Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard. Foto: Medcom.id/Fajar Nugraha
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard. Foto: Medcom.id/Fajar Nugraha

Dubes Prancis: Beda Budaya Persulit Pemahaman Pidato Macron Atas Islam

Fajar Nugraha • 09 November 2020 19:07
Jakarta: Selama satu bulan terakhir, Prancis diwarnai dua insiden besar yang membenturkan masyarakat Islam dengan identitas nasionalnya. Presiden Prancis Emmanuel Macron pun tercebur di dalam masalah, terutama terkait komentarnya mengenai Islam setelah dua serangan teror.
 
Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard memberikan penjelasan atas apa yang disebutnya kesalahpahaman. Isu utama terkait dengan ucapan Macron yang menanggapi insiden yang menewaskan Samuel Paty.
 
Baca: Macron Tegaskan Prancis Perangi Ekstremisme Bukan Islam.

Paty adalah guru bahasa yang menggunakan kartun Nabi Muhammad di dalam kelasnya, untuk menjelaskan perbedaan pendapat. Usai itu, Paty dibunuh tidak jauh dari lingkungan sekolah di Paris pada 16 Oktober 2020 oleh imigran asal Chechnya Abdulakh Anzorov yang memenggal kepalanya.
 
Dua hal yang menjadi permasalahan setelah kejadian itu, pertama adalah kemarahan atas penggunaan kartun Nabi Muhammad dan pernyataan Pemerintah Prancis. Kedua, pernyataan Presiden Macron dalam pidatonya yang terkait dengan apa yang disebutnya sebagai separatisme Islam.
 
“Kesalahpahaman muncul di kalangan Islam yang mengira bahwa Prancis menentang Islam karena mendukung kartun. Bukan ini yang terjadi (di Prancis),” ujar Dubes Prancis Olivier Chambard saat ditemui di kantornya di Jakarta, Senin, 9 November 2020.
 
“Presiden Macron mengatakan bahwa, kartun itu bisa dilihat ofensif oleh warga Musllim. Saya bisa katakan, Charlie Hebdo, suratkabar yang menerbitkan kartun ini sudah sering menerbitkan kartun atau karikatur yang provokatif. Tidak hanya Muslim, tetapi juga kepada komunitas Katolik, Yahudi dan mengenai pemerintah. Ini adalah publikasi satir. Suratkabar ini hanya dibaca oleh beberapa ribu orang, mereka kecil dan tak miliki pengaruh,” jelasnya.
 
“Mereka selalu dianggap suratkabar kecil, provokatif dan dibaca oleh sebagian kecil orang (di Prancis),” sebut Dubes Chambard.
 
Dubes Prancis: Beda Budaya Persulit Pemahaman Pidato Macron Atas Islam
Polisi Prancis dengan latar belakang spanduk penghormatan Samuel Paty: AFP
 

Bukan menjadi pertanyaan di sini adalah, pemerintah mendukung kartun tersebut. Ini sederhananya adalah mematuhi hukum di Prancis.
 

 
Menurut Dubes Chambard, kritik atau mengolok agama dianggap bukan sebuah kejahatan di dalam hukum Prancis dan tidak bisa didakwa apapun yang Anda lihat mengenai hal tersebut. Apakah itu mengkritik Paus, Nabi Muhammad, Rabi Yahudi atau apapun yang berkaitan dengan agama.
 
Dakwaan bisa dilakukan saat terjadi kejahatan membunuh manusia bukan mengenai penghinaan atas agama. “Ini di mana kesalahpahaman dimulai,” menurut Chambard.
 
Chambard menyebutkan pemerintahan Macron tidak menyanjung atau memuji kartun yang dikeluarkan oleh Charlie Hebdo. Menurut Dubes yang baru saja bertugas ini, Prancis mengerti kegelisahan dan kekecewaan masyarakat Muslim. Tetapi pihaknya tetap tidak bisa memberikan hukuman.
 
Banyak hal yang dibaca oleh Chambard di media sosial. Terutama yang menyebut bahwa sekularisme Prancis menentang Islam. “Harus dimengerti sekulerisme Prancis atau biasa dikenal ‘laïcité’ sudah berlangsung berabad-abad. Saat dimulai (laïcité) Islam belum masuk di Prancis, sekitar satu abad lalu. Berpikir bahwa Prancis menentang Islam sangatlah tidak benar,” tegas Dubes Chambard.
 
Baca: Tiga Remaja Didakwa dalam Kasus Pemenggalan Guru Prancis.
 
Alasan mengapa sekulerisme dianut oleh Prancis beberapa tahun setelah Revolusi Prancis yang berlangsung pada 1789 dan masuk di awal abad-18 adalah membentuk negara yang tidak memiliki agama yang diakui secara nasional. Untuk itu menurut Dubes Chambard, Prancis melindungi seluruh agama apapun bentuknya.
 
“Itu sebabnya Prancis menerima semua macam agama. Karena di masa lalu, Katolik adalah agama resmi dan di saat itu sangat sulit untuk agama lain berkembang,” tutur Dubes Chambard.
 
“Tentunya, simbol-simbol agama tidak diperbolehkan pada layanan publik (atau pegawai pemerintah). Salah satu kesalahpahaman lain adalah, Prancis menentang Islam karena melarang penggunaan penutup wajah,” ucap Chambard.
 
“Tidak. Kalau Anda lihat di Prancis perempuan yang mengenakan penutup wajah (cadar) banyak sekali. Tetapi sebagai pelayan publik Anda tidak boleh menggunakan, untuk perempuan Muslim menggunakan cadar,  Yahudi dilarang menggunakan kippah dan warga Kristen menggunakan tanda salib yang sangat besar. Ini dikarenakan negara netral tidak cenderung kepada satu agama dibanding agama lainnya,” tegas Dubes Chambard.
 
Dubes Prancis: Beda Budaya Persulit Pemahaman Pidato Macron Atas Islam
Presiden Emmanuel Macron di lokasi serangan teror di Nice. Foto: AFP
 

Setelah insiden pembunuhan Paty di Prancis dan tiga orang lainnya di Nice, Presiden Macron menegaskan akan melawan terorisme serta tindakan keras segera diambil. Chambard menilai, di saat bersamaan, Macron menyebutkan perbedaan jelas antara ekstremis yang berpura-pura mewakili Islam dan mayoritas masyarakat Muslim.
 
Kemudian Dubes Chambard menambahkan adanya interpretasi bahwa Presiden Macron menyamaratakan Muslim dengan para pelaku terorisme. Macron bagi Chambard tidak menyalahkan suatu agama atau penganutnya.
 
Baca: Macron Berusaha Redakan Ketegangan Terkait Kartun Nabi Muhammad.
 
Ketika ada tuduhan Prancis melakukan persekusi terhadap Muslim, bahkan ada berita yang menyebutkan masjid di Prancis dihancurkan, Dubes Chambard mengatakan hanya ada satu masjid di pinggiran Paris ditutup sementara. Penutupan dikarenakan masjid ini menyebarkan ujaran kebencian termasuk para pengurusnya yang mendorong warga melakukan tindak terorisme.
 

“Masjid itu akan dibuka kembali bersama dengan para ulamanya dalam waktu ke depan. Saat ini kami memiliki sekitar 2.500 masjid dan keberadaan masjid yang menjadi mayoritas di Prancis, tidak menjadi masalah bagi kami,” papar Chambard.
 
Ada hal lain yang sangat penting dalam kesalahpahaman Prancis dengan masyarakat Muslim. “Di Prancis, kata ‘Islamis’ memiliki arti ‘ekstremis’. Di sini (Indonesia) Islamis bukan berarti ekstremis. Jadi ini yang membuat komunitas Muslim menilai Macron mengecam Islam secara keseluruhan,” tegasnya.
 
Salah satu ucapan Macron lainnya adalah pihaknya siap untuk melawan para separatis Islam. Separatis di sini menurut Dubes Chambard bukanlah gerakan separatis memisahkan diri dari suatu wilayah negara. Separatis yang dimaksud adalah berupaya melepaskan diri dari tatanan masyarakat yang berlaku di Prancis. Termasuk kehidupan sehari-sehari antar masyarakat di Negeri Fesyen itu.
 
“Ini adalah masalah perbedaan budaya dan perbedaan arti kata yang terjadi antar negara,” imbuh Chambard.
 
“Anda harus melihat dari perspektif Prancis. Mungkin banyak warga Prancis yang tidak sependapat dengan publikasi karikatur (Nabi Muhammad), tetapi mereka tidak bisa terima juga membuat karikatur itu menjadi alasan untuk dibunuh,” tutur Dubes Chambard.
 
Dubes Chambard menegaskan mereka yang melakukan pembunuhan atas nama Islam, tidak mewakili Islam sama sekali. Bagi Chambard, rakyat Prancis mengerti bahwa Islam bukan agama yang mendorong orang melakukan kekerasan semacam ini.
 
Jelasnya, pemerintah Prancis tidak bisa menghukum surat kabar yang mempublikasikan kartun Nabi Muhammad karena kebebasan berpendapat diatur dalam hukum Prancis. Biarpun Presiden Macron ingin memberikan hukuman, hal itu tidak bisa dilakukan karena Prancis sangat menjunjung tinggi penegakan hukum.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan