Dewan Pembina FPTHSI Didi Suprijadi (kiri), Pengurus Pusat FGSNI Tedi Malik (tengah), dan Pengamat Pendidikan dan Juru Bicara AMIN Indra Charismiadji bahas kesejahteraan guru. (Tangkapan Layar Metro TV)
Dewan Pembina FPTHSI Didi Suprijadi (kiri), Pengurus Pusat FGSNI Tedi Malik (tengah), dan Pengamat Pendidikan dan Juru Bicara AMIN Indra Charismiadji bahas kesejahteraan guru. (Tangkapan Layar Metro TV)

Menyoal Kesejahteraan Guru, Pengamat: Harus Ada Konsep Mencerdaskan Bangsa

Patrick Pinaria • 01 Desember 2023 12:47
Jakarta: Kesejahteraan guru di Tanah Air masih menjadi persoalan yang serius. Berbagai permasalahan utama seperti honor yang sangat minim hingga ketimpangan dan ketidakpastian status, masih dirasakan guru hingga saat ini.
 
Fenomena permasalahan kesejahteraan guru itu diakui Dewan Pembina FPTHSI Didi Suprijadi. Ia menilai pemerintah belum menunjukkan keseriusan penuh dalam permasalahan tersebut.
 
"Masalahnya sudah tujuh kali ganti presiden, persoalan guru masih tetap belum selesai sampai hari ini. Tadi dibicarakan masalahnya guru tentang pendapatannya," ujar Didi dalam tayangan program Suara Reboan di Metro TV, 22 November 2023.

"Jangan dulu bicara pendapatan. Status dulu saja yang membikin repot guru ini. Statusnya sebagai apa? Guru tetap kah? Guru ASN kah? Guru PNS kah? Guru honorer kah? Guru yayasan kah?" lanjutnya.
 
Menurut Didi, soal status dan pendapatan menjadi masalah utama sekaligus tugas berat yang masih harus dibenahi pemerintah. Bahkan, jika bicara soal pendapatan, Didi menilai masterdapat ketimpangan yang sangat jauh.
 
"Di DKI bisa digaji Rp5 juta guru honorer karena pemerintahnya kuat, tapi kalau di luar DKI mohon maaf, Rp300 ribu-Rp500 ribu sudah biasa. Makanya, kawan kita ini sudah meninggalkan guru honorer. Sudah enggak tahan. Dengan gaji Rp150 ribu per bulan dapat apa? Nah, status ini yang menjadi persoalan sampai saat ini. Ada P3K menjadi masalah. Ada ASN yang lainnya ada masalah. Satu juta guru kata pemerintah kan. Hebat banget. Tapi sampai sekarang sudah hampir habis pemerintahnya. Toh belum juga selesai. Jadi niat enggak sih sebetulnya?" kata Didi. 
 
 
Baca: Bukan Kesamaan Identitas, Ini Faktor yang Harus Dipertimbangkan sebelum Memilih Capres

 
Mengenai status guru, pemerintah sejatinya sudah mengatur melalui Undang-Undang ASN. Namun, Didi menilai upaya pemerintah tersebut belum berjalan maksimal.
 
“Yang paling sedih, ada guru honorer yang sudah dinyatakan lulus P3K untuk ASN, ada sekitar 3 ribu sampai 4 ribu, sampai sekarang terkatung-katung. Malah menunggu tanggal 15 Desember besok baru dinyatakan ada penempatan ada SK-nya. Ini kan, masalah," papar Didi.
 
Permasalahan kesejahteraan guru juga mendapat perhatian dari Pengurus Pusat FGSNI Tedi Malik. Ia mengungkapkan permasalahan lain dalam kesejahteraan guru ialah terkait proses inpassing atau proses penyetaraan jabatan, pangkat, dan golongan guru yang bukan Pegawai Negeri Sipil menjadi setara dengan guru PNS.
 
"Untuk inpassing, kita menunggu lama. Terakhir tahun 2011, dan tahun ini 2023, baru ada lagi inpassing. Alhamdulillah, tahun ini ada inpassing, tapi belum semua," ujar Tedi.
 
Tedi mengaku untuk mendapatkan inpassing, khususnya pada 2023, tidak lah mudah. FGSNI harus berkeliling terlebih dulu ke fraksi di komisi 8, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Bappenas, KSP, hingga Kementerian Keuangan.
 
Selain itu, masalah lain dari mendapatkan inpassing adalah soal usia. Di mana tertulis Permendikbud Nomor 28 Tahun 2014 dan Nomor 12 Tahun 2016 yang mengatur pembatasan usia 55 tahun. Tedi mengungkapkan guru-guru kecewa mendengar peraturan tersebut.
 
"Karena mereka yang mengajarnya lama, sudah 30 tahun lebih bahkan, mereka menangis karena tidak terakomodir. Sementara yang lulus baru, NRG-nya baru keluar 2023 di bulan Agustus itu terakomodir inpassing-nya," tutur Tedi.
 
 
Baca: Soal Potensi Kecurangan Pemilu, Ini Kata Pengamat dan Bawaslu
 

Tak ada konsep mencerdaskan kehidupan bangsa


Pengamat Pendidikan dan Juru Bicara AMIN Indra Charismiadji turut angkat bicara mengenai kesejahteraan guru di Tanah Air ini. Kata dia, permasalahan kesejahteraan guru bisa terjadi karena tidak adanya konsep yang dibangun terkait mencerdaskan kehidupan bangsa.
 
"Sebelum kita bicara problemnya, kita harus bicara tentang big picture-nya, big ideas-nya, ide besarnya tuh apa? Ide besarnya itu harus bicara tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi kita jangan langsung masuk masalah guru kok enggak sejahtera, guru kok statusnya enggak jelas, tapi koridornya harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita mulai dari situ dulu," kata Indra.
 
Indra juga menilai pemerintah tidak serius mengelola guru. Menurutnya, Indonesia bisa mencontoh negara-negara maju di Asia yang melakukan tata kelola guru dengan baik seperti Jepang dan Singapura.
 
"Guru di Indonesia itu enggak pernah dikelola secara serius. Di negara lain, kita ambil contoh saja Jepang. Pada saat Hiroshima dan Nagasaki dibom, luluh lantah tuh negaranya. Kaisar Hirohito yang dicari adalah guru dan dosen dulu. Sekarang mereka menjadi negara yang kaya, negara yang kuat, negara yang sejahtera," jelasnya.
 
Indra menambahkan, tata kelola guru bisa dimulai dari memperbaiki rasio guru. "Jadi problem besar dan ini saya juga kaget waktu pertama kali diajak rapat dengan Bank Dunia yang mengatakan, jadi judul paparan Bank Dunia itu, guru Indonesia enggak mungkin sejahtera. Karena jumlah guru kita kebanyakan," kata Indra.
 
Indra berharap pemerintah ke depannya bisa melakukan pendistribusian guru di seluruh wilayah Indonesia yang merata. Agar terwujud, pemerintah juga harus menanamkan konsep mencerdaskan bangsa.
 
"Saat ini tidak ada konsep untuk mencerdaskan semua anak Indonesia. Kan, harusnya punya konsepnya itu dulu. Jadi, enggak ada diskriminasi,” katanya.
 
Anda juga dapat berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik melalui website https://reboan.id/
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)




BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan