Pramoedya menulis sejumlah karya monumental, termasuk novel Bumi Manusia, yang menjadi salah satu karya paling ikonik. Menurut ensiklopedia.kemdikbud.go.id, nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, yang kemudian mengubah nama belakangnya menjadi "Toer" untuk menghilangkan kesan aristokratik pada nama keluarganya.
Ayahnya, Mastoer, adalah seorang guru yang mengajar di HIS Rembang dan sekolah swasta Boedi Oetomo, sementara ibunya, Oemi Saidah, merupakan anak penghulu di Rembang.
Sejak muda, Pramoedya sudah menunjukkan minat pada dunia pendidikan. Ia menyelesaikan sekolah dasar di Institut Boedi Oetomo Blora, kemudian melanjutkan ke Sekolah Teknik Radio di Surabaya pada 1940-1941. Namun, ia tidak menerima ijazahnya karena dokumen tersebut hilang saat Jepang menduduki Indonesia pada awal 1942.
Pada 1942, Pramoedya pindah ke Jakarta dan bekerja di Kantor Berita Domei sembari melanjutkan pendidikan di Taman Siswa, kursus stenografi, dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta, dengan fokus pada Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah.
Pada 1945, setelah meninggalkan Kantor Berita Domei, Pramoedya menjelajahi Pulau Jawa dan berada di Kediri saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1946 dan mendapat pangkat Letnan II. Pada 1947, ia ditangkap oleh marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah, dan dipenjara di Bukit Duri hingga 1949.
Baca juga: Empat Film Adaptasi Karya Pramoedya Ananta Toer Sebelum Bumi Manusia |
Pada 1950-1951, ia bekerja di Balai Pustaka, menerima penghargaan sastra atas novelnya Perburuan, dan menikah. Pada 1952, ia mendirikan Literary dan Features Agency Duta. Pramoedya juga mengunjungi Belanda pada 1953 sebagai tamu Sticusa dan Peking, Tiongkok, pada 1956 untuk peringatan Lu Shun, yang mengesankan dirinya terkait Revolusi Tiongkok.
Pada 1958, Pramoedya bergabung dengan Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan PKI, dan keterlibatannya ini memicu ketegangan dengan seniman lain, terutama kelompok penandatangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Pada 1962, ia menjadi redaktur di Lentera dan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Res Publika serta Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah hidup Pramoedya secara drastis. Ia ditangkap, dipukuli hingga pendengarannya rusak, dan dipenjara, termasuk 10 tahun di Pulau Buru. Namun, meskipun banyak bukunya dilarang oleh Kejaksaan Agung, karya-karya Pramoedya, seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah, terbit di luar negeri dan diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Sepanjang hidupnya, Pramoedya menerima berbagai penghargaan, seperti Penghargaan Balai Pustaka (1951), Hadiah Magsaysay (1995), dan penghargaan dari PEN International (1998). Ia juga mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan (1999), Hadiah Budaya Asia Fukuoka dari Jepang (2000), dan Norwegian Authors' Union Award (2004).
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer tetap menjadi warisan sastra yang luar biasa, menggugah dan berani, serta terus menginspirasi generasi baru. (Antariska)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id