Wakil Presiden RI gibran Rakabuming Raka. Medcom.id/Duta Erlangga
Wakil Presiden RI gibran Rakabuming Raka. Medcom.id/Duta Erlangga

Wacana Pemakzulan Gibran, Pakar UGM: Alasannya Harus Konstitusional Tak Bisa Sekadar Opini

Renatha Swasty • 01 Mei 2025 13:28
Jakarta: Forum Purnawirawan TNI mewacanakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyusul proses pencalonannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Keterpilihan Gibran dinilai buah dari konsensus politik yang dipaksakan serta bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral.
 
Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, menilai permintaan itu belum memiliki dasar hukum memadai. Dia mengatakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional dan bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.
 
Dia menyebut penting membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.

“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” ujar Yance dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 1 Mei 2025.
 
Dia menjelaskan secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menyatakan pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum.
 
Antara lain pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan ini menunjukkan prosedur pemakzulan tidak dapat ditempuh sewenang-wenang, melainkan harus melalui pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.
 
“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini,” tegas Yance.
 
Yance menjelaskan MPR bukanlah lembaga yang memulai proses pemakzulan, melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui. Menurutnya, pintu masuk proses pemakzulan terletak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan MPR.
 
DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat bila terdapat dugaan Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A. Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.
 
Baca juga: Persatuan Purnawirawan AD Silaturahmi ke Istana, Tak Bahas Pemakzulan Gibran

“Nanti kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden,” jelas dia.
 
Yance menjawab kemungkinan dugaan pelanggaran etik atau manipulasi dalam proses pencalonan Gibran dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat atau perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A. Yance menyampaikan secara teoretis hal tersebut bisa dikaitkan ke dalam impeachment clauses, terutama bila terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan.
 
Aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.
 
“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” tutur dia.
 
Ia juga menekankan batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945 adalah 40 tahun. Dalam kasus Gibran, persoalan usia menjadi titik krusial, mengingat ia dilantik sebagai Wakil Presiden saat usianya belum mencapai batas minimal tersebut.
 
Hal ini membuka ruang bagi interpretasi konstitusional yang lebih luas. Terutama, bila proses hukum membuktikan syarat tersebut memang dilanggar secara sistematis dan disengaja.
 
Menurutnya, wacana pemakzulan Gibran tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan konstitusional yang ketat. Pendekatan hukum yang sahih justru harus dimulai dari DPR melalui pembentukan panitia angket atau lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah.
 
Kedua jalur ini memungkinkan terbukanya ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan Gibran. Dia menekankan proses pemakzulan sah bila berangkat dari fondasi hukum yang kokoh, bukan sekadar gelombang ketidakpuasan politik.
 
“Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik,” ujar dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan