Pada tahun 2017, tingkat kemiskinan Myanmar mencapai sekitar 25 persen. Ditambah dengan kudeta 1 Februari 2021, kondisi di Myanmar semakin tidak menentu.
Tidak hanya dalam sisi ekonomi, Myanmar juga dihadapkan pada masalah kesehatan. Myanmar telah mengalami tiga gelombang pandemi covid-19 sejak kasus pertamanya pada 23 Maret 2020, ketika masih di bawah kekuasaan mantan penasihat negara Aung San Suu Kyi.
Gelombang terbaru datang setelah militer melancarkan kudeta. Pada saat itu, banyak yang kehilangan pekerjaan. Akibatnya pabrik-pabrik terpaksa ditutup di tengah protes yang meluas di bulan-bulan awal kudeta.
Banyak orang yang datang ke Yangon untuk mencari nafkah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka atau berganti pekerjaan. Dengan keterampilan yang terbatas dan pasar kerja yang ketat, mencari pekerjaan baru tidaklah mudah.

Polisi Myanmar bertindak keras hadapi pedemo. Foto: AFP
Seorang warga Yangon, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan: “Beberapa orang menggunakan kendaraan mereka untuk memenuhi kebutuhan dengan membantu mengangkut barang atau orang. Tapi itu sulit karena mereka harus bergulat dengan kenaikan biaya bensin”.
“Tidak jarang banyak keluarga yang terlilit utang. Mereka meminjam uang hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan memberi makan anak-anak dan orang yang mereka cintai,” tutur warga tersebut, seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa 1 Februari 2022
Janji
Seorang kontraktor, yang telah berkecimpung di sektor konstruksi selama 30 tahun, mengatakan bahwa dia adalah salah satu dari sedikit orang yang beruntung yang masih dapat memenuhi kebutuhannya meskipun ada kudeta.“Pada masa jaya saya, saya mempekerjakan hingga 130 pekerja, tetapi sekarang kami turun menjadi 25,” katanya, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Kontraktor sekarang mengambil pekerjaan sambilan di lokasi konstruksi pada hari-hari ketika dia tidak memiliki proyek untuk ditangani. Dia menambahkan bahwa pada hari-hari awal kudeta, dia masih bisa melakukan pekerjaan konstruksi.
“Tetapi ketika tentara mulai menembaki para pengunjuk rasa, pekerjaan kami terhenti,” katanya.
“Para pengunjuk rasa yang melarikan diri dari tembakan sering bersembunyi di jalan-jalan kecil tempat kami bekerja. Dan ketika pasukan keamanan datang memburu pengunjuk rasa, pekerja kami juga harus bersembunyi demi keselamatan mereka,” ujarnya.

Protes warga Myanmar menentang militer. Foto: AFP
“Saat ini, kami menyelesaikan pekerjaan pada jam 5.00 sore. Di beberapa daerah, Anda tidak dapat menemukan orang di jalanan pada jam 7.00 malam atau 8.00 malam. Kami perlu memikirkan keselamatan pekerja kami. Dan sekarang, itu bahkan lebih sulit karena ada pemadaman listrik secara acak,” menurut pihak oposisi.
Penduduk Yangon lainnya mengatakan kepada CNA bahwa banyak kelompok informal dan sukarela telah muncul untuk membantu orang miskin.
“Orang-orang sudah mulai mengumpulkan barang-barang penting untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Terkadang, tidak ada struktur formal – mereka bisa spontan dan berskala kecil,” katanya.
Penduduk tersebut mencatat bahwa bahkan tentara Myanmar dan Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang didukung militer telah berkeliling mendistribusikan jatah makanan kepada masyarakat. “Tapi ini sering untuk pertunjukan,” kata penduduk Yangon itu.
“(Pasukan Myanmar) pergi ke komunitas di mana pendukung mereka berada, dan memberi mereka bantuan. Kadang-kadang, mereka melakukan kampanye publisitas besar dengan fotografer memotret, dan ketika itu berakhir, mereka pergi tanpa memberikan apa pun kepada orang-orang,” sebutnya.
Sementara itu, kelompok-kelompok seperti Asosiasi Singapura di Myanmar telah memulai penggalangan donasi. Asosiasi tersebut memulai penggalangan donasi kotak makan siang di Yangon Oktober lalu untuk membantu orang-orang mengatasi dampak covid-19.
Hingga saat ini, Asosiasi Singapura di Myanmar telah membagikan sekitar 5.500 kotak makan siang kepada orang miskin di Yangon.
Inflasi, protes, aliran listrik mati
Harga pangan juga telah meningkat sejak kudeta militer. Sekarung beras (50kg) yang dulu berharga sekitar USD25 (sekitar Rp360 ribu) sebelum kudeta sekarang menjadi sekitar USD38 (sekitar Rp546 ribu). Harga ikan naik dua kali lipat, sekarang sekitar USD7 (atau sekitar Rp100 ribu) dibandingkan dengan USD3 (sekitar Rp43 ribu) sebelum kudeta.Pemadaman listrik juga sering terjadi di banyak bagian Myanmar, karena pasokan listrik tidak lagi stabil.
Banyak juga yang berhenti membayar tagihan kepada tentara Myanmar – diperkirakan tentara kehilangan pendapatan sekitar USD1 miliar sejak 1 Februari 2021.
Namun terlepas dari kesulitan ini, orang-orang telah menyuarakan bahwa mereka lebih suka bertahan daripada kembali ke “hari-hari gelap” yang terlihat tiga dekade lalu.
"Orang-orang tidak ingin kembali ke situasi hidup di lingkungan dan suasana ketakutan tertentu. Takut pada keluarga, teman, komunitas, dalam hal kebebasan, berekspresi, berserikat," ucap Moe Thuzar, Koordinator Program Studi Myanmar di ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Masyarakat kini mulai beradaptasi dengan “kenormalan baru” di Myanmar. Dalam 12 bulan terakhir, hidup dengan ledakan, tembakan, dan sirene yang berdering hari demi hari telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Pendukung Aung San Suu Kyi turun ke jalan lawan kudeta. Foto: AFP
Seorang warga Myanmar mengatakan kepada CNA bahwa orang-orang juga tidak lagi memposting tentang serangan di media sosial.
"Kelompok perlawanan lokal telah mengimbau orang-orang untuk tidak melakukan itu di Facebook karena rincian tersebut mengungkapkan lokasi dan sifat serangan," katanya.
"Ini mengarah pada penangkapan cepat oleh junta, Jadi orang menahan diri untuk tidak berbicara terlalu banyak secara online ketika ada serangan yang dilakukan terhadap sasaran empuk di daerah perkotaan,” akunya.
Beberapa waktu terakhir, orang menghindari mendekati pos pemeriksaan keamanan, rumah sakit umum, gedung pemerintah dan kantor polisi, karena takut terjebak dalam baku tembak, antara tentara Myanmar dan pasukan perlawanan lokal.
Orang juga umumnya lebih berhati-hati di sekitar orang asing dan kurang percaya.
“Tetapi kekuatan kami juga sebuah ketahanan,” kata seorang pengunjuk rasa Myanmar yang tidak disebutkan namanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News