Sekelompok demonstran di Thailand membawa spanduk bergambar foto Jenderal Min Aung Hlain dalam aksi memprotes kudeta militer di Myanmar. (Mladen ANTONOV/AFP)
Sekelompok demonstran di Thailand membawa spanduk bergambar foto Jenderal Min Aung Hlain dalam aksi memprotes kudeta militer di Myanmar. (Mladen ANTONOV/AFP)

Myanmar yang Tak Bisa ‘Move On’ dari Kudeta Militer

Fajar Nugraha • 06 Februari 2021 10:09
Yangon: Di pagi hari Senin 1 Februari 2021, militer Myanmar bergeliat menuju gedung parlemen di Naypyidaw. Tak disangka terjadi kudeta dan kekuasaan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pun berakhir.
 
Kudeta dan kekuasaan junta militer bukan sesuatu yang asing di Myanmar. Perebutan kekuasaan oleh militer terhadap pemerintahan sipil bukan pertama kalinya terjadi. 
 
Seperti apa sejarah kekuasaan di Myanmar, berikut dirangkum Medcom.id dari berbagai sumber:

1. Kemerdekaan (1948-1962)
 
Sejarahnya, Myanmar menjadi negara merdeka dari kekuasaan Inggris pada 4 Januari 1948. Saat itu Myanmar bernama resmi Union of Burma dengan Sao Shwe Thaik menjadi presiden pertama dan U Nu sebagai perdana menteri pertama.
 
Nama Jenderal Aung San sangat kental dalam upaya kemerdekaan Myanmar saat itu. Dia menjadi sosok populer yang membawa negara keluar dari belenggu Inggris.
 
Pada 1947, Aung San menjai Wakil Ketua Dewan Eksekutif Myanmar, yang merupakan pemerintahan transisi dari Inggris. Namun pada Juli 1947, seorang lawan politik membunuh Aung San dan beberapa anggota kabinet.
 
Tidak seperti negara bekas jajahan Inggris lainnya, Myanmar tidak menjadi anggota negara Persemakmuran. 
 
Kekuasaan sipil Myanmar pun bertahan selama 15 tahun. Ketika kelompok etnis non-Myanmar mendorong otonomi atau federalisme, di samping memiliki pemerintahan sipil yang lemah di pusat, kepemimpinan militer melancarkan kudeta pada tahun 1962. 
 
Meskipun tergabung dan mengakui Konstitusi 1947, pemerintah militer berturut-turut menafsirkan penggunaan istilah 'federalisme' sebagai anti-nasional, anti-persatuan dan pro-disintegrasi. 
 
2. Kudeta 1962
 
Pada 2 Maret 1962, militer yang dipimpin oleh Jenderal New Win mengambil alih kekuasaan Myanmar melalui kudeta. Antara 1962 hingga 1974, Myanmar dikendalikan oleh dewan revolusi yang dipimpin oleh para jenderal.
 
Di masa ini seluruh aspek sosial seperti bisnis, media dan produksi dinasionalisasi. Myanmar dikuasai dalam bentuk sosialisme cara mereka sendiri, yang mencampurkan gaya Uni Soviet dan sentralisme dalam negeri.
 
Pada 1974, dibuat konstitusi Republik Sosialis Uni Burma. Hingga 1988, negara itu kemudian memperkenalkan sistem satu partai. Para jenderal kemudian mundur dan berkuasa melalui Burma Socialist Programme Party (BSPP).
 
Di masa ini Myanmar dianggap sebagai salah satu negara yang paling miskin. Pemerintah Ne Win saat itu dipenuhi dengan protes melawan militer. Tak kurang, militer pun bertindak keras terhadap apapun bentuk protes yang terjadi dan ini hampir sering terjadi.
 
Protes 7 Juli 1962 di Rangoon University menjadi kekerasan berdarah ketika 15 mahasiswa tewas dalam demo menentang militer. Sedangkan pada 1974 militer secara kasar membubarkan protes antipemerintah di saat pemakaman U Thant, seorang pahlawan yang menjadi Sekretaris Jenderal PBB.
 
Aksi unjuk rasa serupa pada 1975, 1976, dan 1977 juga diatasi dengan kekerasan oleh militer.
 
 

3. Kudeta 1988
 
Meski ‘dipenjara’ oleh kediktatoran militer, protes menentang pemerintah masih terus terjadi. Pada 1988, pedemo yang resah dengan kondisi ekonomi dan tekanan dari pemerintah melakukan aksi protes.
 
Protes di seluruh negari yang dikenal dengan ‘Perlawanan 8888’, berakhir dengan tentara yang menewaskan ribuan pedemo. Jenderal Saw Maung kemudian melakukan kudeta dan membentuk Dewan Restorasi Kepatuhan Hukum (SLORC).
 
Pada 1989 SLORC menerapkan darurat militer mencegah protes yang meluas. Pemerintahan militer kemudian melakukan finalisasi pemilu parlemen pada 31 Mei 1989. SLORC pun mengubah nama resmi negara dari Republik Sosialis Bersatu Burma menjadi Myanmar pada 18 Juni 1989.
 
Mei 1990, pemerintah junta melakukan pemilu untuk pertama kali dalam 30 tahun. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang mengusung Aung San Suu Kyi, menang dalam pemilu.
 
Partai Suu Kyi saat itu memenangkan 392 dari 492 kursi parlemen atau sekitar 80 persen. Namun junta militer menolak untuk memberikan kekuasaan dan melanjutkan pemerintahan sebagai SLORC hingga 1997 dan kemudian berlanjut sebagai Dewan Pembangunan dan Perdamaian Negara (SPDC) hingga pada pembubarannya pada Maret 2011.
 
Mulai 2008, Myanmar memulai proses reformasi dengan pemerintah melakukan referendum konstitusi. Sebagai bagian dari reformasi, nama resmi negara diubah menjadi Republik Kesatuan Myanmar. 
 
Pemilu pun dilakukan pada 2010. Saat itu Partai Union Solidarity and Development yang merupakan kepanjangan tangan militer, mengklaim menang pemilu hingga 80 persen suara. Tetapi kelompok pro-demokrasi menentang hasil pemilu karena curiga banyak kecurangan. 30 Maret 2011 pun junta militer dibubarkan namun kekuasaan mereka masih tetap kental di Myanmar.
 
Pemilu Myanmar kemudian dilakukan lagi pada 8 November 2015. Ini adalah pemilu terbuka pertama yang berlangsung di Myanmar. Hasilnya, NLD menang dengan suara absolut  di parlemen, cukup untuk membawa kandidatnya maju sebagai presiden.
 
Aung San Suu Kyi pun didapuk menjadi pemimpin baru Myanmar, tetapi karena konstitusi Myanmar yang membuatnya dijegal untuk menjabat presiden. Pada 15 Maret 2016 Htin Kyaw dipilih sebagai presiden non-militer Myanmar pertama sejak 1962. Pada 6 April 2016, jabatan baru State Counsellor atau konsuler dibuat untuk Aung San Suu Kyi. Jabatan ini setara dengan perdana menteri.
 
 

4. Kudeta 2021
 
Pada 1 Februari 2021, sejarah seperti terus berulang terkait perebutan kekuasaan di Myanmar. Pemilu diadakan pada 8 November 2021 dan NLD memenangkan pemilu dengan menguasai suara parlemen dengan 258. 
 
Tentunya dengan hasil itu, NLD kembali menjadi pemenang pemilu dan makin melanggengkan peran Aung San Suu Kyi di pemerintahan. Militer yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlain tidak menerima hasil pemilu. Mereka menuduh ada banyak kecurangan dalam pemilu.
 
Pada akhirnya, militer melakukan kudeta pada 1 Februari. Aung San Suu Kyi bersama dengan beberapa petinggi NLD juga turut ditahan.
 
Aung San Suu Kyi yang menjalani sekitar 15 tahun tahanan rumah antara 1989 dan 2010 saat dia memimpin gerakan demokrasi Myanmar, kembali dihadapkan pada penahanan politik. Pada 3 Februari, Suu Kyi dituntut melanggar aturan ekspor-impor karena kepemilikan walkie-talkie tanpa izin dan ditahan hingga 7 Februari mendatang.
 
Baca:  DK PBB Desak Militer Myanmar Bebaskan Aung San Suu Kyi
 
Orang-orang dekat Suu Kyi pun terus diburu oleh militer. Terbaru Win Htein, seorang tokoh terkemuka NLD turut ditahan Jumat 7 Februari 2021 hari ini.
 
Sementara menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP) pada Kamis, sebanyak 147 orang telah ditahan sejak kudeta, termasuk aktivis, anggota parlemen dan pejabat dari pemerintah Aung San Suu Kyi.
 
Jenderal Min kemudian menetapkan status darurat selama satu tahun. Dia membela bahwa  perlu dilakukan karena kecurangan pemilu yang terjadi. 
 
Meskipun dunia internasional sudah menuntut militer untuk membebaskan Suu Kyi dan menerima pemerintahannya, tidak ada tanda-tanda bahwa Min Aung Hlaing akan menyerahkan kekuasaan. Dunia masih menanti apakah Myanmar akan melanjutkan reformasi dan terbang tinggi sebagai demokrasi atau tetap belum mau ‘move on’ dari cengkraman junta militer.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan