Ilustrasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Foto: dok MI.
Ilustrasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Foto: dok MI.

Ekonomi Indonesia Berjuang Jadi Terdepan di Asia Tenggara

Arif Wicaksono • 17 Oktober 2021 19:15
PERFORMA ekonomi Indonesia pada dua tahun kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf mengalami tantangan dari pandemi covid-19. Bahkan, ekonomi Indonesia masih di bawah capaian sebelum pandemi covid-19, atau pada 2019. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia secara gabungan pada 2020 dan 2021 diperkirakan masih di bawah capaian pada 2019, yang sebesar 5,02 persen. Ekonomi indonesia pun masih berusaha menjadi yang terbaik di kawasan Asia Tenggara.
 
Pada 2020, ekonomi Indonesia sebesar minus 2,9 persen akibat dari pandemi covid-19. Indonesia menduduki peringkat kedua, setelah Vietnam di urutan pertama, dari pertumbuhan lima negara besar di Asia Tenggara. Negara Malaysia minus 5,6 persen, Thailand minus 6,1 persen, Singapura minus 5,8 persen, Filipina minus 4,07 persen pada 2020. Hanya Vietnam yang pertumbuhan ekonominya positif.
 
Namun, pada 2021, ekonomi Indonesia bisa lebih baik ketimbang capaian di 2020. Pada semester I-2021, ekonomi Indonesia sudah tumbuh 3,1 persen. Sementara itu negara Asia Tenggara lainnya juga menunjukkan perbaikan. Ekonomi Thailand naik 1,2 persen, Vietnam naik 5,6 persen, serta ekonomi Singapura naik 7,7 persen di semester I-2021.

IMF memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 3,2 persen di 2021. Kalau dibandingkan dengan negara kawasan Asia Tenggara, ekonomi Indonesia lebih baik dari Thailand yang diperkirakan akan tumbuh 1,3 persen di 2021. Namun Ekonomi Indonesia relatif tak jauh berbeda dengan negara lain seperti Vietnam (3,8 persen), Filipina (3,2 persen) dan Malaysia (3,5 persen). Dengan memakai asumsi IMF, maka ekonomi Indonesia hanya tumbuh di bawah satu persen selama dua tahun terakhir secara rata-rata 2020 dan 2021.
 
Kenaikan ekonomi Indonesia tak lepas dari penurunan pandemi covid-19 yang mulai dirasakan pada kuartal II-2021. Berangsur, jumlah pasien pandemi turun setelah beragam cara dilakukan, yakni vaksinasi secara masif. Hanya saja faktor pendorong pemulihan ekonomi masih berasal dari ekspor dan investasi di tengah masih lemahnya daya beli dalam negeri.
 
 

Masih ditopang komoditas

Pendorong ekspor ekonomi Indonesia datang dari kenaikan harga komoditas akibat supercycle yang muncul akibat krisis energi di eropa dan Tiongkok. Krisis energi itu memicu kenaikan harga komoditas seperti batu bara, gas, minyak dan kelapa sawit (CPO).
 
Harga CPO sudah naik 7.248 persen dalam setahun, dengan posisi berada di 5.259 Ringgit Malaysia per ton. Kemudian harga gas sudah naik 113 persen dalam setahun. Kemudian ada batu bara (acuan newcastle) yang naik sebesar 339 persen dalam setahun mengikuti kenaikan harga minyak (acuan WTI) yang naik 99,39 persen dalam setahun.
 
Beruntungnya Indonesia adalah salah satu produsen batu bara terbesar di dunia. Indonesia menduduki peringkat keempat produsen batu bara di dunia dengan kontribusi batu bara sebesar 6.161 juta ton (data 2019, IEA). Jelas batu bara menjadi salah satu andalan ekspor indonesia mendulang devisa.
 
Indonesia juga merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Berdasarkan data Forbes yang mengolah data dari United States Department of Agriculture pada 2019, 58 persen kebutuhan CPO dunia dihasilkan dari Indonesia. Urutan kedua adalah Malaysia. Total produksi masing-masing sebesar 42,50 juta ton, dan 19 juta ton.  
 
BPS mencatat peningkatan ekspor kelapa sawit pun akan berlanjut pada tahun ini. Pada semester I-2021 ekspor sawit mencapai USD14,08 miliar atau tumbuh sebesar 57,6 persen secara tahunan (yoy).
 
Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kemenko Perekonomian Ferry Irawaan mengatakan ekspor Indonesia ke negara tujuan masih berbasis komoditas dengan porsi di atas 50 persen dari total ekspor. Sisanya baru diikuti produk yang memiliki nilai tambah (value added) dari industri manufaktur.
 
 

Ketika commodity base menjadi pendorong ekspor, lalu di mana pergerakan sektor manufaktur?

Pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 6,91 persen di kuartal II-2021. Pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi 7,07 persen, meskipun sektor manufaktur berkontribusi 20 persen ke PDB.
 
Industri manufaktur tertekan karena kebijakan PPKM yang menekan kinerja pabrik pada kuartal II-2021. Hal itu tercermin dari Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia (PMI-BI) sebesar 48,75 persen pada semester I-2021. Angka tersebut lebih rendah dari kuartal sebelumnya tahun yang sama sebesar 51,45 persen. PMI mulai membaik pada September 2021 dengan mencapai 52,2.
 
Industri manufaktur Indonesia terbantu karena kebijakan harga gas industri sebesar USD6 per MMBTU disaat krisis seperti ini. Apalagi Indonesia sebagai produsen gas terbesar di Asia Tenggara, pada 2020 produksi gas Indonesia sebesar 63,2 billion cubic meters, tak kesulitan memasok kebutuhan industri di saat harga gas naik. Hal ini membuat kebutuhan gas untuk industri Indonesia relatif terpenuhi di tengah krisis gas yang terjadi di negara tetangga.
 
Kejadian ini bisa memberikan peluang bagi daya saing indonesia karena disaat negara lain alami kenaikan cost of production karena kenaikan harga batu bara, dan gas, perusahaan Indonesia masih terbantu karena kebijakan subsidi gas dan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk pembangkit listrik dalam negeri.
 
Namun yang menjadi persoalan adalah kenaikan harga minyak. Indonesia sebagai net importir minyak bisa menaikan BBM di tengah situasi pandemi covid-19. Kenaikan BBM di tengah daya beli yang lemah menjadi persoalan tersendiri, karena bisa menakan daya beli masyarakat yang belum pulih dari pandemi covid-19.
 
 

Investasi dorong serapan tenaga kerja

Kemudian yang mendorong ekonomi Indonesia selama dua tahun terakhir adalah masuknya investasi.
 
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat penyerapan tenaga kerja pada 2020 mencapai 1.156.361 tenaga kerja. Hal ini menunjukkan peningkatan sebesar 11,85 persen dari pencapaian tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 1.033.835 tenaga kerja. Peningkatan tersebut berasal dari total investasi sebesar Rp826,3 triliun pada 2020.
 
Tren penyerapan tenaga kerja dari investasi meningkat sebesar 18,5 persen pada kuartal II-2021. Tercatat penyerapan 311.922 orang tenaga kerja pada kuartal II-2021 dari 263.109 orang tenaga kerja pada kuartal II-2020. Faktor pendorong penyerapan tenaga kerja berasal dari kemudahan berinvestasi dengan segudang insentif serta pemberian UU Cipta Kerja yang sudah diluncurkan pada awal 2020.
 
Untuk mencapai pertumbuhan 5,4-6 persen di 2022, maka target investasi tahun depan naik 22-33 persen dari 2021. Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendapatkan mandat dari Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi sebesar Rp1.100 triliun-Rp1.200 triliun pada 2022. Bahkan Presiden menaikan target investasi di 2021 menjadi Rp900 triliun dari target RPJMN sebesar Rp858,5 triliun.
 
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bisa menjadi pemicu masuknya investasi yang menyerap banyak tenaga kerja. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mencatat realisasi investasi 14 KEK, dari total I8 KEK, mencapai Rp52,23 triliun pada triwulan I-2021, serta telah menciptakan 22.968 tenaga kerja.
 
 

Mendorong daya beli

Dengan perbaikan ekspor karena kenaikan komoditas dan investasi maka yang menjadi perhatian adalah bagaimana mendorong daya beli masyarakat. Banyak industri padat karya yang gulung tikar saat pandemi covid-19 seperti yang dialami industri ritel.
 
Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Roy Mande mengatakan industri ritel membutuhkan stimulus untuk menopang roda ekonomi. Dia berharap pasar swalayan (ritel) dimasukkan ke dalam sektor prioritas saat pandemi covid-19.
 
Dengan masuk sektor prioritas maka diharapkan ada kemudahan kredit yang didapatkan pelaku usaha ritel sehingga bisa melakukan ekspansi usaha. Hal ini penting karena banyak pelaku usaha yang merumahkan karyawannya karena terdampak pandemi covid-19.
 
"Yang kini masih menjadi kendala di antaranya untuk pengembangan ritel modern atau pasar swalayan ada peraturan yang mengatur harus dengan waralaba," ungkap Roy.
 
Banyak ritel yang tak bertahan dari pandemi dan melakukan PHK dari berbagai sektor seperti tekstil, supermaket, departement store, hingga bioskop, sehingga kemudahan ekspansi usaha diharapkan bisa menyerap pengangguran. Pulihnya serapan lapangan kerja di sektor ritel yang sifatnya padat karya bisa menjadi kunci indonesia mengejar potensi yang hilang saat pandemi covid-19. Apalagi kontribusi konsumsi rumah tangga menghuni 50 persen dari GDP indonesia.
 
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan kinerja ekonomi pada 2022 yang ditargetkan sebesar 5,2 persen akan ditopang oleh pulihnya konsumsi masyarakat, investasi, dan perdagangan internasional. Tingkat kepercayaan masyarakat yang meningkat akan mendorong kinerja konsumsi dan membaiknya sisi produksi yang menggerakkan perekonomian.
 
Meskipun daya beli berusaha dijaga, usaha pemerintah menggali ruang pendapatan pajak tetap dilakukan dengan menaikan cukai rokok dan  menetapkan tarif PPh Badan tetap sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022. Padahal pemerintah sebelumnya berencana menetapkan tarif PPh Badan sebesar 20 persen.
 
Tarif PPh tak jauh berbeda bila dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN sebesar 22,17 persen, negara-negara OECD 22,81 persen, negara-negara Amerika 27,16 persen, dan negara-negara G20 sebesar 24,17 persen. Proses memulihkan daya beli masyarakat pun menjadi tugas penting untuk menaikan pertumbuhan ekonomi untuk meloncat lebih tinggi lagi pascapandemi covid-19.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan