Ketiga pilar itu merupakan pembangunan paradigma sehat melalui antara lain Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, penguatan sistem pelayanan kesehatan, dan pencapaian UHC melalui program JKN.
Dokumen SUD sebelumnya dibahas pada Pertemuan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Fukuoka pada 8-9 Juni 2019 dan dipresentasikan pada Joint Session Health and Finance Ministers G20 untuk mendapatkan dukungan penuh para Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan negara anggota G20.
SUD berisikan komitmen untuk melakukan berbagai upaya mendukung pembiayaan kesehatan menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Misalnya, prioritas sumber daya nasional secara adil dan setara serta penyediaan sumber daya luar negeri untuk melengkapi; dan pembangunan sistem kesehatan yang setara dan efektif.
Kemudian peningkatan kesiapan dan tanggapan menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat; pembangunan kapasitas; kontribusi sektor swasta, dan peningkatan peran dan kerja sama Menteri Keuangan dengan Menteri Kesehatan untuk mempercepat pencapaian UHC.
Instrumen Pembangunan Ekonomi
JKN merupakan sebuah instrumen kebijakan yang tidak hanya membantu masyarakat mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya, tetapi juga menjadi instrumen pembangunan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Bisa diartikan tingkat kesehatan memiliki kaitan terhadap pembangunan ekonomi dan terciptanya kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Mengutip data SMERU Research Institute (SMERU) disebutkan meski fasilitas kesehatan baik fasilitas pemerintah maupun swasta terus meningkat sejak 2014, namun berdasarkan sebarannya proporsi peserta JKN antarprovinsi bervariasi. Banyak provinsi yang masih rendah cakupannya (di bawah 50 persen) dan ada provinsi yang cakupannya sangat tinggi (di atas 90 persen).
Di samping itu, sebaran fasilitas kesehatan yang tidak merata antara Jawa dan luar Jawa juga masih menjadi kendala. Sebagian besar fasilitas kesehatan terutama fasilitas rujukan tingkat lanjut berada di Pulau Jawa. Hal semacam ini tentu patut dicarikan jalan keluarnya.
Sedangkan tren anggaran kesehatan Indonesia terpantau meningkat sejak awal program JKN. Di 2020, total anggaran kesehatan tercatat sekitar lebih dari Rp130 triliun dengan sebanyak Rp48,8 didalamnya merupakan anggaran untuk membayar premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN yang merupakan 40 persen penduduk dengan tingkat kesejahteraan terbawah. Namun upaya stimulus fiskal ini belum cukup mengurangi defisit yang ada hingga awal 2020.

Kajian Belanja Publik Indonesia pada 2020 yang dilakukan oleh Bank Dunia menemukan pengeluaran JKN pada 2017 didominasi oleh klaim rawat inap dan rawat jalan rumah sakit yang menyiratkan masih tingginya pelayanan kuratif dalam JKN yang merupakan salah satu indikasi penyebab defisit.
Rendahnya kualitas fasilitas kesehatan tingkat primer seperti ketidaklengkapan suplai obat-obatan esensial dan fasilitas tes diagnostik dasar serta minimnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan ketepatan diagnosis menyebabkan sebagian besar pasien mencari pelayanan di fasilitas di tingkat yang lebih tinggi.
Fungsi fasilitas kesehatan tingkat primer sebagai gatekeeper pelayanan pun mengalami kegagalan dan perawatan kesehatan menjadi lebih mahal. Beban ganda penyakit dan ancaman pandemi seperti covid-19 yang kemungkinan berulang di masa depan juga menambah panjang daftar tantangan pembiayaan JKN yang berkelanjutan.
Hal itu yang membuat SMERU memiliki rekomendasi terkait opsi pembiayaan kesehatan berkelanjutan. Pertama, memperkecil defisit, membuka ruang fiskal yang lebih besar, dan menjamin kecukupan pembiayaan JKN.