Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard jelaskan mengenai Charlie Hebdo. Foto: Medcom.id/Fajar Nugraha
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard jelaskan mengenai Charlie Hebdo. Foto: Medcom.id/Fajar Nugraha

Penjelasan Dubes Prancis Terkait Charlie Hebdo Hingga Boikot

Fajar Nugraha • 09 November 2020 20:21
Jakarta: Suratkabar Charlie Hebdo menjadi biang permasalahan dalam beberapa serangan teror di Prancis. Kartun Nabi Muhammad yang mereka publikasikan kerap kali mengundang pelaku teror yang mengklaim membela Islam melakukan serangan.
 
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard menjelaskan mengenai keberadaan Charlie Hebdo ini di masyarakat Prancis.
 
Baca: Macron Tegaskan Prancis Perangi Ekstremisme Bukan Islam.

“Warga Prancis tahu Charlie Hebdo ini provokatif. Suratkabar ini esensinya muncul untuk menghina dan merendahkan nama besar, presiden, menteri, orang-orang kaya,” ujar Dubes Chambard, saat ditemui di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, Senin 9 November 2020.
 
“Mereka juga muncul untuk merendahkan beberapa pemuka agama, serta warga yang berbicara mengenai moral, nilai-nilai kemanusiaan,” ungkapnya.
 
“Tak peduli Anda menyukainya atau tidak, suratkabar ini eksis. Tidak hanya di Prancis tetapi juga di negara lain,” imbuh Dubes Chambard.
 
Menurut Chambard, dari segi pembaca surat kabar ini kecil sekali. Sempat dibaca sekitar 30 tahun lalu dan tidak ada yang tahu mengenai Charlie Hebdo kecuali pada 2015 ketika terjadi penyerangan atas kantornya.
 
Penjelasan Dubes Prancis Terkait Charlie Hebdo Hingga Boikot
Charlie Hebdo kerap publikasi kartun provokatif. Foto: AFP
 

Chambard menambahkan, ini adalah sebuah surat kabar, selama mereka tidak melanggar hukum semua publikasinya akan tetap muncul. Hukum kebebasan berekspresi di Prancis sangat penting dan itu melindungi ekspresi berpendapat dengan bentuk apapun.
 
“Di balik publikasi yang ofensif, provokatif dan satir, dalam hukum Prancis tidak menganggap sebuah kejahatan mengolok-olok sebuah agama,” tegas Dubes Chambard.
 

 
“Ini adalah jejak langkah sejarah kami. Tidak berarti prancis mengecam agama. Di Prancis bebas untuk orang mempraktikan agama apapun. Tetapi negara dan pemerintahannya tidak religius. Prancis tidak bisa mengutamakan salah satu agama dari agama lain,” sebut Dubes yang pernah juga bertugas di Indonesia sekitar 20 tahun lalu.
 
Chambard memberikan contoh, saat Natal, hiasan selama perayaan Natal seperti pohon Natal dan diorama nativity (kelahiran Yesus) di sebuah balai kota tidak diperbolehkan. Dengan segera hal itu akan diminta untuk dibongkar karena dianggap mewakili Kristen. Ini dikarenakan tidak diperbolehkan simbol agama muncul di sebuah gedung pemerintah.

Agama dalam krisis

Salah satu komentar dari Presiden Emmanuel Macron yang membuat panas umat Muslim usai insiden pembunuhan guru di Prancis, Samuel Paty, adalah Islam disebut sebagai agama dalam krisis.
 
Paty dibunuh usai menggunakan kartun Nabi Muhammad dari Charlie Hebdo sebagai materi pembelajarannya. Hal tersebut yang membuat Macron melontarkan komentar kontroversial.
 
“Komentar Presiden Prancis itu didasarkan karena ada banyak tokoh Islam yang mengatakan ada krisis di dalam Islam. Jadi tidak menyimpulkan sesuatu sendiri,” sebut Dubes Chambard.
 
Baca: Macron Berusaha Redakan Ketegangan Terkait Kartun Nabi Muhammad.
 
“Tetapi dalam pikirannya itu bukan kritikan untuk islam. Ada banyak krisis di banyak agama. Tentu sangat sulit bagi Islam, ada orang yang mengklaim mewakili Islam dan melakukan tindakan terorisme,” menurutnya.
 
“Jadi ini seperti krisis mengalami hal tersebut. Jika itu tidak dianggap krisis, saya tidak tahu lagi harus menyebut apa,” tanya Dubes Chambard.
 
Bagi Dubes Chambard Islam adalah agama yang tidak mendorong terorisme. Meraka yang melakukan teror atas nama Islam, jelas menimbulkan masalah bagi agama itu sendiri.

Boikot produk Prancis

Sementara seruan boikot terhadap produk Prancis muncul di banyak negara Islam, karena komentar Macron. Dubes Chambard mengatakan, seruan itu tentu merusak kepentingan ekonomi.
 
“Alasan boikot sangat sulit diperkirakan. Tetapi Boikot tentunya bisa merusak kepentingan ekonomi Prancis tentunya. Tetapi di sini, juga merusak Indonesia,” tuturnya.
 

“Ada sekitar 50 ribu pekerja yang Indonesia yang bekerja untuk perusahaan Prancis. Anda tambah juga keluarganya dan juga orang bekerja di sekitar perusahaan Prancis itu, termasuk transportasi dan lain sebagainya,” ucap Chambard.
 
Ini adalah jumlah yang sangat besar dari warga Indonesia yang mungkin terpengaruh dengan boikot. Seperti mengarahkan sasaran ke ekonomi Indonesia sendiri, menurut Dubes Chambard.
 
Baca: Tiga Remaja Didakwa dalam Kasus Pemenggalan Guru Prancis.
 
Dubes mengatakan, ada banyak produk yang dibuat dan diproduksi di Indonesia, dijual di Indonesia dan kadang di kawasan yang baik untuk ekspor Indonesia.
 
Boikot juga buruk karena tidak memberikan citra yang baik bagi Indonesia sebagai tempat investasi.
 
“Indonesia sendiri menawarkan kesempatan bagus untuk para investor asing. Salah satu tugas saya adalah membawa perusahaan Prancis datang ke Indonesia untuk melakukan investasi jangka panjang dan menghasilkan triliunan rupiah,” kata Dubes Chambard.
 
“Tapi bukan saja investor Prancis, tetapi juga investor Eropa jika mendengar seruan boikot serupa, tentu saja akan khawatir. Jadi boikot tidak ada artinya. Itu melukai Indonesia dan mengapa orang yang berbicara atas nama Indonesia, akan melukai negaranya sendiri,” pungkas Dubes Chambard.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan