Kepala SD Negeri 20 di desa Salomenraleng, Syahrir. Foto: Dok. Pribadi
Kepala SD Negeri 20 di desa Salomenraleng, Syahrir. Foto: Dok. Pribadi

Kisah Haru 'Guru Perahu', Kembangkan Layar Antarkan Asa Belajar

Ilham Pratama Putra • 06 Mei 2022 09:09
Jakarta:  Sajadah usai salat subuh telah dilipat. Gelap dan dingin masih menyelimuti desa Salomenraleng, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.  Namun lelap, tak boleh berlanjut bagi para guru di SD Negeri 20 desa Salomenraleng.
 
Terutama bagi Syahrir, kepala Sekolah Dasar Negeri yang berada di tengah danau Tempe itu. Bagi Syahrir, kata-kata bijak Buya Hamka menjadi pegangannya: "Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang. Kalau perahunya telah dikayuh ke tengah, dia tidak boleh surut palang. Meskipun besar gelombang- biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang,".
 
Pagi buta itu, Syahrir telah menagih janji para guru. Giliran siapa yang akan berlayar, mengantar keceriaan sembari menabur ilmu di kepala mungil anak-anak didiknya hari ini.

"Ini panggilan jiwa kami, sebagai kepala sekolah dan guru untuk memberikan pelayanan maksimal," kata Syahrir kepada Medcom.id, dalam wawancara memperingati bulan pendidikan, Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2022 lalu.
 
Syahrir bersama sembilan guru di sekolah tersebut mengemban tugas tak biasa dalam mengajar anak didik yang bersekolah di atas bangunan panggung itu. Sekolah itu memang dirancang khusus, berbentuk panggung agar tetap kokoh ketika masuk musim hujan hebat.
 
Sebab saat musim itu datang, akses ke sekolah itu akan tertutup air selama enam bulan. Alhasil, air setinggi dua meter selalu menjadi langganan penghambat hadirnya murid ke sekolah.
 
Pada masa itulah sejumlah masalah pun bermunculan. "Karena terendam begitu, maka anak-anak yang sekolah di tempat kami itu akses mereka menggunakan perahu. Kadang perahu orang tua, kadang perahu tetangga mereka, kadang perahu sekolah yang datang menjemput," kata Syahrir.
 
Kisah Haru Guru Perahu, Kembangkan Layar Antarkan Asa Belajar
Siswa belajar di atas perahu. Foto: Dok. Pribadi
 
Namun perahu-perahu itu kadang kala memang tak jua bisa berlabuh di sekolah. Tumbuhan air eceng gondok, jadi penghalang lambung perahu untuk merapat ke sekolah. Berputar sedemikian rupa pun seolah upaya yang sia-sia.
 
Kendala menjadi berlipat ganda. Saat perahu-perahu siswa ternyata lebih sering terikat di pasar terapung atau mengapung menanti ikan bagi orang tua murid yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan ini.
 
"Oh ini enggak bisa. Ini harus diantisipasi. Banyak yang bilang, ini sudah kejadian bertahun-tahun. Tapi saya tetap enggak bisa terima ini. Harus ada action," terang kepala sekolah SDN 20 yang baru menjabat empat bulan itu.
 

Ia bertanya kepada para guru. "Sekolah punya perahu kan? ya sudah siapkan perahu, data siswa yang terdekat rumahnya," ceritanya.
 
Para guru kala itu mempertanyakan apa kiranya yang akan dilakukan pria yang gemar film Iron Man itu. Dalam benak guru, kata Syahrir, tak pernah terbayangkan jika mereka akan berlayar ke rumah siswa.
 
"Jadi saya bilang, siapkan bukunya. Loh ditanya kita mau ke sana ya pak? Ya siapkan. Kemudian materi hari ini apa? Siklus hujan. Ambilin alat peraganya. Kelas satu apa? Jenis-jenis ikan. Saya siapkan semua di perahu. Kemudian kami ke sana," terang Syahrir.
 
Alur proses belajar mengajar kala itu berubah nyaris 360 derajat. Syahrir membangun sebuah sistem guru kunjung.
 
Ia mengirimkan pesan melalui aplikasi Whatsapp perintah tugas setelah salat magrib kepada guru. Isinya mendata siswa yang tidak bisa ke sekolah esok hari.
 
Kisah Haru Guru Perahu, Kembangkan Layar Antarkan Asa Belajar
 
Esok subuh, setelah salat subuh para guru mesti melapor data siswa yang tidak bisa datang, dan materi pelajaran apa yang harus diterima siswa pada hari itu.
 
"Ke grup siswa itu diarahkan, siapa yang tidak bisa ke sekolah, kumpul di titik A, B, C dan D. Kemudian saya berangkat, menggunakan perahu di sekolah bersama guru yang piket," tuturnya.
 
Satu-satunya perahu itu menjadi tumpuan berbagai perlengkapan mengajar. Mulai dari laptop, alat peraga hingga buku-buku pelajaran.
 
Perahu tentu sesak. Sebab di satu titik pengajaran yang dikunjungi, kata Syahrir bisa saja terdapat tiga jenjang kelas yang berkumpul.
 
"Itu yang menantang kami, menghadapi tiga jenjang sekaligus misalnya, kami ajar bersamaan. Didudukin, dijelasin materinya," kata pria yang hobi burung kicau ini.
 

Setidaknya di satu titik, ada lima hingga 10 siswa dari berbagai jenjang kelas. Di satu titik, Syahrir bisa bertahan 15 sampai 20 menit untuk memberikan pengajaran.
 
Ketika selesai dari titik pertama untuk 20 menit pengajaran, Ia kembali mengayuh perahu untuk berpindah menuju titik kumpul ke dua, ke tiga dan keempat.
 
Setelah proses mengajar selesai, ia menagih hasil belajar siswa. Ia kembali ke titik tiga, dua dan satu mengumpulkan produk belajar untuk dievaluasi.
 
"Kita bisa analisa dan evaluasi apa keberhasilannya, apa yang mau diperbaiki, apa yang bisa ditambah," jelas pria 51 tahun itu.
 
Model ini pun, kata dia, sangat adaptif ketika diterapkan pada masa pandemi covid-19 seperti ini. Sebuah masa di saat semakin banyak siswa yang tidak bisa hadir ke sekolah. Yang terpenting bagi Syahrir, tak boleh ada siswa yang tak bisa belajar.
 
Konsep "guru perahu" akhirnya berjalan. Namun aral lintang sudah barang tentu menjadi makanan wajib ketika sebuah proses berjalan.
 
Pernah satu waktu, ketika perahu sudah dipenuhi bahan ajar dan siap berlayar, hujan deras menghantam semangat Syahrir dan guru. Bayangkan, seperti apa jadinya mesti mendayung perahu ditengah danau dengan hujan deras. Hebohnya bukan main.
 
"Kami tidak pernah mengeluh, tapi malah tertawa itu guru kami. Dia telepon, pak, kita kehujanan di tengah danau. Cari tempat berteduh, saya bilang. Dia bilang tempat berteduh? Tempat berteduh apa pak? Di tengah danau ini. MasyaAllah. Kami akhirnya masuk di rumah terdekat untuk berteduh. Belum lagi ada perahu bocor. Jadi sudah luka di atas luka," selorohnya.
 
Namun duka-duka itu dihapuskan oleh lengkung senyum yang hadir di wajah muridnya. Muridnya serupa melihat Syahrir sebagai Iron Man yang nyangkut di perahu.
 
Syahrir pun tak pernah menyangka, begitu semangatnya para murid untuk belajar di tengah badai pandemi dan keterbatasan. Melihat Syahrir dan para guru kian rapat ke daratan, satu per satu muridnya muncul.
 
"Mereka itu sebelum kita sampai ke rumah mereka itu, dari kejauhan terlihat berpakaian sekolah loh. Pakaian sekolah, mereka lengkap. Pakai tas, rambut diikat, pakai pita, pakai dasi. Pakai baju sekolah," seru Syahrir.
 

Baginya, seorang guru dan orang tua, mendapati anak dalam keadaan seperi itu, berarti ada api semangat dalam jiwa anak-anak untuk mau belajar. Dalam matanya, anak-anak itu siap untuk diisi dengan ilmu.
 
"Mereka lalu lompat-lompat. Dari jauh kita sudah diteriakin. Pung (panggilan untuk guru di Wajo), Pung kami mau belajar. Dari jauh itu di samping orang tuanya mereka sudah panggil berteriak-teriak, kami mau belajar," kata Syahrir mencontohkan.
 
Dalam suasana yang dikenangnya haru itu, Syahrir menyelipkan doa. Jika mengingat hari-hari berlayar itu, ia selalu mengatakan kepada sembilan guru di sekolah tersebut, jika apa yang para guru lakukan hari ini akan tercatat di benak anak-anak didiknya kelak.
 
"Dan ingat, saat mereka sudah meninggal, kita semua meninggal, di yaumul hisab nanti itu pada saat anda akan dilempar ke neraka, akan ada satu siswa yang berteriak. Pak, jangan kasih masuk di neraka guru saya itu. Gara-gara dia itu saya bisa mengerti baca tulis, dan agama," kata dia.
 
Kepada para guru Ia juga meninggalkan pesan untuk jangan menyerah untuk 66 murid yang ada di SDN 20 itu. Masalah jangan membuat semangat mengajar loyo.
 
Bagi Syahrir, sudah tak ada lagi kompromi jika telah menyangkut pemberian layanan pendidikan kepada para muridnya. Integritas menjadi kunci bagi seorang guru dalam kondisi apapun, termasuk kondisi yang ia alami di Salomenraleng.
 
"Jadi kalau guru punya integritas dan kompetensi yang mempuni untuk mengajar, maka kedua hal ini menjadi kunci yang harus dipegang. Mereka bisa ditempatkan di mana saja. Mau gempa, gunung meletus, pandemi, mereka tidak kaget lagi, mereka sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Ayo kita buat inovasi," ungkap pembaca buku-buku karya Mira Widjaja dan Sutardji Colzoum Bachri itu.
 
Integritas Syahrir bersama sembilan guru di SDN 20 kini tak perlu diragukan. Tak pula Ia berharap lebih kepada pemerintah.
 

Pun saat ditanya harapan kepada pemerintah, Syahrir bahkan hanya meminta perahu barang dua atau tiga lagi untuk mempercepat laju pengajaran bagi para muridnya.
 
"Kadang saya bilang ke teman-teman, jangan memikirkan sesuatu yang terlalu tinggi. Jadi saya bilang, perahu cukup dua atau tiga. Lagian hanya dipakai per enam bulan sekali. Tapi yang paling kami butuhkan saat ini bagaimana mengembangkan kompetensi guru, kompetensi mengajarnya, IT-nya, kemampuan digitalnya, itu sebenarnya yang dibutuhkan guru saat ini," pesannya.
 
Syahrir, sembilan guru dan sebuah perahu itu tak sekadar melintas di atas air danau Tempe. Syahrir dan para guru juga tak sekadar mengayun kayuh. Tapi mereka mengayun cinta, cita dan asa bagi 66 anak di SDN 20 Salomenraleng, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
 
Baca juga:  Rachmah Ida, Profesor Pertama Studi Media di Indonesia Masuk Top 100 Scientist
 
Besar "gelombang" tak menjadikan ia putar haluan. Ketika perahunya telah dikayuh ke tengah, tak ada kata surut, tak ada kata pulang. Seperti kata Buya Hamka.
 
"Semoga cerita ini sampai ke setiap guru Indonesia, dan orang tua, kepada setiap murid. Semoga kita terus dalam keberkahan," tutup Syahrir.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan