Tim tersebut terdiri dari sembilan orang mahasiswa Fakultas Kedokteran, yaitu Kevin Tjoa, Fransiskus Mikael C, Angelina Clarissa, William Nathaniel, Benedictus Ansel S, M. Afif Naufal, Firda Izzain B, Violine Martalia, Teshalonica Mellyfera.
Selain itu, tim juga terdiri dari mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, yaitu Samuel Febrian Wijaya, Gert Antonio Tobing, dan Hans Mahadhika, serta Madelstein Melhan (Fakultas Teknik), dan David Su (Fakultas Kedokteran Gigi).
Tahun ini, Tim UI mengangkat proyek berjudul Helicostrike. Helicostrike merupakan proyek yang berfokus untuk merancang E.coli yang dapat menghancurkan biofilm H.pylori dan membunuhnya.
Ketua Tim, Kevin Tjoa, menjelaskan, timnya memodifikasi bakteri E.coli dengan metode biologi sintetik. Hasilnya, dapat membunuh bakteri H.pylori pada sistem pencernan manusia yang merupakan salah satu faktor penyebab ulkus peptikum, gastritis kronik, dan kanker lambung pada saluran pencernaan.
"Desain cara kerja ini penting sebagai salah satu upaya menekan risiko resistensi antibiotik terkait pengobatan infeksi H.pylori yang dilakukan secara konvensional,” ujar Kevin, dalam keterangan tertulis, Kamis, 25 November 2021.
Baca: Bengawan UV UNS Borong 3 Gelar Juara KRTI 2021
Menurut Kevin, proyek ini menjadi sangat penting bagi komunitas di Indonesia, mengingat prevalensi infeksi H.pylori di Indonesia mencapai 22.1 persen. Diketahui pula, beberapa suku di Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi akan infeksi H.pylori, yaitu suku Batak, Bugis dan Papua.
Informasi ini mereka dapatkan dari wawancara dan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh dekan FK UI, Ari Fahrial Syam. Rancang desain ini memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah lebih patient friendly.
"Ke depannya kami mengupayakan jika sudah menjadi produk, maka Helicostrike akan dibuat dalam bentuk yoghurt, sehingga lebih mudah atau enak dikonsumsi dibandingkan obat pada umumnya, namun tetap memiliki efektivitas yang tinggi," terangnya.
Selain itu, dengan adanya rancang desain ini diharapkan juga pengobatan pasien dapat berjalan dengan efektif-efisien tanpa menggunakan banyak obat. Sebab, pengobatan konvensional saat ini menggunakan antibiotik kombinasi yang terdiri atas clarithromycin triple, sequential dan bismuth quadruple yang pengobatannya mencapai 10-14 hari.
Banyaknya jenis obat yang harus dikonsumsi dan panjangnya waktu konsumsi antibiotik ini dapat membuat pasien menjadi bosan dan tidak menghabiskan antibiotik sampai tuntas, sehingga meningkatkan risiko resistensi antibiotik.
Ia menyebut, situasi pandemi membawa kesulitan tersendiri bagi tim. Salah satunya, tak dapat bertemu langsung dan mengerjakan proyek di laboratorium basah/wet lab.
"Sehingga kami berusaha lebih keras untuk dapat membuktikan bahwa desain yang kami kerjakan memiliki efektivitas yang tinggi dengan modelling dari dry lab saja," ujar Kevin.
Guna mengatasi hambatan tersebut, tim melakukan literatur review secara mendalam. Kemudian, melakukan berbagai diskusi dan wawancara bersama para senior dan ahli, serta belajar dan bekerja lebih keras sampai menemukan formulasi yang tepat.
Seluruh proses penelitian tim tersebut dilakukan di bawah bimbingan Budiman Bela dari Departemen Mikrobiologi FK UI. Penelitian dibantu oleh segenap tim peneliti dari Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi (PRVKP) FKUI.
"Prestasi ini merupakan hal yang luar biasa mengingat tentu tidak mudah melakukan persiapan untuk kompetisi ini dalam suasana pandemi yang banyak membatasi pergerakan manusia ini," ujar Budiman.
iGEM merupakan sebuah kompetisi sintetik biologi tahunan yang diadakan oleh iGEM Foundation, sebuah organisasi non-profit internasional yang berpusat di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Sejarah iGEM berawal dari student project yang dilakukan di kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kemudian dikembangkan hingga akhirnya menjadi kompetisi sintetik biologi terbesar di dunia. Tahun ini, kompetisi iGEM melibatkan lebih dari 352 tim yang berasal dari seluruh dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News