Kakbah. Foto: Media Center Haji.
Kakbah. Foto: Media Center Haji.

PBNU Sebut Mabit di Muzdalifah dengan Murur Hukumnya Sah

Haji Haji 2024 ibadah haji PBNU
Media Indonesia.com • 01 Juni 2024 04:11
Jakarta: Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama memutuskan bahwa mabit (bermalam) di Muzdalifah yang dilakukan dengan cara murur hukumnya tetap sah. Keputusan ini diambil dalam musyawarah yang berlangung pada Kamis, 28 Mei 2024.
 
Musyawarah dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring. Sementaraitu, hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama, Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
 
Mabit di Muzdalifah dengan cara murur adalah mabit (bermalam) yang dilakukan dengan cara melintas di Muzdalifah, setelah menjalani wukuf di Arafah. Jemaah saat melewati kawasan Muzdalifah tetap berada di atas bus ( tidak turun dari kendaraan), lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah tersebut melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah," demikian dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Jumat, 31 Mei 2024.
 
Dijelaskan juga, jika mabit di Muzdalifah secara murur tersebut belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa ulama.
 
Misalnya, dalam Hasyiyah al-Jamal 'ala Syarh al-Manhaj dijelaskan bahwa berkenaan ungkapan Zakariya al-Anshari tentang wajib mabit sebentar, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mabit hukumnya sunnah. Ar-Rafi'i bahkan mengunggulkan pendapat ini.
Baca juga:715 Calhaj Asal Bali Terbang ke Tanah Suci Melalui Embarkasi Surabaya

Dalam Hasyiyah Ibn Hajar 'ala Syarh al-Idhah, dijelaskan juga tentang dua pendapat asy-Syafi'I tentang Mabit di Muzdalifah, wajib dan sunnah. Bila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu wajib, maka dam-nya wajib. Apabila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu sunnah maka dam-nya sunnah.
 
Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama juga memutuskan bahwa kepadatan jemaah di area Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah, sehingga hajinya sah dan tidak terkena kewajiban membayar dam. Sebab, kondisi jemaah yang berdesakan berpotensi menimbulkan mudharat/masyaqoh dan mengancam keselamatan jiwa jemaah.
 
"Menjaga keselamatan jiwa (hifdu an-nafs) pada saat jemaah haji saling berdesakan termasuk uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah," demikian dikutip dari kesimpulan musyawarah. (MI/Heriyadi)
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(AGA)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif