Saat pandemi ini pula kesadaran masyarakat untuk memiliki proteksi meningkat, terutama mencari produk asuransi yang bisa melindungi diri dari covid-19. Kesadaran yang naik itu yang akhirnya membuat industri asuransi mulai menggeliat sekarang meski sempat terhantam cukup keras oleh pandemi covid-19.
Mengutip riset Lifepal, yang membandingkan laporan statistik asuransi OJK menunjukkan bahwa pemulihan pendapatan premi bruto asuransi jiwa pada Juni 2020 telah melebihi nilai pendapatan di Juni 2019. Pemulihan penjualan terlihat setelah tertekan pada beberapa bulan sebelumnya karena tekanan pandemi.
Bahkan, walau telah mengalami penurunan cukup drastis di awal 2020, pendapatan premi asuransi jiwa di Juni 2020 menjadi yang tertinggi ketimbang Januari hingga Juni baik pada 2019 maupun 2020. Adapun kinerja di Juni 2020 mengalami pertumbuhan sebesar 23,7 persen dibandingkan dengan pendapatan di Juni 2019.

Sumber: Lifepal
Laporan ini disambut positif oleh Director & Chief of Partnership Distribution Officer Allianz Life Indonesia Bianto Surodjo. Pihaknya meyakini, dengan produk yang tepat, perusahaan asuransi tetap dapat menjangkau masyarakat dalam kondisi apapun, termasuk masa pandemi seperti saat ini.
"Peningkatan pertumbuhan premi asuransi merupakan kabar yang sangat menggembirakan, terutama di tengah-tengah tekanan kondisi ekonomi yang memburuk akibat pandemi covid-19. Kami sangat percaya bahwa produk asuransi adalah produk yang selalu dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dalam kondisi apapun," ujar Bianto.
Presiden Direktur Mandiri AXA General Insurance (MAGI) Enny mengakui bahwa pandemi ini jadi tantangan bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri asuransi umum, termasuk perusahaan yang ia pimpin. Ia tidak menampik pertumbuhan asuransi umum di tengah covid-19 menjadi tantangan tersendiri.
"Termasuk juga kepada PT Mandiri AXA General Insurance (MAGI). Namun demikian, dengan dukungan kedua pemegang saham kami yaitu AXA dan Bank Mandiri, kami tetap optimistis bahwa MAGI akan bisa mencapai angka pertumbuhan positif hingga akhir 2020," kata Enny.
Mendukung Pembiayaan Kesehatan Berkelanjutan
Sementara itu, pemerintah sudah mengeluarkan jurus pamungkas terkait perlindungan kesehatan bagi masyarakat Indonesia yakni Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pun skema pembiayaan kesehatan berkelanjutan terus didukung agar seluruh lapisan masyarakat terlindungi dari berbagai macam penyakit dan menahan dampak dari risiko yang timbul.
Cakupan peserta JKN pada Juni 2020 telah mencapai 221 juta jiwa atau sekitar 82 persen penduduk dan lebih dari 27 ribu fasilitas kesehatan baik primer maupun rujukan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini menunjukkan kontribusi JKN dalam membuka akses layanan kesehatan yang lebih luas kepada seluruh penduduk Indonesia.
Namun, pelaksanaan JKN saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti keterbatasan sumber dana, infrastruktur, sumber daya manusia, dan beban ganda penyakit yang perlu segera diselesaikan. Krisis kesehatan akibat pandemi covid-19 juga menambah tantangan pembiayaan JKN yang ada saat ini.
Upaya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktor non-pemerintah dan akademi dalam pelaksanaan JKN.
Berangkat dari hal itu yang juga membuat Indonesia menyepakati Shared Understanding Document (SUD) saat pertemuan para Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan di forum KTT G20 Osaka, Jepang, pada 2019 silam.
Dokumen SUD berisikan komitmen para menteri untuk saling bekerja sama mendukung pembiayaan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan, termasuk pencapaian Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC).
Para menteri kesehatan dan menteri keuangan juga ingin pertemuan yang dilakukan di sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 menjadi momen kolaborasi sektor keuangan dan kesehatan. Hal ini dinilai dapat membuat negara-negara yang menyetujui bisa mengatasi tantangan bersama dalam pencapaian UHC dan SDGs Bidang Kesehatan pada 2030.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sejatinya sudah mengusahakan JKN untuk mencapai UHC. Saat ini, kata dia, telah mencakup 220 juta peserta atau 83,5 persen dari total penduduk dengan dukungan lebih dari 25 ribu penyedia layanan kesehatan. Meski keberhasilan itu luar biasa namun tantangannya masih ada.
Karenanya Pemerintah Indonesia, lanjutnya, akan terus memperkuat tata kelola dan akuntabilitas penganggaran kesehatan; diversifikasi sumber keuangan JKN antara lain dari cukai rokok; pemberian insentif kepada intervensi kesehatan yang paling efektif, termasuk program gerakan masyarakat hidup sehat dan pengurangan risiko penyakit.
"Serta mengembangkan strategi investasi jangka panjang untuk akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil dan tertinggal," kata Sri Mulyani.
Adapun kesehatan adalah hal yang penting dalam kualitas dan produktivitas Sumber Daya Manusia (SDM). Namun sayangnya, Indonesia saat ini memiliki skor Human Capital Index sebesar 0,53 yang berarti bahwa produktivitas generasi mendatang hanya akan mencapai setengah dari potensinya.
Sementara itu, pembiayaan yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk kategori lansia dan pergeseran epidemiologi menuju penyakit degeneratif dan kronis. Terlebih lagi dampak perubahan iklim dan peningkatan mobilisasi populasi global mengancam risiko kesehatan global dan potensi pandemik yang dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Hal ini merupakan kesulitan yang dialami pemerintah. Untuk itu, pemerintah tetap berkomitmen untuk meningkatkan peningkatan investasi dibidang kesehatan dan anggaran minimum lima persen dari APBN. Selain itu, pemerintah terus meningkatkan program pembangunan Indonesia sehat dengan tiga pilar untuk menangkal kesulitan itu.
Ketiga pilar itu merupakan pembangunan paradigma sehat melalui antara lain Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, penguatan sistem pelayanan kesehatan, dan pencapaian UHC melalui program JKN.
Dokumen SUD sebelumnya dibahas pada Pertemuan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Fukuoka pada 8-9 Juni 2019 dan dipresentasikan pada Joint Session Health and Finance Ministers G20 untuk mendapatkan dukungan penuh para Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan negara anggota G20.
SUD berisikan komitmen untuk melakukan berbagai upaya mendukung pembiayaan kesehatan menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Misalnya, prioritas sumber daya nasional secara adil dan setara serta penyediaan sumber daya luar negeri untuk melengkapi; dan pembangunan sistem kesehatan yang setara dan efektif.
Kemudian peningkatan kesiapan dan tanggapan menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat; pembangunan kapasitas; kontribusi sektor swasta, dan peningkatan peran dan kerja sama Menteri Keuangan dengan Menteri Kesehatan untuk mempercepat pencapaian UHC.
Instrumen Pembangunan Ekonomi
JKN merupakan sebuah instrumen kebijakan yang tidak hanya membantu masyarakat mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya, tetapi juga menjadi instrumen pembangunan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Bisa diartikan tingkat kesehatan memiliki kaitan terhadap pembangunan ekonomi dan terciptanya kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Mengutip data SMERU Research Institute (SMERU) disebutkan meski fasilitas kesehatan baik fasilitas pemerintah maupun swasta terus meningkat sejak 2014, namun berdasarkan sebarannya proporsi peserta JKN antarprovinsi bervariasi. Banyak provinsi yang masih rendah cakupannya (di bawah 50 persen) dan ada provinsi yang cakupannya sangat tinggi (di atas 90 persen).
Di samping itu, sebaran fasilitas kesehatan yang tidak merata antara Jawa dan luar Jawa juga masih menjadi kendala. Sebagian besar fasilitas kesehatan terutama fasilitas rujukan tingkat lanjut berada di Pulau Jawa. Hal semacam ini tentu patut dicarikan jalan keluarnya.
Sedangkan tren anggaran kesehatan Indonesia terpantau meningkat sejak awal program JKN. Di 2020, total anggaran kesehatan tercatat sekitar lebih dari Rp130 triliun dengan sebanyak Rp48,8 didalamnya merupakan anggaran untuk membayar premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN yang merupakan 40 persen penduduk dengan tingkat kesejahteraan terbawah. Namun upaya stimulus fiskal ini belum cukup mengurangi defisit yang ada hingga awal 2020.

Kajian Belanja Publik Indonesia pada 2020 yang dilakukan oleh Bank Dunia menemukan pengeluaran JKN pada 2017 didominasi oleh klaim rawat inap dan rawat jalan rumah sakit yang menyiratkan masih tingginya pelayanan kuratif dalam JKN yang merupakan salah satu indikasi penyebab defisit.
Rendahnya kualitas fasilitas kesehatan tingkat primer seperti ketidaklengkapan suplai obat-obatan esensial dan fasilitas tes diagnostik dasar serta minimnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan ketepatan diagnosis menyebabkan sebagian besar pasien mencari pelayanan di fasilitas di tingkat yang lebih tinggi.
Fungsi fasilitas kesehatan tingkat primer sebagai gatekeeper pelayanan pun mengalami kegagalan dan perawatan kesehatan menjadi lebih mahal. Beban ganda penyakit dan ancaman pandemi seperti covid-19 yang kemungkinan berulang di masa depan juga menambah panjang daftar tantangan pembiayaan JKN yang berkelanjutan.
Hal itu yang membuat SMERU memiliki rekomendasi terkait opsi pembiayaan kesehatan berkelanjutan. Pertama, memperkecil defisit, membuka ruang fiskal yang lebih besar, dan menjamin kecukupan pembiayaan JKN.
Dalam hal ini, hal yang perlu ditekankan adalah peningkatan peran pemerintah daerah terutama dalam pembiayaan kesehatan. Pemerintah daerah harus memenuhi target minimal 10 persen anggaran kesehatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain itu, diperlukan usaha untuk mendukung Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan mengedepankan pelayanan promotif dan preventif. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) untuk layanan kuratif masyarakat miskin dimaksimalkan melalui PBI daerah. Pemerintah daerah juga perlu menunjang infrastruktur serta sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerah.
Untuk meningkatkan ruang pendanaan JKN, opsi lain yang dapat digali adalah perluasan ruang fiskal dengan mempertimbangkan urutan prioritas. Kriteria yang harus dipertimbangkan adalah kemudahan implementasi kebijakan serta dampak sosial, politik, dan ekonomi yang optimal.
Pemerintah juga perlu untuk meningkatkan kontribusi sektor swasta, dalam hal ini asuransi komersial dalam layanan JKN. Untuk mencapainya, dibutuhkan perbaikan mekanisme koordinasi penyelenggara yang menyeimbangkan konsep indemnity dalam program asuransi komersial dan managed care dalam JKN.
Selain fokus pendanaan dan kolaborasi dengan sektor swasta, peningkatan efisiensi dari sisi pelayanan juga perlu dilakukan untuk memastikan pembiayaan JKN yang berkelanjutan. Peningkatan efisiensi dapat diterapkan dengan pengendalian mutu kendala biaya melalui monitoring anti-fraud, dan penerapan Health Technology Assessment (HTA).
Rekomendasi kedua, prioritas pencegahan penyakit dan penggunaan prinsip farmako-ekonomik dalam manajemen penyakit katastropik/kronis. Penyakit katastropik/kronis adalah kelompok penyakit yang pengobatannya membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama, serta memiliki komplikasi yang mengancam jiwa dengan tingkat kesembuhan kecil.
Pada 2018, penyakit katastropik menghabiskan sekitar 22 persen dari total klaim BPJS Kesehatan, termasuk di antaranya penyakit jantung, gagal ginjal kronis, dan kanker. Untuk mengurangi beban pembiayaan penyakit katastropik/kronis, diperlukan usaha prioritas aspek promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Sedangkan dalam perawatan pasien, penerapan prinsip farmako ekonomik untuk manajemen penyakit katastropik/kronis perlu dilakukan. Prinsip yang digunakan farmako ekonomik yakni mengutamakan penggunaan obat yang aman, efektif, dan terjangkau, serta memperhatikan prinsip keadilan.
Prinsip farmako ekonomik didasarkan pada perhitungan yang teliti atas manfaat dan biaya penggunaan suatu obat berdasarkan laporan hasil uji klinik yang baik. Dengan prinsip tersebut, pemangku kebijakan memiliki alternatif obat-obat baru yang secara ilmiah menunjukkan penurunan biaya layanan kesehatan bagi penyakit katastropik/kronis secara keseluruhan.
"Termasuk penurunan komponen biaya layanan lainnya yaitu biaya rumah sakit, biaya tindakan medis, dan biaya tenaga kesehatan," tulis SMERU.
Pelayanan Kesehatan Meningkat
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan ketika jumlah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan terus meningkat, sistem pelayanan kesehatan menunjukkan keterbatasannya, baik dari sisi infrastruktur, teknologi, maupun SDM.
Untuk merespons kondisi itu, imbuh Anies, teknologi terbaru dan peningkatan kapasitas SDM terbaik menjadi keniscayaan agar terwujud sistem kesehatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Hal ini juga penting guna terwujudnya masyarakat yang sehat.
Dipaksa oleh pandemi, masih kata Anies, tren layanan kesehatan mulai bergeser dan beralih dari volume based service atau fee based service (pelayanan berbasis kapasitas atau pembiayaan) menjadi value based care (pelayanan berbasis nilai). Salah satu bentuknya ialah berkembangnya layanan telemedicine.
"Pergeseran ini harus juga diantisipasi oleh rumah sakit baru karena kita menyadari bahwa masyarakat sekarang mempunyai ekspektasi tinggi seperti saya sebut tadi. Mereka akan menuntut pengalaman pelayanan kesehatan yang berbeda, bukan sekadar soal biaya, bukan sekadar soal alat, tapi soal pengalaman," tuturnya.
Merujuk pada surat edaran dari Menteri Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga memberikan layanan telemedicine yang disinergikan dengan fitur konsultasi daring di aplikasi Mobile JKN.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan pembiayaan BPJS Kesehatan untuk Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) masih menghabiskan biaya tertinggi. RITL hingga Juni 2020 bahkan telah menghabiskan dana Rp29,3 triliun atau lebih banyak jika dibandingkan dengan di 2014 yang cuma Rp25,2 triliun.
Sayangnya, imbuh Asih, selama ini jumlah anggaran yang dibelanjakan lebih banyak daripada pendapatan, serta tren utilisasi mengalami kenaikan hingga menghasilkan defisit. "Misalnya, hemodialisis (cuci darah) kok bisa 56 kali dalam satu tahun? Apa dasarnya?" pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News