Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Sastra Prof Aprinus Salam. DOK UGM
Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Sastra Prof Aprinus Salam. DOK UGM

Guru Besar UGM Sebut Sastra Mestinya Boleh Menyinggung SARA

Renatha Swasty • 01 Mei 2025 23:06
Jakarta: Dosen Departemen Sastra dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Aprinus Salam, menyebut sastra sebagai suatu ekspresi seni dapat mempersoalkan berbagai peristiwa di dunia nyata. Salah satunya persoalan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
 
Namun, dia menilai kondisi sastra Indonesia hari ini gagap menggali persoalan-persoalan agama, masalah-masalah suku dan ras, dan perasaan tidak nyaman mengeksplorasi politik kepentingan golongan-golongan.
 
“Kondisi ini diduga muncul karena adanya semacam kelatahan sekaligus ketakutan yang telah tertanam sejak lama,” kata Aprinus dalam pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Sastra dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 1 Mei 2025.

Saat membacakan pidato pengukuhan Guru Besar berjudul “Sastra, SARA, dan Politik Salah Paham”, Aprinus mencontohkan beberapa karya mengandung SARA pada novel Salah Asuhan yang pada draf awalnya disebut menyinggung ras Barat (Belanda). Lain lagi, kisah-kisah karya sastra yang dilarang pada masa Orde Baru seperti yang dihadapi tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.  
 
“Negara takut terhadap adanya sastra membongkar dan memperlihatkan implikasi-implikasi ideologis yang dipraktikkan secara keliru oleh kekuasaan,” ujar dia.
 
Novel seperti Bumi Manusia berhasil menunjukkan rasisme kolonial, feodalisme, ketimpangan gender, dan kapitalisme dan menggiring pembaca agar bertahan dalam rasionalisme yang lebih manusiawi dalam dunia yang setara. Dia menyebut hal ini tidak disukai oleh kekuasaan yang dominan sebab dapat melemahkan kekuasaannya.
 
Dia menuturkan persoalannya, masyarakat tidak paham dengan adanya situasi kesengajaan salah paham masalah sastra, yang jejaknya masih bisa dirasakan hingga kini. Untuk itu, sastra melakukan upaya pencarian dan menjelaskan kebenaran.
 

Sastra juga 'menghasut' pembacanya agar dapat menerima keyakinan berbeda. Belajar dari pengalaman Orde Baru dan Bumi Manusia yang menurut Aprinus dengan sengaja pura-pura tidak tahu, salah paham, dan sengaja menyalahpahami novel tersebut berbahaya bagi kekuasaan.
 
“Karena itulah sebabnya sastra yang dianggap mempersoalkan SARA dianggap membahayakan negara. Jika membahayakan negara, karya tersebut dilarang beredar,” tutur dia.
 
Upaya negara melakukan pelarangan kandungan unsur SARA dalam karya sastra menurutnya bukan lagi atas nama keamanan bangsa dan negara. Tetapi lebih-lebih atas nama keamanan dan kepentingan kekuasaan politik tertentu.
 
“Negara yang benar tidak mungkin membiarkan masyarakat hidup dalam kesalahpahaman. Akan tetapi, kekuasaan akan terus melanggengkan kekuasaanya,” kata dia.
 
Aprinus menyebut proses-proses yang berjalan memang berat utamanya dengan media sosial yang gamblang meramaikan demokratisasi. Dalam konteks ini, bukan karena negara melakukan pelonggaran atau mencoba demokratis, tetapi pemerintah juga semakin tidak paham bagaimana sastra bekerja dan menjadi ajang dan ruang pencarian kebenaran supaya sastrawan dan masyarakat juga semakin cerdas.
 
“Ke depannya saya berharap agar tidak perlu ada lagi syarat ‘tidak boleh menyinggung SARA’ dalam lomba sastra sebab sastra terus menghasut, bersama-sama dalam pencarian menuju dan menjaga kebenaran,” kata dia.
 
Prof. Aprinus Salam resmi menyandang gelar guru besar dan menjadi 1 dari 17 Guru Besar aktif yang dimiliki oleh FIB UGM.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan