Aung San Suu Kyi saat menyapa warga saat menjalani tahanan rumah pada 2010 silam. Foto: AFP
Aung San Suu Kyi saat menyapa warga saat menjalani tahanan rumah pada 2010 silam. Foto: AFP

Kisah Hidup di Tengah Kediktatoran Militer Myanmar

Fajar Nugraha • 03 Februari 2021 10:54

 
Wai Wai -,yang merupakan seorang Rohingya, salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di negara itu,- mengatakan ayahnya selalu dikejar.
 
Ketika dia berusia 10 tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke ibu kota Yangon (atau Rangoon saat itu).

"Saya melihat sedikit lebih banyak kebebasan di Yangon. Rakhine, mayoritas penduduk adalah Rohingya tetapi di Yangon, lebih multikultural dengan bahasa yang berbeda. Tetapi banyak orang di Yangon tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi dengan etnis minoritas,” ucapnya.
 
Saat itu, kehidupannya tampak cukup normal.
 
"Kami akan pergi ke sekolah lalu pulang. Di sekolah, saya ingat kami harus menyambut jenderal yang berbeda dan memberi penghormatan kepada mereka. Sistem pendidikannya sederhana, propaganda militer,” sebut Wai Wai.
 
Baca: Jenderal Myanmar Perkuat Kekuasaan, NLD Tuntut Aung San Suu Kyi Dibebaskan.
 
Tapi kemudian, ketika dia berusia 18 tahun, ayahnya menjadi sasaran lagi, dan seluruh keluarga dimasukkan ke dalam penjara, di mana mereka tinggal selama tujuh tahun.
 
Kejahatannya? Menjadi putri seorang aktivis politik.
 
Setelah dibebaskan, dia melanjutkan ke universitas dan hari ini bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia, berkampanye terutama untuk persamaan hak bagi perempuan dan Rohingya.

Penyadapan di telepon

Phyo (bukan nama sebenarnya) memiliki pengalaman yang sangat berbeda saat tumbuh dewasa.
 




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan