisikan di luar batas normal saat tubuh membusuk.
Namun, di banyak pemakaman kuno Asia Tenggara, peneliti menemukan bekas terbakar pada tulang, tetapi tidak pada tanah makam. Hal ini menunjukkan adanya ritual khusus yang melibatkan api dan asap.
Untuk memastikannya, para peneliti menggunakan teknik X-ray diffraction dan infrared spectroscopy untuk menilai apakah tulang pernah terkena panas. Hasilnya, banyak kerangka menunjukkan tanda pemanasan ringan dan bekas jelaga, bukan tanda terbakar habis seperti kremasi. Hal ini memperkuat dugaan praktik khusus berupa pengasapan jenazah memang dilakukan secara luas oleh masyarakat prapertanian di China selatan dan Asia Tenggara.
Menurut peneliti, praktik mumi asap ini bahkan masih ada sampai sekarang di beberapa wilayah Asia Tenggara. Pada 2019, mereka mengunjungi Papua, Indonesia, dan menyaksikan masyarakat Dani dan Pumo membuat mumi leluhur dengan cara mengikat ketat jenazah, meletakkannya di atas api, lalu diasapi hingga tubuh berubah menjadi hitam legam.
Berdasarkan contoh ini, peneliti menyimpulkan leluhur kuno juga melakukan cara serupa: mengikat tubuh setelah kematian dan diasapi lama dengan api bersuhu rendah.
Baca juga: Spesies Baru Nenek Moyang Manusia Terungkap dari Temuan Gigi Purba di Afrika |
Meski jenazah kuno yang diteliti kini hanya tersisa tulang (tanpa kulit, jaringan lunak, atau rambut) para peneliti tetap menganggapnya sebagai mumi karena ada proses pengawetan yang disengaja lewat pengasapan.
“Perbedaan utama dengan mumi yang kita bayangkan selama ini adalah tubuh hasil pengasapan tidak disimpan dalam wadah tertutup, sehingga daya awetnya hanya bertahan puluhan hingga ratusan tahun,” kata Hung.
Ia mengatakan iklim panas dan lembap Asia Tenggara membuat pengasapan kemungkinan menjadi cara paling efektif mengawetkan tubuh jenazah.
Namun, bagaimana orang-orang purba menemukan cara ini masih menjadi misteri. Bisa jadi mereka menemukannya secara tidak sengaja dari ritual tertentu atau belajar dari pengalaman mengasapi daging hewan lalu menerapkannya pada jenazah.
“Yang jelas, praktik ini membuat jasad orang yang sudah meninggal tetap bisa hadir di tengah kehidupan masyarakat, sebuah bukti cinta, kenangan, dan penghormatan yang mendalam dari manusia kepada leluhurnya,” ujar Hung.
Model migrasi dua lapisan
Penemuan mumi asap ini juga mendukung teori “dua lapisan” tentang migrasi awal manusia di Asia Tenggara. Menurut teori ini, kelompok pemburu-peramu sudah datang sejak 65.000 tahun lalu, berbeda dengan para petani Neolitik yang baru masuk sekitar 4.000 tahun lalu dengan tradisi pemakaman yang berbeda.Diduga, kelompok pemburu-peramu yang melakukan praktik pengasapan jenazah inilah yang menjadi leluhur sebagian masyarakat Asia Tenggara modern, seperti Dani dan Pumo yang masih melestarikan tradisi serupa.
Ahli Antropologi Biologi dari Nanyang Technological University, Ivy Hui-Yuan Yeh, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan temuan ini memperkuat teori dua lapisan dan sesuai dengan pola migrasi, penyebaran, serta interaksi manusia awal di Asia.
Para peneliti menyebut pemakaman dalam posisi hiperfleksi di Asia Tenggara memang bisa dianggap sebagai mumi asap, maka praktik ini kemungkinan muncul jauh lebih awal dan menyebar lebih luas dari yang pernah diperkirakan.
Bahkan, tradisi mengasapi jenazah bisa jadi sudah dilakukan sejak awal penyebaran Homo sapiens dari Afrika ke Asia Tenggara, mungkin pada sekitar 42.000 tahun lalu. Hal ini menunjukkan adanya “kesinambungan biologis dan budaya yang sangat panjang dan mendalam,” tambah para peneliti. (Alfi Loya Zirga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id