Jakarta: Kebutuhan masyarakat memiliki rumah atau tempat tinggal pribadi saat ini cukup sulit. Faktor harga rumah dan jumlah penghasilan yang tak sebanding menjadi salah satu penyebabnya.
Menurut data Susenas Badan Pusat Statistik, sebanyak 12,81 juta keluarga di perkotaan belum memiliki rumah pribadi pada 2021. Mirisnya, jumlah keluarga paling banyak belum memiliki rumah merupakan generasi milenial dan generasi X.
Kondisi masyarakat yang begitu sulit mendapatkan rumah pribadi menjadi perhatian besar bagi salah satu pengusaha sekaligus Co-Captain Timnas AMIN Thomas Lembong. Ia menilai permasalahan perumahan yang terjadi di tengah masyarakat tersebut karena kurangnya perhatian pemerintah.
"Selama ini fokusnya adalah infrastruktur, infrastruktur, dan infrastruktur. Tapi, tidak ada fokus yang mencukupi ke soal perumahan masyarakat. Kalau data yang ditampilkan, itu menunjukkan backlog atau antrian orang-orang yang menunggu untuk bisa punya rumah, bisa bangun rumah dengan kredit sebanyak 12,5 juta kepala keluarga," ujar Thomas pada tayangan program Suara Reboan di Metro TV, 29 November 2023.
"Katakan satu keluarga ada empat orang, berarti yang terdampak itu 50 juta orang. Kalau misalnya satu kepala keluarga 5 orang, yang terdampak itu 60 juta orang. Jadi ini masalah besar," lanjutnya.
Thomas pun menilai pemerintah juga belum maksimal dalam menjalankan program membangun 1 juta hunian per tahun. Ini pun menjadi salah satu bukti pemerintah belum serius dalam menyelesaikan permasalahan perumahan di tengah masyarakat.
"Saya punya data sedikit. Jumlah atau total nilai KPR dan KPA, kredit untuk apartemen di Indonesia itu sekarang Rp674 triliun. Tapi sekarang coba kita lihat pertumbuhannya. Dari 617 menjadi 674, dia bertumbuh Rp60 triliun. Katakan rata-rata satu hunian Rp200 juta. Berarti kan Rp60 triliun dibagi 200 juta itu cuman 300.000 unit," tutur Thomas.
Menurut Thomas, ada dimensi besar yang membuat program pemerintah mandek dalam memenuhi target satu juta hunian per tahun ini, yakni perbankan. Ia menilai perbankan tidak mendapat dukungan besar berupa insentif dari pemerintah, terutama dalam hal KPR.
"Pada dasarnya perbankan kita tidak diberi insentif untuk giat memberikan KPR. Jadi KPR bukan sebuah produk yang dibikin oleh pemerintah menjadi menarik buat perbankan. Profitnya tidak begitu bagus. Mereka dinilai berisiko tinggi sehingga perbankan itu malas untuk mengkucurkan KPR," kata Thomas.
Thomas menilai pemerintah memiliki peran penting untuk memenuhi permasalahan kepemilikan rumah pribadi untuk masyarakat. Salah satu upaya efektif yang bisa dilakukan adalah dari kebijakan KPR.
"KPR biasanya harus dilunasi dalam 12 tahun atau 15 tahun. Untuk yang rumah bersubsidi bisa sampai 20 tahun. Di banyak negara lain bisa dilunasi dalam kurang waktu 30 tahun. Jadi bayangin kalau misalnya nyicilnya 30 tahun, bukan 12 tahun, cicilan bulanannya akan berkurang banyak. Jadi yang kita incar itu kan sebenarnya keterjangkauan. Jadi kalau nilai rumah naik, tapi cicilannya turun kan enggak masalah. Orang bisa menjangkau," kata Thomas.
Thomas juga menilai ada satu perubahan paradigma yang juga harus dilakukan. Di mana perbankan bisa mengatasi risiko terutama saat menghadapi masyarakat mengalami kredit macet karena beberapa faktor.
"Itu satu perubahan paradigma yang diperlukan. Contoh di mana bank kita didik untuk menganggap itu risiko. Nah sebenarnya sih itu bisa diselesaikan dengan semacam asuransi. Jadi kalau misalnya dia kehilangan pekerjaan atau dia mengalami musibah yang kemudian membebankan anggaran keluarga, itu ada asuransinya," ungkapnya.
Kedua, perbankan dan sektor keuangan harus bisa mampu untuk menerapkan refinance. "Jadi mentukar guling. Katakan ada KPR 20 tahun, sudah berjalan 12 tahun, tinggal 8 tahun. Ambil KPR baru, yang 20 tahun lunasin yang lama dapat waktu tambahan kan. Jadi itu istilahnya refinancing," tuturnya.
Senada dengan Thomas, Sosiolog Perkotaan NTU Singapura Sulfikar Amir menilai peran pemerintah menjadi sangat penting untuk bisa menyelesaikan permasalahan kepemilikan rumah pribadi untuk masyarakat.
"Masih ingat filmnya Harry Potter? Harry Potter tinggal di rumahnya siapa? Rumah pamannya. Rumah pamannya itu adalah contoh rumah publik. Public housing yang disubsidi oleh negara. Itu adalah model public housing pertama di dunia. Ini yang kemudian dicontek di negara-negara lain, termasuk di Asia," jelas Sulfikar.
"Dan intervensi negara ke dalam sektor perumahan memberi efek yang sangat penting supaya suplai terus memandai ketika kebutuhan dari masyarakat itu naik. Finansial adalah salah satu instrumen penting untuk menjaga supaya suplai benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat," tuturnya.
Sulfikar mencontohkan kebijakan soal perumahan yang diterapkan Singapura. Di mana pemerintah Singapura melakukan pembangunan rumah publik seperti rumah tingkat seperti apartemen.
"Sekarang kalau kita lihat Singapura itu adalah salah satu negara dengan tingkat kepemilikan rumah paling tinggi di dunia, 93 persen. 93 persen orang di Singapura punya rumah. Dan 95% dari orang yang punya rumah ini tinggal di rumah tingkat, rumah susun. Mereka sebut sebagai HDB, House and Development Board," papar Sulfikar.
Sulfikar menjelaskan ada empat dimensi fasilitas perumahan publik yang diterapkan Singapura. Pertama, aspek institusi atau aspek kelembagaan.
"Kita tahu di Singapura itu ada satu lembaga pemerintah yang sangat powerful mengelola perumahan di Singapura namanya housing and development board, HDB. Agensi ini dibangun oleh Lee Kuan Yew," terangnya.
Kedua adalah aspek finansial. Di mana terdapat peran HDB dalam memenuhi aspek ini. Caranya, mereka menyediakan fasilitas kredit baik 20 sampai 30 tahun. Kemudian mereka membangun gedungnya dengan teknologi tertentu. Sangat standar.
Terakhir, aspek komunitas. Dalam aspek ini, pemerintah membangun juga komunitasnya. "Jadi orang tinggal di sana itu merasa bagian dari sebuah masyarakat, bagian dari neighborhood yang ada di situ," katanya.
Anda juga dapat berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik melalui website
https://reboan.id/Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ROS))