Terminal peti kemas yang ada di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok.
Terminal peti kemas yang ada di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. ()

MEA, Siap tidak Siap Harus Siap

06 Januari 2016 12:37
Ronny P Sasmita, Analis Ekonomi Politik International Financeroll Indonesia
 

 
MULAI Januari 2016, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan berlaku secara serentak di sepuluh negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Secara ideal, MEA dibentuk dengan dasar untuk memperkecil kesenjangan di antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggota-anggota di dalamnya. Dengan kata lain, melalui MEA, sepuluh negara ASEAN akan membentuk pasar perdagangan tunggal yang dapat bernegosiasi dengan eksportir dan importir baik ASEAN maupun non-ASEAN.
 
Nah, bagi Indonesia, MEA bisa menjadi sebuah peluang besar karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan mendongkrak produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Namun, apakah Indonesia mampu menggenjot nilai perdagangan dengan negara-negara mitra ASEAN di satu sisi dan mengurangi minus perdagangan di sisi lain? Sejatinya itu pertanyaan lain karena ternyata dari data yang ada, Indonesia masih kalah angka ketimbang mitra-mitra dagang utama di ASEAN walaupun tidak berada di posisi yang terlalu buruk. Berdasarkan data ekspor impor dari World's Richest Countries, World's Top Exports 2014, dan Tradingeconomics.com, tampaknya Indonesia masih harus terus berjuang menggenjot angka ekspor ke negara-negara mitra dagang utama di ASEAN. Ambil contoh tiga mitra utama seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ketiga negara itu membukukan surplus perdagangan terhadap Indonesia walau nilai perdagangan Indonesia terhadap ketiga negara tersebut juga tergolong besar.
 
Berdasarkan data-data tersebut, pada 2014, Indonesia berhasil mencatatkan kapitalisasi ekspor ke Singapura sebesar US$1,6 miliar, tetapi pada tahun yang sama nilai impor Indonesia dari Singapura malah jauh lebih besar, yakni US$25,2 miliar. Sementara itu, angka ekspor Indonesia terhadap Malaysia pada tahun yang sama ialah US$9,8 miliar dan nilai impor dari Malaysia juga tercatat lebih besar, yakni US$10,9 miliar. Terhadap Thailand, Indonesia mencatatkan nilai ekspor sebesar US$5,8 miliar, tetapi nilai impor justru tercatat US$9,8 miliar.
 
Dari sisi keberhasilan menggenjot foreign direct investment (FDI), berdasarkan data sampai 2014, Indonesia terbilang cukup prestatif bila dibandingkan dengan sembilan negara ASEAN lainnya. Dari data arus FDI ke ASEAN pada kurun waktu 2000-2014, memang ada jurang besar FDI yang masuk ke Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dengan negara yang mendapatkan FDI rendah seperti Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Filipina. Indonesia berada pada urutan yang sangat baik, cuma berada di bawah Singapura. Pada 2014, Indonesia menggaet FDI sekitar US$22,27 miliar, sedangkan Singapura berhasil menjadi yang paling moncer mendatangkan FDI dengan mencatatkan angka US$72,09 miliar, Malaysia US$10,71 miliar, dan Thailand US$11,53 miliar.
 
Singapura terkuat
 
Boleh dibilang, perekonomian Singapura merupakan yang terkuat saat ini di ASEAN. Apalagi, negara itu menjadi spot terkuat untuk perdagangan dan investasi di ASEAN. Bahkan, ratusan perusahaan besar di Asia mendirikan kantor pusat regional di negara tersebut. Selain itu, perusahaan Singapura terbilang populer di kawasan ASEAN sehingga dari sisi kompetisi dagang, tentu Singapura merupakan lawan yang kuat dalam era perdagangan bebas ASEAN dan merupakan pihak yang memiliki sejumlah kesepakatan perdagangan bebas serta kerja sama ekonomi dengan negara-negara utama dunia.
 
Berdasarkan data dari World's Top Export 2014, perekonomian Singapura boleh dibilang sangat kuat. Pada 2014, Singapura mengekspor produknya ke seluruh dunia dengan nilai mencapai US$409,8 miliar (bandingkan dengan Indonesia pada tahun yang sama, total ekspor sebesar US$176,3 miliar). Angka tersebut mewakili 2,2% dari total ekspor global yang diestimasi mencapai US$18,659 triliun.
 
Dari perspektif kontinental, sekitar 73,7% dari total ekspor negeri jiran tersebut pada tahun lalu dikirim ke rekanan dagang Asia. Importir Eropa membeli sekitar 8,8% barang ekspor Singapura, sedangkan 6,4% lainnya dibeli Amerika Utara. Pada tahun yang sama, Singapura mencatatkan surplus perdagangan terbesar dengan Indonesia senilai US$19,6 miliar, dengan Malaysia US$10 miliar, dengan Vietnam US$9,7 miliar, dan dengan Thailand senilai US$6,3 miliar.
 
Ketidaksiapan
 
Dengan beberapa contoh head to head data tersebut, wajar kiranya kesan pesimistis muncul dari beberapa analis dan ekonom yang sempat saya ajak berdiskusi. Namun, jika diselisik data-data peringkat Indonesia dalam berbagai aspek, sebenarnya negeri kita ini berada pada posisi yang tidak terlalu bontot alias cukup bagus.
 
Ambil contoh misalnya data laporan daya saing global untuk 2015-2016, Indonesia berada pada peringkat empat di ASEAN. Peringkat lima berdasarkan data indeks kinerja logistik dan indikatornya pada 2014. Peringkat empat berdasarkan basis data produktivitas 2014. Peringkat dua bidang kelistrikan dan peringkat tujuh dari sisi upah minimum berdasarkan survei ke 23 investasi dan hubungannya dengan biaya di Asia dan Oseania 2013. Agak kurang kompetitif dari sisi suku bunga, yakni peringkat sembilan di ASEAN.
 
Meskipun demikian, pesimisme yang muncul tentu sangat wajar. Lihat saja hasil penelitian tim survei ASEAN yang dilakukan LIPI pada Mei 2015 lalu, terdapat beberapa hal yang menunjukkan ketidaksiapan Indonesia dalam menyambut MEA. Pertama, berbagai kegiatan yang dilakukan kementerian dan lembaga pemerintah cenderung sektoral dan tidak selaras antara pusat dan daerah.
 
Kedua, penerapan kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) masih jauh dari harapan, khususnya bagi UKM terkait dengan pengajuan dan proses sertifikasi yang masih berbelit dan mahal. Dengan kata lain, penerapan SNI juga belum didukung sepenuhnya oleh infrastruktur SNI atau laboratorium uji dan personel yang memadai. Ketiga, pemerintah pusat dan daerah belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan kepada UKM. Padahal, jika mau jujur mengakui, UKM harus menjadi fokus penting dalam pelaksanaan MEA.
 
Keempat, permasalahan terkait dengan infrastruktur dan konektivitas yang dihadapi dunia usaha dalam priority integration sector (PIS) di Indonesia. Keterbatasan infrastruktur dan konektivitas itu yang memengaruhi tingkat kemampuan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan. Kelima, sifat pasif masyarakat Indonesia umumnya dianggap sebagai faktor utama penghambat sosialisasi MEA. Celakanya lagi, terbatasnya tenaga penyuluh dan minimnya intensitas kegiatan penyuluhan membuat sosialisasi MEA tidak berkembang.
 
Hasil survei LIPI itu tentu makin mempertegas pesimisme banyak pihak atas diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) pada tahun ini. Kondisi itu ditambah pula dengan perlambatan ekonomi nasional yang berlangsung selama tahun lalu, di saat angka-angka ekonomi makro yang ditarget pemerintah cenderung meleset dari semua sisi.
 
Namun, bagaimanapun, waktu tentu tak mungkin diputar ulang sehingga apa pun ceritanya, pemerintah, dunia usaha (usaha besar maupun UMKM), dunia tenaga kerja, dunia permodalan, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, siap tak siap, toh harus tetap siap berbaur di kancah ASEAN dan melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Syukur-syukur negeri kita tidak sekadar dijadikan mangsa mitra-mitra dagang se-ASEAN raya. Semoga.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase masyarakat ekonomi asean

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif