"Soal produksi beras ini, pertama, pemerintah kita harus mempunyai ketegasan dalam bersikap. Satu pihak bilang impor, satu bilang surplus, itu kan tidak konsisten. Data BPS ini hanya angka, perlu diverifikasi, tidak bisa hanya diklaim saja. Ada satu data yang tidak bisa dibantah, yang bisa diverifikasi, misalnya impor. Impor itu sudah jelas masuk bea cukai, bayar pajak. Kalau kita lihat 10 tahun terakhir dikatakan surplus terus, itu surplusnya dikemanakan? Dibuang ke laut? Enggak, kan. Harusnya diekspor. Ekspornya ada enggak? Enggak ada," kata Yeka Hendra Fatika pada program acara Suara Reboan di Metro TV.
Yeka menilai terdapat masalah dalam produksi beras nasional. Dan untuk mengatasi produksi beras tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), telah melakukan sejumlah upaya. Hanya saja, hasilnya belum optimal.
"Kalau kita lihat produksi beras kita ini bermasalah. Namun demikian Kementan telah berupaya menjaga agar produksi kita tidak terlalu drop dengan berbagai macam program. Hanya saja, hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita yang demand-nya terus meningkat," tutur Yeka.
Baca juga: Dinasti Politik Hanya untuk Menutup Argumen, Rusak Citra Demokrasi |
Masalah berikutnya, masih kata Yeka, terdapat kelompok petani yang sengaja menyimpan gabah dan tidak menjualnya karena tingginya harga gabah. Tindakan itu dilakukan karena petani khawatir jika melepas gabah, mereka tidak akan mampu membeli beras yang harganya jauh lebih mahal.
"Kedua, saya pernah melakukan survei di Desa Bantarjati, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Semua petani di sana tidak ada yang menjual gabah karena menurut hitungan mereka, dengan menyimpan gabah maka sama dengan membeli beras yang jauh lebih murah ketimbang dia jual dan nanti beli beras dengan harga lebih mahal Rp14 ribu, Rp15 ribu per kg. Mereka ini rata-rata petani dengan luas penguasaan lahan sangat kecil, antara 1.000-2.000 meter persegi. Saya punya keyakinan kuat, kelompok mereka ini menahan gabah di tengah harga gabah yang tengah mahal ini. Karena pasti kalau harga gabah mahal, beras pun lebih mahal," ucapnya.
Kemudian faktor ketiga, akibat minimnya ketersediaan gabah membuat penggilingan padi bekerja dengan kapasitas jauh di bawah kapasitas produksi yang seharusnya.
Baca juga: Polusi Udara Penyebab Kematian Tertinggi ke-5 di Indonesia |
"Ketiga, di Indonesia ada sekitar 168 ribu penggilingan padi. Berdasarkan keterangan Perpadi (Persatuan Perusahaan Penggilingan Padi), kapasitas produksi terpasang mereka itu sekarang kalau dijumlahkan sebesar 100 juta ton per tahun. Tapi produksi gabah kita hanya 54-60 juta ton per tahun. Artinya, penggilingan padi kita baik yang kecil maupun yang besar di luar kapasitas yang sesungguhnya. Apa yang terjadi? Berebut gabah," tuturnya.
Kondisi tersebut makin rumit karena saat ini tak mudah mendatangkan impor beras akibat terbatasnya suplai beras di sejumlah negara.
"Kondisi ini ditambah dengan mendatangkan impor bukan hal yang mudah, saat ini. Sebetulnya, Pakistan menawarkan harga 10 ribuan. India juga dengan pendekatan G2G (Government to Government) mau melepas barang. Tinggal bagaimana Bulog memiliki strategi di tengah tipisnya suplai beras dunia bisa mendatangkan beras ke Indonesia," kata Yeka.
Anda dapat berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik melalui website https://reboan.id/
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News