Baca: PM Prancis Ikuti Aksi Solidaritas untuk Guru yang Dipenggal.
Puluhan ribu orang memenuhi jalanan Kota Paris, Lyon, Marseille, Lille, Strasbourg dan kota-kota lainnya pada Minggu 18 Oktober 2020 sebagai protes atau pembunuhan Jumat 16 Oktober 2020 itu. Mereka memegang spanduk dan meneriakkan dukungan untuk kebebasan berbicara dan pendidikan.
Mereka juga memberi penghormatan kepada Samuel Paty. Kamel Kabtane, seorang tokoh Muslim senior yang merupakan rektor masjid Lyon, mengatakan kepada kantor berita AFP, Paty telah 'melakukan pekerjaannya' dengan cara yang 'hormat'.
"Para teroris ini tidak religius tetapi menggunakan agama untuk mengambil alih kekuasaan," kata Kabtane, seperti dikutip AFP, Senin 19 Oktober 2020.
Unjuk rasa berlangsung meskipun ada peringatan virus korona nasional, dengan undang-undang jam malam baru mulai berlaku pada Sabtu. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menandai kejutan politik dari kejahatan tersebut.
Dia menyebutnya 'serangan pengecut' dan 'serangan teroris Islam' terhadap 'republik dan semua nilainya' Prancis. Macron berbicara hal tersebut di luar sekolah tempat Paty mengajar, di pinggiran kota Paris pada Jumat pagi.
"Malam ini saya ingin mengatakan kepada para guru di seluruh Prancis, kita bersama mereka, seluruh bangsa bersama mereka hari ini dan besok. Kita harus melindungi mereka, membela mereka," tegas Macron.
Pembunuhnya, Abdullakh Anzorov, yang ditembak mati oleh polisi, adalah seorang pengungsi berusia 18 tahun dari provinsi Chechnya di Rusia yang telah tinggal di Prancis sejak dia berusia enam tahun.
Tidak ada informasi apakah dia bertindak sendiri. Tetapi otoritas Prancis menahan 11 orang, termasuk kerabatnya, segera setelah kejadian tersebut.
Sayap kanan Prancis bereaksi
Setelah pembunuhan terhadap Paty, muncul desakan untuk mengusir 231 warga negara asing yang mereka definisikan sebagai ‘ekstremis’. Pemerintah Prancis melalui Menteri Keuangan Bruno Le Maire juga berencana untuk menindak pendanaan teroris."Ada masalah dalam mendanai sejumlah asosiasi Islamis yang menurut saya dapat dan harus kami lakukan lebih baik," ucap Le Maire, seperti dikutip France 3.
"Cryptocurrency menimbulkan masalah nyata," tambahnya.
Pembunuhan pada Jumat terjadi selama persidangan atas serangan terhadap majalah satir Prancis Charlie Hebdo pada 2015 di Paris karena menerbitkan kartun Nabi Mohammad, yang menewaskan 12 orang.
Baca: Remaja Pemenggal Guru di Prancis Pengungsi Chechnya.
Prancis adalah rumah bagi minoritas Muslim terbesar Uni Eropa (UE) yang terdiri dari 5 juta orang dan salah satu partai sayap kanan terkuatnya, National Rassemblement bersuara.
Pemimpin National Rassemblement, Marine Le Pen pun bersuara dengan kasus ini. "Islamisme sedang mengobarkan perang terhadap kami, dengan paksa kami harus mengusirnya dari negara kami," ucap Marine Le Pen.
Kebanyakan spanduk pada aksi unjuk rasa Minggu bertuliskan "Je suis Samuel" atau menyatakan nilai-nilai seperti "Tidak untuk totalitarianisme pemikiran", media Prancis melaporkan.
"Kebebasan berekspresi, kebebasan untuk mengajar!", Teriak orang-orang di Paris.
Tapi perasaan lain juga terlihat. “‘Tidak untuk Islamisasi’ dan ‘Nazislamisasi memotong leher kami’,” sebut beberapa plakat.
Sementara itu, Macron mendesak orang-orang Prancis untuk tidak membiarkan kejahatan memecah belah mereka lebih jauh. "Ini pertempuran kami dan ini eksistensial. Mereka (teroris) tidak akan berhasil. Mereka tidak akan memecah belah kami. Kita harus berdiri bersama sebagai warga negara," tegas Macron.
Paty, yang berusia 47 tahun, meninggalkan seorang istri dan seorang putra berusia lima tahun. Pembunuhannya menarik perhatian dunia internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News