Sosok Letkol Untung, Aktor Utama G30S/PKI
Siti Yona Hukmana • 28 September 2021 07:40
Jakarta: Nama Letnan Kolonel (Letkol) Untung paling banyak disebut dalam peristiwa kelam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI. Pasalnya, Letkol Untung aktor utama dalam Gerakan 30 September (Gestapu), sebutan lain G30S/PKI.
Dalam Untung, Cakrabirawa, dan G30S karya Petrik Matanasi, Letkol Untung disebut lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah, pada 3 Juli 1926 dengan nama Kusman. Namun, masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Untung.
Ayahnya, Abdullah, seorang penjaga toko bahan batik di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Toko tempat Abdullah bekerja milik orang keturunan Arab. Sejak kecil Kusman menjadi anak angkat Sjamsuri, pamannya.
Berdasarkan pengakuan kawannya semasa kecil, Kusman ialah bocah pendiam. Mungkin hal itu lantaran strata ekonomi keluarga yang tergolong rendah sehingga membuat Kusman bersikap menyendiri.
"Sebuah alasan yang kemungkinan membuatnya bersimpati pada komunisme dan membuatnya tergabung dengan kelompok perwira kiri," ujar sejarawan Petrik dalam buku Untung, Cakrabirawa, dan G30S seperti dilihat Medcom.id, Selasa, 28 September 2021.
Ketika tentara Jepang mendarat dan berkuasa di Tanah Air, Kusman bergabung menjadi prajurit pembantu Jepang yang dinamakan Heiho. Prajurit itu dikumpulkan untuk membantu Jepang dalam perang Pasifik. Kala itu Kusman berusia 17 tahun. Kusman diperkirakan masuk Heiho pada 1943.
Pasukan ini dibentuk berdasarkan instruksi Bagian Angkatan Darat Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang pada 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943. Jumlah Heiho mencapai 25 ribu personel, salah satunya Kusman.
Masalah ekonomi menjadi alasan banyak pemuda masa itu untuk bergabung dengan Heiho. Pembentukan Heiho setidaknya membuka peluang rakyat miskin untuk mencapai strata ekonomi yang lebih tinggi.
Baca: Jatuh Bangun PKI Hingga Jadi Partai Besar di Pemilu 1955
Kusman mendapat pelatihan baris berbaris, pengenalan dunia militer, bahasa Jepang, dan latihan perang-perangan dengan senjata kayu atau bambu runcing. Setelah mendapat pelatihan, prajurit Heiho disebar ke berbagai instalasi perang milik tentara Jepang.
Heiho menjadi awal karier Kusman sebagai militer profesional yang dibayar walau tak lulus sekolah. Masa-masa menjadi Heiho membuat Kusman berpengalaman untuk terjun sebagai tentara nasional yang kemudian didirikan setelah kemerdekaan.
Menjelang akhir pendudukan Jepang di Indonesia, jumlah pasukan Heiho diperkirakan mencapai 42 ribu orang yang lebih dari setengahnya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Riwayat Heiho habis setelah dibubarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ketika Jepang menyerah pada Sekutu.
Sebagian anggota Heiho dialihkan menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR yang dibentuk pada 22 Agustus 1945 itu berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Kini, bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Terlibat revolusi kemerdekaan
Semasa perang Kemerdekaan, Kusman yang berpangkat sersan mayor menjadi anggota Batalyon Sudigdo di Wonogiri. Batalyon Sudigdo merupakan bagian dari Divisi Panembahan Senopati. Penembahan Senopati yang berbasis di Jawa Tengah bagian selatan ini banyak terpengaruh paham-paham komunis.
"Karenanya, mereka kerap berbeda pendapat dengan Divisi Siliwangi yang baru datang itu. Siliwangi adalah kesatuan yang menyerap nilai-nilai militer profesional," ujar Petrik.
Batalyon Sudigdo diyakini terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Ketika Batalyon Sudigdo dibersihkan oleh pasukan Siliwangi dan digiring ke Cepogo, Lereng Merbabu, Kusman melarikan diri ke Madiun dan menjadi bagian kecil dari pasukan pemberontak dalam Madiun Affair 1948.
Banyak sisa pemberontak dalam Madiun Affair diputihkan. Kusman beruntung terbebas dari pembersihan yang dilakukan pemerintahan Soekarno. Pascaperistiwa Madiun, nama Kusman diubah menjadi Untung. Nama itu terus disandangnya hingga dihukum mati dalam peristiwa berdarah G30S/PKI.
Dekat dengan Soeharto
Sekitar 1949, Kusman masuk kembali ke TNI dengan nama Untung Sutopo. Dia bergabung dengan Batalyon 444 di Kleco, Solo, sebagai komandan kompi.
Pada 1 Maret 1953, Soeharto dipindahkan ke Solo sebagai komandan Resimen 15. Resimen 15 beranggota 3.704 personel itu terdiri dari pasukan yang dahulunya tergabung dalam Divisi Penembahan Senopati. Sejak di Resimen 15 inilah Soeharto mengenal Untung.
"Soeharto mengakui, 'saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi komandan Resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan Kompi Batalyon 444. Untung pernah mendapat pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin'," ucap sejarawan Petrik.
Pada 1958, Untung ikut dalam Operasi 17 Agustus yang dipimpin Ahmad Yani. Selain Untung, Latief yang masih berpangkat mayor juga ikut dalam operasi. Latief kala itu sebagai perwira intelijen Kodam III/Diponegoro. Sementara itu, Untung masih menjadi komandan kompi dengan pangkat letnan satu.
Setelah berpangkat mayor, Untung menikah di Kebumen. Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto, menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto bukan hal biasa. Dia datang dari Jakarta ke Kebumen hanya untuk menghadiri pernikahan bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro.
Kondisi jalan antara Jakarta-Kebumen yang saat itu belum baik memperkuat dugaan banyak orang kedatangan Soeharto menunjukkan kedekatannya dengan Untung. Praduga berlanjut, Untung ialah orang yang dipilih Soeharto untuk mengacaukan Gestapu.
Sekitar 14 Agustus 1962, Untung diterjunkan ke daerah Sorong, Papua Barat. Untung masuk Operasi Mandala yang dipimpin Soeharto. Setelah operasi sukses, dia mendapat kenaikan pangkat istimewa dari mayor ke letnan kolonel (Letkol), plus bintang, setelah memimpin pasukan gerilya menyerang tentara Belanda di Papua Barat.
Postur Untung yang pendek, tetapi kekar dan berleher gemuk cukup ideal sebagai postur prajurit yang mendapat bintang jasa. Selain itu, dia dipercaya menjabat sebagai komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.
Namun, atas nama stabilitas nasional, Untung dihabisi melalui pengadilan Mahmilub di Jakarta dan dihukum mati. Tidak hanya Untung, sepuluh orang mantan Cakrabirawa juga dijatuhi hukuman mati atas perbuatan mereka menghabisi petinggi Angkatan Darat (AD) dalam G30S.
Soeharto, secara tak langsung, menghukum mati kawannya sendiri. Kesaksiannya di pengadilan pun tak banyak menolong Untung dari jerat hukuman mati.
Pimpinan G30S/PKI
Pada 4 Agustus 1965, Soekarno beberapa kali pingsan. Ketika sadar, Letkol Untung menghampirinya dan terjadi percakapan singkat yang mengawali peristiwa berdarah G30S.
Kepada Untung, Presiden Soekarno bertanya, "apa dirimu mau menerima perintah yang akan mencakup tindakan terhadap jenderal yang tidak loyal." Untung pun menyatakan kesediaannya.
"Jika Bapak membiarkan kita menindak terhadap para jenderal, saya akan melaksanakan perintah ap apun dari pemimpin besar," jawab Untung kepada Soekarno yang ditulis dalam buku Petrik Matanasi, Untung, Cakrabirawa, dan G30S.
Percakapan itu disaksikan Brigadir Jenderal Saboer, Komandan Cakrabirawa. Untung kemudian mengangkat diri sebagai ketua Dewan Revolusi, sekaligus memimpin Gerakan 30 September. Sosok itu kemudian dikenal dengan nama barunya, Untung Syamsuri.
Kudeta 30 September yang dipimpin Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung, merenggut nyawa enam jenderal pimpinan AD dan seorang perwira pertama. Para jenderal itu difitnah orang yang tidak loyal terhadap Soekarno.
"Mereka diambil dari kediamannya masing masing dan dibunuh," kata M Fuad Nasar dalam bukunya 'Kegagalan Kudeta G30S/PKI Berdamai dengan Sejarah.'
Ketujuh korban ialah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen Harjono MT, Mayjen S Parman, Brigjen Sutojo Siswomihardjo, Brigjen DI Pandjaitan, dan Lettu Pierre Andreas Tendean. Pierre ialah ajudan Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution, yang berhasil menyelamatkan diri dari sergapan maut.
Jasad ketujuh perwira itu dibuang ke dalam sumur tua di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazah mereka ditemukan pada Minggu, 3 Oktober 1965 oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD). Ketujuh korban yang diberi gelar Pahlawan Revolusi itu sudah tak bisa dikenali, kecuali dari pakaian yang dikenakan.
Ditangkap dan dihukum mati
Untung dinilai bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu. Pada 11 Oktober 1965, 10 hari setelah peristiwa G30S, Untung ditangkap saat melarikan diri ke arah Semarang. Untung dikenali dua tentara yang sama-sama tengah menumpangi bus.
Kaget, Untung melompat keluar. Lantaran curiga, kedua tentara mengejar Untung hingga tertangkap warga di sekitar Asem Tiga,Kraton, Tegal. Saat tertangkap, dia tidak mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya tidak menyangka orang yang ditangkap ialah mantan pemegang komando operasional G30S.
Setelah menjalani pemeriksaan di Markas CPM Tegal, barulah diketahui pria itu bernama Untung. Untung menjalani sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) atas keterlibatan dalam peristiwa berdarah G30S/PKI.
Sejarawan Petrik Matanasi menyebut berdasarkan pengakuan Letkol Untung di pengadilan, jumlah pasukan Cakrabirawa yang terlibat dalam G30S tidak lebih dari satu kompi. Untung mengaku ada 60 orang Cakrabirawa yang terlibat. Mereka semua bawahannya dalam Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa.
Pasukan Cakrabirawa yang terlibat dalam peristiwa berdarah itu bukanlah pasukan yang paling dekat dengan Soekarno. Melainkan, pasukan terluar dalam lapisan pengawalan Soekarno.
Dalam sidang Mahmilub, Untung menolak tuduhan yang dijatuhkan oditur militer bahwa dirinya menjalankan G30S untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Namun, dia mengaku bersalah dengan menggerakkan orang lain terlibat dalam pembunuhan terencana, seperti yang terjadi di Lubang Buaya.
Untung dijatuhi hukuman mati di Cimahi, Jawa Barat, pada 1966 setelah grasinya ditolak. Menurut Petrik, Untung seorang nasionalis, meski juga komunis. Apa yang dilakukan Untung sebenarnya bukan karena dirinya komunis, melainkan hanya memposisikan diri sebagai pembela Bapak Nasionalis Indonesia yang akan digulingkan, yakni Soekarno.
Jakarta: Nama Letnan Kolonel (Letkol) Untung paling banyak disebut dalam peristiwa kelam Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia atau G30S/PKI. Pasalnya, Letkol Untung aktor utama dalam Gerakan 30 September (Gestapu), sebutan lain G30S/
PKI.
Dalam
Untung, Cakrabirawa, dan G30S karya Petrik Matanasi, Letkol Untung disebut lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah, pada 3 Juli 1926 dengan nama Kusman. Namun, masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Untung.
Ayahnya, Abdullah, seorang penjaga toko bahan batik di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Toko tempat Abdullah bekerja milik orang keturunan Arab. Sejak kecil Kusman menjadi anak angkat Sjamsuri, pamannya.
Berdasarkan pengakuan kawannya semasa kecil, Kusman ialah bocah pendiam. Mungkin hal itu lantaran strata ekonomi keluarga yang tergolong rendah sehingga membuat Kusman bersikap menyendiri.
"Sebuah alasan yang kemungkinan membuatnya bersimpati pada komunisme dan membuatnya tergabung dengan kelompok perwira kiri," ujar sejarawan Petrik dalam buku
Untung, Cakrabirawa, dan G30S seperti dilihat
Medcom.id, Selasa, 28 September 2021.
Ketika tentara Jepang mendarat dan berkuasa di Tanah Air, Kusman bergabung menjadi prajurit pembantu Jepang yang dinamakan Heiho. Prajurit itu dikumpulkan untuk membantu Jepang dalam perang Pasifik. Kala itu Kusman berusia 17 tahun. Kusman diperkirakan masuk Heiho pada 1943.
Pasukan ini dibentuk berdasarkan instruksi Bagian Angkatan Darat Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang pada 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943. Jumlah Heiho mencapai 25 ribu personel, salah satunya Kusman.
Masalah ekonomi menjadi alasan banyak pemuda masa itu untuk bergabung dengan Heiho. Pembentukan Heiho setidaknya membuka peluang rakyat miskin untuk mencapai strata ekonomi yang lebih tinggi.
Baca:
Jatuh Bangun PKI Hingga Jadi Partai Besar di Pemilu 1955
Kusman mendapat pelatihan baris berbaris, pengenalan dunia militer, bahasa Jepang, dan latihan perang-perangan dengan senjata kayu atau bambu runcing. Setelah mendapat pelatihan, prajurit Heiho disebar ke berbagai instalasi perang milik tentara Jepang.
Heiho menjadi awal karier Kusman sebagai militer profesional yang dibayar walau tak lulus sekolah. Masa-masa menjadi Heiho membuat Kusman berpengalaman untuk terjun sebagai tentara nasional yang kemudian didirikan setelah kemerdekaan.