Anak ketiga dari sembilan bersaudara ini juga harus dihadapkan dengan masalah keberangkatan. Permohonan visa sempat ditolak berkali-kali oleh otoritas Mesir maupun Israel.
Alhasil, Mohammad terlambat mengikuti kuliah. Dia tiba di Lampung pada September 2019. Sedangkan kawan-kawannya sudah mulai berkuliah sejak Februari.
Perang berkecamuk di Jalur Gaza
Perjuangan belum selesai sampai di sana. Di kelas, ia harus beradaptasi dengan cepat karena seluruh pembelajaran dengan Bahasa Indonesia. Sedangkan melalui telepon genggamnya, ia memperoleh berita dari media massa seputar perang di Jalur Gaza yang tak berkesudahan.“Termasuk ketika rumah saya hancur dan keluarga saya semuanya harus dirawat di Rumah Sakit, itu saya ketahui bukan dari kabar mereka langsung. Tetapi dari media, saya lihat rumah saya hancur dan fotonya ditampilkan di media online. Kondisi itu sempat membuat saya sulit untuk fokus belajar,” lanjut Mohammad.
Mohammad menyebut menyiasati masalah bahasa dengan dua cara: belajar tekun di pusat pelatihan, serta menghubungkan kosakata yang ia temui di kelas dengan Bahasa Arab yang sehari-hari ia gunakan.
Terlebih, untuk urusan pemrograman dan matematika, yang menjadi mata kuliahnya sehari-hari. Banyak kata-kata yang sudah baku secara internasional.
Dia selau ingat pesan orang tuanya bila masih mengalami kesulitan belajar ataupun terbayang-bayang perang yang terus terjadi di kampung halamannya. Mohammad diberi tugas mengubah nasib keluarganya dengan menjadi seorang sarjana dan berkarier di tempat yang lebih baik.
“Katakanlah algoritma, matematika, dalam bahasa manapun termasuk Inggris juga disebut demikian. Sifatnya universal. Jadi saya mulai belajar Bahasa Indonesia, hingga akhirnya saya tidak mengalami kendala sama sekali dalam komunikasi dan pelajaran. Alhamdulillah untuk pelajaran eksakta, nilai saya hampir seluruhnya A (sempurna),” ungkap Mohammad yang kini meraih IPK 3,8.