Masuk angin dipercaya sebagai gejala untuk penyakit lain seperti flu. Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Prof. Dr. Atik Triratnawati, M.A., mengatakan masuk angin merupakan sebuah fenomena antara bidang medis dan budaya.
Atik mengatakan masuk angin disebut sebagai gangguan kesehatan dan dimaklumi oleh masyarakat Jawa dan selanjutnya masyarakat Indonesia secara luas. Pada ranah budaya, masuk angin merupakan magik atau sihir.
Gejalanya tidak jauh berbeda dengan penyakit lain sehingga penderitanya tidak dapat melakukan kegiatan seperti biasanya. Di kalangan masyarakat Jawa, masuk angin terdiri atas tiga kategori berbeda yakni masuk angin biasa, masuk angin berat, dan masuk angin kasep atau angin duduk.
Masuk angin biasa dianggap ringan dan penderitanya masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari dengan lancar. “Gejalanya sendiri berupa kembung, panas, dan pegal-pegal,” kata Atik dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi Kesehatan dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 12 Juni 2025.
Masuk angin jenis ini dipercaya akibat kelelahan setelah bekerja. Sementara itu, kategori masuk angin berat terjadi ketika gejala yang tidak terlalu dirasakan oleh penderitanya.
“Umumnya penderitanya sering sekali menunda makan, minum, dan istirahat karena berharap pekerjaannya akan diselesaikan dulu. Akibatnya muncul gejala-gejala tambahan seperti muntah dan mencret," kata Kepala Program Studi Antropologi itu.
Sementara itu, masuk angin kasep atau angin duduk muncul sebab masuk angin yang ada dibiarkan dan terlambat diatasi. Gejala awalnya tidak diperhatikan sehingga sifatnya tampak mendadak dan membuat penderitanya dapat jatuh tersungkur dan merasa nyeri dada.
Baca juga: Guru Besar UGM Sebut Sastra Mestinya Boleh Menyinggung SARA |
“Gejala yang tidak teratasi pada masyarakat awam dapat menyebabkan kematian,” kata dia.
Tiga jenis masuk angin ini memiliki pengobatan beragam. Atik mencontohkan beberapa pengobatan yang dilakukan perorangan bisa berbeda.
Misalnya, salah satu kasus keluarga mengobati balitanya yang masuk angin dengan menggosokkan kotoran sapi di perut anak tersebut. Contoh lainnya, salah satu petani pemilik sapi meminum minuman ringan (soft drink) untuk mengobati masuk angin.
Namun, ada satu pengobatan yang bersifat komunal, yaitu kerokan. Bagi orang Jawa, ini adalah pengobatan utama bagi masuk angin.
“Menggurat bagian-bagian tubuh dengan koin dan minyak gosok atau sejenisnya mampu menimbulkan rasa hangat,” tutur dia.
Sedangkan, dalam dunia medis mengenai kerokan berbeda-beda. Ada anggapan kebiasaan ini dapat merusak kulit dan pembuluh darah, sedangkan di sisi lain kerokan dianggap efektif mengatasi masuk angin, utamanya bila dilakukan dengan tepat.
Cara-caranya beragam, seperti dimulai dari punggung bagian atas hingga pinggang atau posisi koin yang dimiringkan. Atik mengatakan kerokan dengan rasa sakit justru tidak efektif. Kerokan akan membantu pembuluh darah lancar sekaligus meningkatkan suhu tubuh.
“Dengan demikian, prinsip pengobatan ini sesuai dengan prinsip pemikiran sehat-sakit dalam budaya Jawa,” tutur dia.
Penelitian Atik mengenai fenomena masuk angin dalam budaya Jawa mengantarkannya sebagai salah satu dari 17 guru besar aktif di Fakultas Ilmu Budaya dan termasuk 532 guru besar aktif yang dimiliki UGM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id