“Masjid itu akan dibuka kembali bersama dengan para ulamanya dalam waktu ke depan. Saat ini kami memiliki sekitar 2.500 masjid dan keberadaan masjid yang menjadi mayoritas di Prancis, tidak menjadi masalah bagi kami,” papar Chambard.
Ada hal lain yang sangat penting dalam kesalahpahaman Prancis dengan masyarakat Muslim. “Di Prancis, kata ‘Islamis’ memiliki arti ‘ekstremis’. Di sini (Indonesia) Islamis bukan berarti ekstremis. Jadi ini yang membuat komunitas Muslim menilai Macron mengecam Islam secara keseluruhan,” tegasnya.
Salah satu ucapan Macron lainnya adalah pihaknya siap untuk melawan para separatis Islam. Separatis di sini menurut Dubes Chambard bukanlah gerakan separatis memisahkan diri dari suatu wilayah negara. Separatis yang dimaksud adalah berupaya melepaskan diri dari tatanan masyarakat yang berlaku di Prancis. Termasuk kehidupan sehari-sehari antar masyarakat di Negeri Fesyen itu.
“Ini adalah masalah perbedaan budaya dan perbedaan arti kata yang terjadi antar negara,” imbuh Chambard.
“Anda harus melihat dari perspektif Prancis. Mungkin banyak warga Prancis yang tidak sependapat dengan publikasi karikatur (Nabi Muhammad), tetapi mereka tidak bisa terima juga membuat karikatur itu menjadi alasan untuk dibunuh,” tutur Dubes Chambard.
Dubes Chambard menegaskan mereka yang melakukan pembunuhan atas nama Islam, tidak mewakili Islam sama sekali. Bagi Chambard, rakyat Prancis mengerti bahwa Islam bukan agama yang mendorong orang melakukan kekerasan semacam ini.
Jelasnya, pemerintah Prancis tidak bisa menghukum surat kabar yang mempublikasikan kartun Nabi Muhammad karena kebebasan berpendapat diatur dalam hukum Prancis. Biarpun Presiden Macron ingin memberikan hukuman, hal itu tidak bisa dilakukan karena Prancis sangat menjunjung tinggi penegakan hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News