Vaksin disebut-sebut sebagai game changer atau alat yang bisa mengubah keadaan. Perusahaan-perusahaan pembuat vaksin dan obat-obatan terkemuka di seluruh dunia berlomba-lomba untuk dapat menemukan the game changer.
Mulai dari vaksin Sputnik V yang dikembangkan oleh Gamaleya Institute, lalu Sinovac oleh Tiongkok, vaksin buatan AstraZeneca yang bekerja sama dengan Oxford University Inggris, hingga raksasa farmasi Amerika Serikat, Pfizer.
Awal pekan ini, Pfizer mengklaim vaksin yang mereka kembangkan dengan BioNTech 90 persen efektif mencegah virus covid-19. Vaksin tersebut saat in ada dalam uji coba fase ketiga.
Pfizer yakin mereka telah mencapai tonggak penting dalam pengembangan vaksin. Diperkirakan vaksin Pfizer dapat digunakan publik mulai awal tahun depan.
Dibalik klaim efektifnya vaksin yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech, dua tahun lalu, Dr. Ugur Sahin tampil di panggung konferensi di Berlin, Jerman, dan membuat prediksi berani. Kepada para ahli penyakit menular, ia mengatakan perusahaannya dapat menggunakan teknologi messenger RNA untuk mengembangkan vaksin secara tepat jika terjadi pandemi global.
Saat itu, Dr. Sahin dan perusahaannya, BioNTech kurang dikenal dunia karena merupakan perusahaan rintisan bioteknologi Eropa. Ia mendirikan BioNTech bersama dengan sang istri, Dr. Ozlem Tureci, dan sebagian besar berfokus pada perawatan kanker.
Saat itu, pandemi covid-19 belum ada. Namun, dua tahun kemudian, hasil menakjubkan dibuat oleh BioNTech dan Pfizer di tengah pandemi yang menewaskan lebih dari 1,2 juta orang di seluruh dunia.
"Ini bisa menjadi awal dan akhir era covid-19," kata Dr. Sahin, dikutip dari The New York Times, Kamis 12 November 2020.
BioNTech mulai mengerjakan vaksin pada Januari lalu, usai Dr. Sahin membaca artikel yang membuatnya yakin virus korona yang menyebar dengan cepat di beberapa wilayah Tiongkok, akan meledak menjadi pandemi besar-besaran. Para ilmuwan di perusahaan yang berbasis di Mainz, Jerman mulai mengerjakan yang disebut dengan Proyek Lightspeed.
Dalam wawancara Dr. Sahin dengan New York Times, ia mengatakan tidak banyak perusahaan di dunia yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menciptakan vaksin secepat yang dilakukan BioNTech.
"Rasanya bukan seperti kesempatan, tapi kewajiban untuk melakukannya, karena saya menyadari kita bisa menjadi orang pertama yang mendapatkan vaksin," tuturnya.
Setelah BioNTech mengidentifikasi beberapa kandidat vaksin yang menjanjikan, Dr. Sahin menyimpulkan bahwa perusahaan akan membutuhkan bantuan untuk mengujinya dengan cepat dan membawa kandidat terbaik ke pasar. BioNTech yang telah bekerja sama dengan Pfizer dalam vaksin flu sejak 2018, sepakat untuk berkolaborasi dalam vaksin covid-19 pada Maret lalu.
Dr. Sahin yang berkewarganegaraan Turki, menjalin persahabatan dengan Albert Bourla, kepala eksekutif Pfizer yang merupakan seorang Yunani. Keduanya mengatakan bersahabat karena latar belakang yang sama, yakni sebagai ilmuwan dan imigran.
"Kami menyadari dia berasal dari Yunani, dan saya Turki," kata Dr. Sahin sambil tertawa.
Peneliti yang juga imigran dari Turki
Dr. Sahin lahir di Iskenderun, Turki. Saat usianya empat tahun, ia dan keluarganya pindah ke Koln, Jerman.Orangtuanya bekerja di pabrik Ford kala itu. Ia tumbuh dengan cita-cita menjadi dokter dan lulus dari sekolah kedokteran Universitas Cologne. Pada 1993, ia memperoleh gelar doktor dari universitas tersebut untuk karyanya mengenai imunoterapi pada sel tumor.
Di awal karirnya, ia bertemu dengan Dr. Tureci yang kini menjadi istrinya. Tureci awalnya berniat menjadi biarawati, namun pada akhirnya ia belajar kedokteran.
Dr. Tureci merupakan kepala petugas medis BioNTech yang lahir di Jerman. Ia adalah putri seorang dokter Turki yang bermigrasi dari Istanbul. Di hari keduanya menikah, baik Sahin maupun Tureci kembali ke laboratorium usai melakukan upacara pernikahan.
Pasangan ini awalnya berfokus pada penelitian dan pengajaran, termasuk di Universitas Zurich, tempat Dr. Sahin bekerja di laboratorium Rolf Zinkernagel. Zinkernagel merupakan pemenang Hadiah Nobel pada 1996 dalam bidang kedokteran.
Cikal Bakal BioNTech
Pada 2001, keduanya mendirikan Ganymed Pharmaceuticals yang mengembangkan obat untuk mengobati kanker menggunakan antibodi monoklonal. Setelah beberapa tahun, mereka mendirikan BioNTech dan bermimpi menggunakan teknologi yang lebih luas, termasuk messenger RNA, untuk mengobati kanker."Kami ingin membangun perusahaan farmasi Eropa yang besar," kata Dr. Sahin.
Bahkan sebelum pandemi, BioNTech mendapatkan momentumnya. Perusahaan mengumpulkan ratusan juta dolar dan saat ini memiliki lebih dari 1.800 orang staf dengan kantor di Berlin, kota-kota lain di Jerman, Cambrige, dan Mass.
Pada 2018, BioNTech mulai kemitraan mereka dengan Pfizer. Sementara tahun lalu, Bill & Melinda Gates Foundation menginvestasikan USD55 juta untuk mendanai pekerjaannya atas HIV dan tuberkulosis.
Di tahun yang sama, Dr. Sahin mendapat penghargaan Mustafa Prize, yang merupakan penghargaan dua tahunan Iran untuk para Muslim di bidang sains dan teknologi.
Contoh Imigran yang Sukses
Pada 2016, pasangan suami istri ini menjual Ganymed senilai USD1,4 miliar. Dan sejak tahun lalu, BioNTech menjual saham mereka ke publik. Dalam beberapa bulan terakhir ini, nilai pasar BioNTech melonjak melebihi USD21 miliar, membuat pasangan tersebut menjadi salah satu yang terkaya di Jerman.Kedua miliarder itu tinggal bersama putri mereka yang sudah remaja di sebuah apartemen sederhana dekat kantor. Keduanya mengendarai sepeda ke kantor dan tidak memiliki mobil.
"Sahin merupakan individu yang sangat unik," ucap Bourla, kepala eksekutif Pfizer dalam sebuah wawancara.
"Ia hanya peduli pada sains. Membahas bisnis bukanlah minatnya, ia sama sekali tidak menyukainya. Dia seorang ilmuwan dan orang yang memiliki prinsip," tuturnya.
"Saya percaya dia 100 persen," tegas Bourla.
Di negara-negara Eropa, termasuk Jerman, imigran selalu menjadi masalah yang memprihatinkan. Namun, kesuksesan dua ilmuwan yang adalah keturunan Turki itu patut dirayakan.
"Dengan adanya pasangan ini, Jerman memiliki contoh cemerlang dari integrasi yang sukses," kata situs bisnis Focus.
Seorang anggota Parlemen, Johannes Vogel mengatakan tidak akan ada BioNTech Jerman yang dibangun Ugur Sahin dan Ozlem Tureci jika masalah imigrasi digantungkan pada partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman. Dengan adanya perusahaan ini, membuat Negeri Bavaria sebagai negara imigrasi, dengan ekonomi pasar dan masyarakat yang terbuka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id